15. Masih Langit yang Menyebalkan
Setelah berbelanja bersama setidaknya hubungan mereka menjadi lebih baik. Mentari jadi tahu makanan kesukaan dan sesuatu yang Langit tidak suka. Langit mengakui kalau dia penggila ayam, dia suka sekali makan sayap ayam dimasak dengan saus Korea. Kalau yang tidak suka, secara keseluruhan dia tidak menyukai sayur, tapi masih bisa kentolelir yang umum, seperti wortel, kentang, brokoli dan lain-lain. Mentari juga heran, padahal calon dokter tapi rupanya Langit tetap manusia biasa. Dia makan sayap ayam juga rupanya.
Mentari mulai menyusun bahan masakan ke kulkas. Sementara Langit asik ngemil di meja makan, sembari memperhatikan mentari.
"Udah biasa ya kamu?" tanya Langit, menurutnya Mentari terlihat mahir, dia memilah sayur dan daging kemudian meletakkan ke tempat masing-masing.
Mentari menggeleng, justru dia sangat tidak terbiasa. Mentari bukan gadis mandiri, dia biasa dikayani di rumahnya, bahkan jika tidak ada mbak juga mamanya tidak akan membiarkannya melakukan apa pun. Kecuali jika mamanya tidak ada di rumah, tidak mandiri, tapi juga tidak begitu manja. Dia bisa menempatkan dirinya tergantung situasi yang sedang dihadapi, karena dirinya merupakan seorang istri sekarang, maka dia bisa menjalankan tugas itu dengan baik. Dia bisa melayani Langit, walau terpaksa.
"Nggak!"
"Jadi berusaha ya? Kagum aku, kamu berusaha menjadi istri yang baik." Kini Langit memakan es krim, beberapa kali cowok itu memasukkan es krim ke dalam mulutnya, wajahnya sangat songong, benar-benar seperti tidak ada niat membantu Mentari.
"Aku kan berusaha jadi istri yang baik, kamu nggak ada niatan buat jadi suami yang baik gitu?" Lebih kepada sebuah sindiran daripada pertanyaan.
Bukannya tersinggung, Langit malah tertawa. Hal itu membuat Mentari semakin menyimpulkan bahwa memang Langit tidak punya perasaan, tingkat kepekaan laki-laki itu sangat rendah.
"Kamu mau es krim?" tanya Langit. Sebenarnya bahan belanjaan mereka juga didominasi oleh camilan Langit, makanya dia bisa tenang walau habis banyak karena memang yang banyak adalah kebutuhannya.
Mentari yang duduk bersimpuh di depan kulkas mengangguk, sejujurnya sangat ingin, tapi seluruh pekerjaan meronta-ronta memintanya untuk menyelesaikan semuanya.
Langit turun dari kursi makan, ikut duduk bersimpuh dengan Mentari. Mentari sudah sangat pede mengira bahwa Langit akan membantunya, bergantian Langit yang menyusun belanjaan, dia yang makan es krim.
Tapi ternyata Mentari salah sangka, Langit menyuapkan es krim ke mulut Mentari.
"Aku bantu kamu makan es krim."
Mentari menaikkan sudut bibirnya sewot, berharap pada manusias saja sudah salah, apalagi manusia seperti Langit.
"Kirain mau bantuin."
"Ini, 'kan, aku bantu suapin, sekalian do'ain dalam hati."
Aneh bukan? Iya itu adalah suami Mentari. Benar! Mentari akan menghabiskan sisa hidupnya dengan laki-laki aneh itu.
***
Meski tinggal di bawah atap yang sama, tapi itu tak lantas menjadi alasan untuk mereka selalu bersama. Keduanya tetap memiliki kehidupan masing-masing dan Mentari menghargai segala hal yang memang ingin Langit habiskan sendirian. Mentari juga menghabiskan sepanjang hari dengan rebahan di dalam kamarnya, memainkan posel sesekali berbalas pesan dengan teman-teman di grup kelas. Mentari tidak bisa dikatakan pandai bergaul, tapi gadis itu memiliki lumayan banyak teman dan tidak canggung jika harus berbincang di grup chat.
Mentari memutuskan keluar dari kamar, perutnya agak lapar, mungkin dia akan ngemil sembari menonton series Thailand. Mereka keluar dari kamar secara bersamaan, Mentari dangan daster batiknya khas ibu-ibu, sementara Langit dengan kemeja kotak-kotaknya yang tidak dikancing, lengkap dengan kaus dalam hitam, celana jeans hitam dan sepatu kets hitam.
"Rapi amat, mau ke mana?" tanya Mentari.
"Nongkrong."
Mentari memanyunkan bibirnya, sebenarnya dia juga bosan di rumah.
"Boleh ikut?"
Langit menatap Mentari dari ujung rambut sampai kaki. Mempertimbangkan permintaan istrinya itu. Mentari cantik, tentu saja Langit tidak akan pernah malu membawanya, tapi karena cantiknya itu dia juga jadi ragu membawa Mentari.
"Emangnya kamu mau?"
"Temen kamu orang sini?" tanya Mentari, tidak berharap tapi kalau Langit mau membawanya dia juga tidak akan menolak. Dia tidak suka di rumah sendirian, apalagi di rumah itu, rumah tua itu selalu mengeluarkan suara-suara yang cukup membuat bulu kuduk Mentari merinding. Memang belakangan dia jadi terbiasa dengan segala ketakutan, tapi kalau ada opsi lain untuk tidak berada di rumah itu sendirian, tentu saja Mentari akan memilih opsi lain.
"Rata-rata anak rantau juga temen-temen aku."
Anehnya Langit bahkan kurang dari sebulan berada di Jakarta, mereka juga kekurangan soal uang untuk kebutuhan rumah tangga, kenapa Langit selalu nongkrong sana sini?
"Nanti kamu nggak nyambung pasti." Langit mengingatkan, lebih-labih lagi teman-temannya semuanya cowok, mungkin akan sangat awkward jika Mentari ikut bergabung dan menjadi cewek sendiri.
"Tapi bosan banget tau Bang! Rumah ini kalau sepi hawanya beda banget! Kamu belum pernah, 'kan sendirian di rumah?" tanya Mentari. Selama ini hanya Langit yang meninggalkannya sementara dia, selalu di rumah sendirian.
Langit memegang kedua bahu Mentari.
"Aku nggak mau kamu ikut ke tongkrongan aku!"
"Kenapa?" Bukannya mundur setelah mendapatkan penolakan telak, Mentari justru menantang dengan pertanyaan. Dia tidak akan mengganggu dan tidak akan minta pulang juga.
"Kamu itu cantik."
Mentari diam, beberapa orang memang mengakui itu, tapi dia tidak mau besar kepala di hadapan Langit.
"Temen aku cowok semua, aku nggak mau kalau salah satu dari mereka suka sama kamu. Aku nggak rela!" Sangat egois bukan?
"Kamu bilang kita masih terlalu muda! Aku atau kamu bebas menjalani hubungan dengan orang lain. Siapa tau aja setelah ikut kamu nongkrong aku bisa dapet pacar. Nanti kalau aku ada pacar, aku nggak bakal ngerecokin kamu lagi!"
Langit langsung menyentil jidat Mentari, detik selanjutnya dia membuat keputusan.
"Oke, kamu nggak boleh ikut!"
"Yaaah!"
Mentari masih tidak mau menyerah meski sudah ditolak secara mengenaskan. Dia benar-benar ingin ikut.
"Nanti kita atur waktu buat nongkrong berdua."
"Aku maunya sekarang!"
"Aku nggak mau kamu ikut kalau sekarang!"
Setelahnya Langit benar-benar melangkah keluar dari rumah meninggalkan Mentari. Menurut Mentari Langit benar-benar tidak konsisten, kemarin mengatakan apa, sekarang apa. Entah kenapa pula dia tidak mau temannya menyukai Mentari, kan aneh. Kalau memang tidak mau temannya naksir Mentari, seharusnya dia sendiri yang naksir Mentari, mencoba menumbuhkan perasaan itu biar mereka juga tidak perlu begini.
Mentari melipat kedua tangannya di depan dada. Awas saja, Mentari tidak se polos itu, nanti juga Mentari akan memberikan giliran pada Langit untuk berjaga di rumah, merasakan sensasi horor dari rumah itu. Lihat saja!
***
Haiiii
Sebenarnya aku kalau nulis nggak pernah pakai cast gitu gitu kan.
Cuma entah kenapa untuk cerita ini agak kepikiran.
Jadi aku mau kasih gambaran ya. Ini cuma yang ada di imajinasi aku aja ya, selebihnya kalian bebas aja mau membayangkannya gimana.
Iyaaa dia adalah Langit. Jadi aku membayangkan Langit ya Teuku Rassya ini. Karena kayaknya ekspresi songong-songongnya Langit sama banget sama dia.
Kalau ini adalah Mentari, aku suka banget Aisyah Aqila ini dan menurut aku gambaran Mentari dia banget. Kayak imut lucu gitu.
Bayangin aja deh mereka berdua berdebat, gemess bangettt!!!
Dah ya, besok kalau up lagi ada yang mau aku ceritain lagi soal cerita ini.
Jangan lupa vote & comment!
Dukung terus Langit sama Mentari sampai punya anak!!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top