[02] Choosy Seven 🐱

Sekarang, ayo kenalan sama Sev si Choosy~ ❤

Sev ini blasteran Indonesia-Korea-Surga ❤
Rate kegantengan dulu, dong! 1-10 menurut kalian berapa?

Btw ini ada visual dalam imajinasiku. Tapi kalian boleh kok nyebayangin yang lain. Bebas~

Ramein, ya~ Spam aja spam~
🐱🐱🐱

Proses rekaman memakan waktu berjam-jam. Seven baru dapat meninggalkan studio lewat dari pukul sebelas malam, diikuti Keyhan, sahabat kuliah merangkap manajernya. Baru-baru ini, dia sedang menyiapkan album kedua di tengah jadwal. TV series yang sudah ia tandatangani baru akan mulai syuting bulan depan dan promosi film terbarunya sudah berakhir minggu lalu sehingga Seven jadi punya sedikit waktu luang sekarang. Jika bekerja hingga larut usai menjadi bintang tamu sebuah acara di hari yang sama bisa disebut waktu luang. Padat, itulah nama tengah Seven.

Memasuki area parkir, Seven memasang bucket hat hitam yang menyembunyikan sebagian wajahnya. Kadang, perilaku itu hanya berdasarkan kebiasaan. Ia terlalu terbiasa kemana-mana (selain ke tempat acara) dengan topi menutupi sebagian wajah. Para reporter yang terlalu ingin tahu, penggemar yang suka melewati batas, dan publik yang tidak akan peduli dengan privasinya ada dimana-mana, membuat Seven tidak dapat bepergian kemana pun dengan tenang.

"Besok jadwal gue apa?" tanyanya sembari berjalan dalam langkah-langkah lebar menuju mobil.

Keyhan tidak memeriksa memo di ponselnya, ia sudah hafal jadwal pria itu setidaknya hingga dua hari ke depan. "Besok siang lo ada pemotretan buat poster album. Terus masih cek hasil rekaman. Sorenya free, asal lo bisa kerja sama dan datang on time, nggak kayak tadi, molor sejam."

Ada napas lega yang terembus. Rasanya, Seven baru merasakannya sekarang. Lelah di pundaknya yang minta dimanjakan. "Kadang gue mikir nih, ini lo kerja sama gue sebagai manajer, atau gue yang kerja ke elo sebagai budak, sih? Perasaan ada terus kerjaan."

Keyhan menepuk pundaknya, tergelak. "Ya, salah lo sendiri udah memperkerjakan gue yang rajin nerima job ini," ujarnya tanpa merasa bersalah, memamerkan deretan gigi yang bersusun rapi.

Seven menyingkirkan lengan Keyhan cepat. "Gue mulai curiga lo punya dendam pribadi sama gue."

"Mungkin. Pokoknya besok bangun jam 6, ya, gue jemput. Kita ngegym dulu, biar badan lo bagus di foto."

"Badan gue udah bagus, ok? Dan gue butuh tidur."

"Bagus mana, hah?!" Tanpa sungkan, Keyhan menyentuh perut Seven, mengusap-usapnya, merasakan lekukan di baliknya. Ia menggeleng. "Belum ini. Gue nggak bisa ngerasain abs lo."

"Ada, oke?!"

Keyhan tidak percaya, membuatnya berinisiatif menarik ke atas baju Seven, membuat pria itu cepat-cepat menutupnya dan meninju Keyhan di pundak. Keyhan memamerkan perutnya sendiri dan tertawa.

"Ini baru namanya abs,"katanya.

Seven menepuknya. Keras. Dasar gym freak, batinnya. "Gue nggak mau pake baju terbuka, jadi makasih. Gue tidur aja."

"Jam enam tepat." Keyhan menegaskan sekali lagi. Artinya, tidak ada penawaran.

Seven mengembuskan napas kasar, namun tidak kuasa menolak. "Sialan," omelnya.

Tiba di mobil, Keyhan dengan sigap menggeser pintu Honda Odyssey berwarna platinum white pearl yang ia gunakan untuk mengantar-jemput sang aktor. Seven melompat masuk, dan Keyhan mengambil tempat di belakang kemudi. Ia meraih kotak bungkus makanan di sisi kemudi dan mengangsurkannya pada Seven beserta gelas es milo.

"Nih, martabak pesenan lo."

Seven menyipitkan mata. "Martabak jenis apa?"

"Martabak telor, telor bebeknya dua, cabenya dua, minyaknya harus tiris, daun bawangnya nggak terlalu banyak dan daging ayamnya harus dipastikan tidak ada lemak."

"Dan?" Seven mengangkat alis.

"Dan harus panas. Itu baru banget gue beli."

Atas jawaban itu, Seven mengangguk puas. Ia membuka kotak martabaknya, memakan satu potong kemudian mengangguk senang sembari mobil mulai berjalan.

Melalui spion, Keyhan mengambil napas lega. Seven Dhuha Abrisam bukanlah pria jahat atau kejam. Namun sudah ada tiga asisten manajer yang berhenti sejak Keyhan mulai menjadi manajer pria itu. Alasannya sederhana, Seven terlalu pemilih. Makanannya harus selalu hangat, tidak boleh terlalu kering, tidak boleh terlalu lembek, tidak boleh terlalu pedas, tidak boleh terlalu asin, tidak boleh hambar. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Semua harus pas sesuai takaran lidahnya. Jika tidak, anak kecil yang terjebak dalam tubuh pria dewasa ini akan merajuk dan menolak makan.

Di belakang, Seven menyeruput minumnya, dan mengerutkan hidung. "Kemanisan," komentarnya. "Lain kali minta gulanya sesendok aja."

***

Seven menempati satu unit griya tawang di kawasan Senopati sejak tujuh bulan lalu, setelah membeli secara lunas dari uang hasil keringatnya selama bertahun-tahun. Balkonnya menawarkan pemandangan ibu kota yang cukup fantastis, kerlap-kerlip lampu selayaknya ribuan kunang-kunang di malam hari, dan jalanan yang selalu merayap, tidak pernah tidur. Ironisnya, Seven terhitung jarak melongok hingga ke balkon itu, lebih-lebih menikmati semua pemandangan itu. Setiap harinya, ia berada di luar rumah terlalu lama, dari subuh hingga ke subuh berikutnya. Semua yang ia lakukan setelah pulang ke unitnya hanya terbaring di sofa, kelelahan untuk melakukan aktivitas lain.

Contohnya sekarang. Seven merebahkan diri di sofa abu-abunya yang besar. Punggungnya terasa retak dan rasa kantuk bergelayut di sudut mata. Ia belum melepas sepatu, mengganti baju, cuci kaki dan gosok gigi sehingga merasa segan untuk pergi ke tempat tidur, tetapi juga terlalu lelah untuk melakukan itu semua. Sofa adalah pilihan terbaiknya.

Seven meraih remot TV yang sebelumnya tanpa sengaja ia duduki, lalu mulai memilih saluran yang menarik. Di sofa berlengan di sisinya, Keyhan, menyampirkan jaket sebelum mulai menggeledah kulkas. Seolah ini adalah rumahnya sendiri. Ia mengambil segelas air dingin dan sebuah apel, lalu mulai menggigitnya ketika mendudukkan diri di sisi Seven.

"Besok abis nganter lo gue ijin, ya?"

"Mau kemana?" Seven bertanya tak acuh.

"Mamanya Jo minta anterin ke dokter gigi."

"Oh, Mama mertua," Seven berdeham, dan sedetik setelahnya, mendapat lemparan bantal sofa.

Meski belum pernah bertemu, namun Keyhan cukup sering menyinggung tentang Jo dan mamanya, mereka bertetangga sejak kecil, dan masih berteman hingga saat ini. Orang akan berpikir, tidak ada pertemanan antara wanita dan pria tanpa salah satunya jatuh cinta. Tetapi untuk Jo dan Keyhan, hal seperti itu tidak pernah ada. Atau mungkin belum. Seven yakin hanya belum.

"Abis nganterin mamanya Jo, mampir nemuin Jo-nya nggak nih?" tanyanya penuh selidik.

"Kepo," balas Keyhan santai. Ia mulai menyandarkan punggung dan lengannya di sofa.

"Ya kan lo manajer gue? Awas aja sampe lo mabar, nongkrong, sementara gue kerja keras sendirian."

Keyhan mencibir, lalu mencondongkan badan pada Seven yang terbaring. "Posesif banget sih, Yang," ujarnya, bibirnya mengerucut dilucu-lucukan. Yang sebenarnya sangat tidak pantas untuk badan yang sebesar kingkong itu. Dengan badannya yang seperti itu, Keyhan sudah sukses menjadi manajer sekaligus bodyguard bagi Seven.

"Minggir lo!" Seven memperingatkan.

Tetapi Keyhan justru semakin mendekatinya. Lebih dekat, lebih dekat ... hingga Seven melemparkan bantal dengan keras ke wajah pria itu. "GELI ANJIR!"

Keyhan tertawa. Ia menghabiskan air di gelasnya dan menaruhnya di meja. Apelnya masih tersisa setengah. Seven masih memilah saluran. Ia terus berganti dari saluran olahraga ke ragam tengah malam, ke sebuah film lama yang diputar ulang mungkin untuk ke tujuh belas kalinya. Lalu, semua itu berhenti pada saluran infotainment. Wajah Gabby Anastasya mengisi layar televisinya. Gadis itu tersenyum begitu cerah, justru saat Seven mulai lupa bagaimana cara dia tersenyum.

Sekarang, semesta mengingatkannya lagi, membuka luka yang sudah coba dia tutup sekali lagi.

"Ya, kita udah menjalin hubungan kurang lebih ... hampir empat bulan, ya Sayang, ya?" Dimas Lukman berkata sembari menatap Gabby saat menjawab pertanyaan wartawan. "Dan sekarang kita sedang mencoba untuk berlanjut ke tahap yang lebih serius. Doain aja."

Gabby mengangguk, tangannya melingkar manja di lengan Dimas. "Iya, doain aja ya guys aku sama Mas Dimas, biar awet, langgeng─"

Seven tidak mendengar lagi kelanjutannya. Keyhan telah mematikan televisi.

"Sebaiknya lo tidur sekarang," katanya datar. "Inget, besok jam enam gue jemput!"

Seven diam saja. Dari sudut mata ia melihat Keyhan mengenakan kembali jaketnya, lambat-lambat.

"Gue baik-baik aja," kata Seven melanjutkan, meski tahu Keyhan tidak memercayainya.

"Sev... lo mau gue coba kenalin cewek nggak. Gue punya beberapa kenal─"

"Gue baik-baik aja, oke?!" Seven memotong dan bangkit berdiri.

Suasanya tegang sesaat, sebelum Seven melanjutkan. "Gue tidur dulu. Lo mending pulang sekarang."

Hingga kurang dari lima bulan yang lalu, hubungan Seven dan Gabby sering digaung-gaungkan. Celebrity couple goal. A match made in heaven. Most romantic couple. Media sering bahkan kelewat penasaran untuk menyorot kemesraan keduanya. Namun hubungan itu hanya bertahan kurang dari dua tahun. Seven pikir, dua tahun yang mereka jalani cukup untuk membuktinya segalanya, untuk menguji kesetiaan, juga keinginan untuk berlanjut ke tahap serius. Namun tiba-tiba saja, Gabby meminta putus dan Seven masih kesulitan mencerna alasannya.

"Kamu terlalu sibuk. Kamu nggak pernah ada buat aku." Itu adalah alasannya waktu itu. Bagian menyakitkannya, Gabby benar.

Lalu, kurang sebulan setelah putusnya hubungan itu, yang tidak berusaha mereka publikasikan, Gabby telah dikabarkan dekat dengan lawan mainnya, Dimas Lukman. Sebagian berpendapat Gabby berselingkuh selama masih bersama Seven. Sebagian senang, mengatakan keduanya lebih cocok. Sebagian yang lain mengasihani Seven, membanjiri akun Instagramnya dengan ribuan komentar bela sungkawa.

Dunia tahu dunianya Seven sedang runtuh. Tapi ... mereka tidak merasakannya. Dalam sekejap, mereka berbalik mendukung Dimas dan Gabby. Seven tertinggal sendirian, bersama kesakitannya.

Di belakang, Seven mendengar langkah-langkah kaki Keyhan yang akhirnya menjauh, pintu yang ditutup, dan ... hening. Unit ini terasa terlalu luas sekarang. Terlalu ... sepi.

Usai mengganti pakaian dan mencuci muka, Seven berbaring di kamarnya dengan mata terbuka. Ia sudah berusaha untuk tidur, untuk memejamkan mata. Tetapi nihil. Tetapi rasa kantuk telah menguap pergi dan senyum Gabby yang ia lihat di TV kembali terbayang-bayang di kepala.

Akhirnya, Seven bangkit duduk dan meraih ponsel. Karena terlanjur tidak bisa tidur, mungkin ia sebaiknya berinteraksi dengan penggemar. Ia belum mengunggah story atau post apapun seharian ini. Biasanya, Keyhan yang melakukannya untuk Seven, namun hari ini belum sempat.

Seven lalu memilih beberapa foto yang ia ambil hari ini saat bersiap-siap akan rekaman.

Dengan berhati-hati, ia menuliskan ocehan. Salah satu rahasia Seven adalah, biasanya bukan dirinya yang menulis semua unggahan itu. Keyhan melakukannya, mengatakan dia tidak memercayai keahlian Seven dalam menulis. Seven sendiri merasa tidak ada yang salah, dia mengetik dan berinteraksi dengan cukup baik. Hanya saja, jempolnya acapkali terasa terlalu besar hingga ia sering salah ketik.

Night, everyonw,, Gimnama kaburnya hari ini...? This photo was taken before, at the studio... Guest, what's gonns come real soon? Suprise!

Ia membacanya sekali, membenarkan beberapa kesalahan tanda baca, merasa puas, lalu mengunggahnya. Tidak sampai semenit, Seven memeriksanya kembali. Ia mematikan semua pemberitahuan dari media sosial yang dia punya, tetapi hanya dengan melihat profilnya, Seven langsung tahu unggahan terbarunya segera mendapat ribuan likes dan ratusan komentar, seperti biasanya.

Tidak ada hal lain yang dikerjakan, Seven mulai membaca komentar-komentar itu, satu per satu. Kebanyakan hanya mengirim emot hati, atau hanya huruf yang ditulis dalam huruf besar secara acak, seperti ASDFGHJKLPOWURVBL. Ada beberapa komentar yang menyemangatinya, memujinya tampan, mengatakan mereka mendadak mimisan, ada yang penasaran, dan ada juga yang ....

@nayahasan27: Sev, kamu nggak apa-apa? Gabby resmi pacaran sama DL. Kamu bisa dapetin yang lebih baik. Contohnya aku!

@ummi.ji: Oppaaa TT Kak Gabby dah punya gandengan baru TT Gimana tanggapannya? Oppa pasti sedih, ya?

Dan banyak komentar serupa setelahnya. Mereka membicarakan Gabby. Seven berhenti membaca, ia keluar dari media sosial satu itu, menatap beranda layar ponselnya, dengan wallpaper yang baru diganti dua bulan lalu. Sebelumnya, hingga dua bulan setelah putus, ia masih memajang wajah Gabby di sana.

Seven tidak tahu apa yang membawanya, tetapi dia membuka kotak perpesanan terakhirnya dengan Gabby. Gi, begitu ia memanggilnya, nama kecilnya untuk gadis itu. Bahkan pesan-pesan terakhir mereka terdengar baik-baik saja, tidak ada yang salah. Gabby hanya tiba-tiba meminta putus darinya.

Entah apakah dia baru saja memanggil gadis itu, atau apakah pesannya sampai hingga seberang sana, Seven tidak yakin. Tetapi tiba-tiba, Gabby mengirimkan pesan. Seven membelalak, sekali lagi memeriksa matanya. Gabby mengirimkan pesan padanya. Sebuah pesan sederhana.

Kamu sudah tidur? tanya wanita itu.

Seven perlu mengecek pesan itu tiga kali, memastikan bahwa dia sedang tidak bermimpi. Itu benar pesan dari Gabby. Akhirnya, setelah beberapa menit berlalu, dia mengetikkan balasan. Belum.

Kamu ... udah liat berita?

Ya.

Maaf ya...

Maaf. Gabby tidak menjelaskan maaf seperti apa yang sedang dia minta. Apakah karena meninggalkannya? Apakah karena ia telah bersama Dimas Lukman, saingan Seven sejak dulu? Apakah karena ia merasa bersalah atas hidup Seven yang menyedihkan?

Namun Seven tidak sempat bertanya, Gabby kembali mengirimkan pesan lainnya.

Let's meet up untuk terakhir kalinya. Sundays, kamu tahu kan? Kita pernah nge-date di situ.

***

[Update 20 April 2023]

In light of passing of our beloved Moonbin, I deleted all his pictures here as one of the faceclaims..

You're irreplaceable, and will always be remembered. Now the moon has met the stars, I hope you find peace there. We love you, Bin.

Stay strong, Aroha...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top