51. Persiapan Diri
Dug dug dug!!!
Suara gebukan pintu membuyarkan semuanya.
Baik Mentari maupun Langit keduanya sama-sama menoleh ke sumber suara. Ke arah pintu kosan Langit. Mentari diam di tempatnya sementara Langit berpikir sejenak sebelum akhirnya namanya dipanggil dari luar, karena dipanggil tentu saja Langit bangkit dan menemui siapa yang memanggil. Tidak tanggung-tanggung, ibu kos dan lima orang tetangga kosannya yang masing-masing sudah memasang tampang kepo bin songong.
"Kamu bawa perempuan."
"Iya."
Bu Rahmi, sesosok pemilik kosan tersebut membelalakkan matanya. Bisa-bisanya Langit menjawab dengan santai seolah tidak masalah dengan itu. Memang di kosan tersebut tidak ada jam malam, setiap anak kalau mau pulang pagi juga silakan karena risiko tentu saja ditanggung masing-masing tapi bu Rahmi benar-benar tidak akan mentolerir sebuah perzinahan.
"Istri saya Bu!" Sadar bahwa situasinya sedang tidak baik-baik saja maka Langit langsung mengeluarkan klarifikasinya.
"Sayang sini." Langit memanggil dan Mentari datang menghampiri.
"Emm, saya istrinya Bu." Mentari ikut memberikan sebuah keterangan.
Tapi tentu saja itu tak lantas ditelan mentah-mentah oleh Bu Rahmi, dia masih harus memastikan soal itu.
"Bawa buku nikah?" tanyanya, itu adalah pembuktian yang bisa Mentari dan Langit berikan.
Mentari seketika kebingungan.
"Bawa?" tanya Langit, kedua buku nikah ada di rumah Mentari dan karena menurut Mentari itu dokumen penting jadi sudah sebaiknya ditinggal di rumah.
Mentari menggeleng, karena memang bahkan pernikahan ini masih agak mengejutkan untuknya. Ibu kos sudah siap-siap akan mengamuk sebelum akhirnya Langit mengangkat tangannya meminta waktu. Dia kemudian mengambil ponselnya kemudian menunjukkan foto saat mereka melakukan akad yang kedua saat sudah di Jakarta. Semua orang melihat ke arah foto itu kemudian mengangguk mengerti.
"Yang sering ke sini itu bukan dia, 'kan, Langit?" tanya bu Rahmi, pakai ditanya lagi, padahal hubungan Langit dan Mentari sudah baik-baik saja.
Langit menggaruk belakang kepalanya, agak awkward untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya sudah ingin dia lupakan. Sialnya teman-teman satu kosannya yang lain juga menunggu jawaban, mereka semua benar-benar sedang sangat kepo dengan urusan Langit sekarang ini.
Langit memilih tak menjawab soal itu. "Jadi ini udah selesai, 'kan, Bu?" tanya Langit.
Bu Rahmi mengangguk.
"Kalau begitu Terima kasih sebelumnya, besok kami harus langsung kembali ke Jakarta, jadi kami istirahat dulu." Langit langsung menarik tangan Mentari sebelum akhirnya menutup pintu. Dia sudah memberikan bukti seharusnya sudah tidak ada lagi, dia sama sekali tidak berkewajiban menuntaskan rasa penasaran orang lain.
"Kamu nih, itu loh!" Mentari mengingatkan karena mereka menutup pintu begitu saja.
"Udah biarin aja, mereka itu cuma penasaran."
Mentari tersenyum tidak jelas saat mereka kembali ke kasur. Langit menatapnya heran. "Kamu kenapa? Kita baru digrebek loh?" Langit bertanya heran.
"Berarti kamu nggak pernah bawa Winda nginep di sini?" tanya Mentari.
"Ya nggaklah! Lebih ke pesen hotel sih."
"Iih!" Mentari kesal sendiri, senyuman yang sebelumnya menghiasi wajahnya sirna sudah.
"Bercanda! Nggak pernah sayang, cuma ya emang sering ke sini kalau siang, jujur aja ini ya." Karena menurut Langit sekarang ini dia memang sudah tidak punya sesuatu yang harus ditutupi.
Mentari mengangguk, apa yang terjadi hari ini seolah menjadi sebuah kejelasan bahwa pemikiran Mentari soal kelakuan Langit selama ini ternyata terlalu berlebihan. Langit mungkin memang bukan anak baik, tapi juga tidak yang seburuk itu.
"Bagus deh kalau gitu."
***
Benar setelah itu mereka langsung berangkat ke Jakarta, sebenarnya tugas Langit di kampus belum selesai, ada banyak hal yang masih harus dia lakukan sampai waktu wisuda tiba. Tapi katanya belakangan beberapa hal bisa dilakukan secara daring. Menyesuaikan kecanggihan teknologi juga. Mereka memutuskan ke makam, ke makam anak mereka. Sebanarnya kalau dipikir-pikir belum ada momen spesial dengan anak itu, tapi tetap saja kehadirannya di saat mereka belum siap, tetap terasa berkesan. Karena kalau menyesuaikan jadwal mereka, keduanya tidak akan pernah bisa kembali ke kampung halaman di Sumatera Utara, maka saat ini mungkin Mentari yang akan mengalah, mereka akan pulang kampung.
Mentari baru saja mengirimkan al-fatihah untuk sang anak, begitu juga dengan Langit, meski sudah berlalu sejak berbulan-bulan lalu, tapi masih jelas sorot penyesalan yang Langit tampilkan. Mentari sendiri sudah bisa lebih ikhlas setelah dia menelisik sendiri kemampuan dirinya, andai anak itu tetap lahir pada saat itu, pada saat dirinya belum siap malah mungkin dia akan gagal memberikan yang terbaik sebagai orang tua.
"Maafin Papa." Dan Langit masih saja meminta maaf, padahal tidak semuanya salahnya.
Mentari hanya diam, mungkin untuk Langit semuanya terasa berat. Mentari mengelus patok kecil yang menjadi penanda, dia meminta maaf dan berkomunikasi tapi dalam hati. Anak itu sempat berada di kandungannya, mereka pernah bersenyawa, anaknya pasti paham apa yang ingin Mentari sampaikan.
***
"Jadi kalian mau pulang kampung?" tanya Migdad, mereka baru saja selesai makan malam.
Langit mengangguk yakin, dia hanya punya waktu sekarang ini sebelum kembali untuk wisuda setelah itu koas setelau itu internship, sebelum akhirnya mendapat gelar dokter di depan namanya. Banyak hal yang sudah dia pertimbangkan karena setelah ini juga Mentari akan memasuki tahun akhir perkuliahan, dia mungkin akan di hadapkan dengan praktik dan magang, jadi menurutnya ini adalah saat yang tepat.
"Iya, tapi mau pulang ke rumah Medan aja Pa, nggak rumah kampung." Langit menjelaskan, Mentari sendiri tidak paham soal itu.
"Oh ya? Kenapa? Mentari itu udah lama banget nggak ke kampung."
"Nggak tau juga, Bunda sama Ayah mintanya pulang ke rumah Medan aja."
Migdad mengangguk-angguk, memang keluarga besannya yang notabene adalah keluarga jauh sang istri konon katanya lebih sering tinggal di rumah yang ada di kota sebab memang Langit adalah anak tunggal dan kedua orang tuanya lebih bebas untuk menentukan mau tinggal di mana.
Mentari sendiri agak ketar-ketir, ini akan menjadi pertemuan pertamanya dengan keluarga Langit, katanya sih sebelumnya pernah bertemu, tapi dia juga lupa karena pasti sudah lama sekali. Apalagi belakangan dia baru tahu kalau Langit anak tunggal, ya mungkin baiknya dia tidak akan punya saingan, tapi kalau tak memperlihatkan yang terbaik dalam dirinya takutnya malah menjadi penyesalan untuk mereka karena sudah menjodohkan Langit pada orang sepertinya.
"Siap ketemu mertua?" Sudah ketar-ketir sendiri malah muncul pertanyaan itu. Mentari hanya melirik mamanya sekilas, siap tidak siap, sudah pasti hal semacam ini akan dia hadapi.
"Tapi nggak semengerikan cerita orang kok, Bundanya Langit baik banget!" Nia melanjutkan kalimatnya, Langit mengangguk itu, seharusnya Mentari tidak perlu khawatir soal apa pun.
Mentari menghela napas, semoga saja.
***
Bab ternggak jelas!
Pokoknya gitu deh ya, kayaknya udah deket-deket ending, siapin ya hatinya wkwkwk.
Oh iya aku juga nulis di fizzo guys!
Ini cerita aku yang terbaru, selain ini ada juga judulnya Be Mother for My Son, udah pasti seru sih, jangan diragukan lagi!
Gitu aja dah!
Love you guys!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top