Dua Belas

Kafan menghampiri Kean begitu melihat kedatangannya di kantor.

"Aku ingin bicara denganmu."

"Setiap hari kamu juga bicara denganku." Kean meletakkan tas kerjanya di meja, lalu duduk.

"Apa benar, Noora itu calon istrimu? Kenapa kamu kemarin seolah-olah tidak mengenalnya."

"Aku memang tidak begitu mengenalnya dan dia bukan calon istriku."

"Lalu Ibu kamu?"

"Itu urusan mereka. Bukan urusanku."

Kean tidak mau membicarakan hal ini lebih lanjut. Ia memutuskan untuk membuka laptop dan mengerjakan pekerjaan.

"Kean?"

"Cukup, aku tidak ingin membahas sesuatu yang tidak penting."

Kafan menyerah, akhirnya ia duduk di kursinya dan mulai bekerja meski pikirannya tak fokus. Ia berencana untuk menemui Noora setelah pulang kerja nanti. Ia ingin tahu apa yang terjadi kemarin.

"Kean." Kafan kembali berdiri dan menghampiri Kean lagi. "Kita sudah berteman cukup lama. Jika memang Noora bukan calon istrimu atau siapa-siapa kamu. Aku berniat akan mendekatinya dan kalau jodoh, aku akan melamarnya."

Kean menghentikan pekerjaannya lalu menatap Kafan. "Aku sudah katakan padamu tadi. Terserah kamu mau apa dengannya. Aku tidak peduli."

"Aku pegang ucapan kamu."

Kean mengepalkan tangannya. Harusnya ia memang tak peduli. Noora bukan siapa-siapa dalam hidupnya tapi kenapa rasa tak terima muncul begitu kuat bersamaan dengan rasa marah mengingat Noora dan para prianya.

"Terserah."

Kafan kembali lagi ke meja kerjanya, mengambil ponsel miliknya di tas dan mencoba menghubungi Noora.

"Kenapa gak diangkat sih, Noor." Kafan kesal karena telponnya tidak diangkat oleh Noora.

"Kean kamu di suruh ke lapangan. Ada yang penting di sana. Nanti alamat aku kirim."

"Ok." Kean rasanya terselamatkan oleh tugas itu. Ia bisa terbebas dari rasa penasaran, bagaimana caranya Kafan memiliki nomor ponsel Noora. Sedangkan dirinya yang satu desa saja tidak tahu.

Kean membereskan barang-barangnya lalu pergi ke alamat yang bosnya kirim padanya. Namun, Kean terkejut begitu mendapati Noora juga berada di sana menjaga salah satu stand makanan.

"Mas, Mbak, ayo  beli mie setannya!" Noora menawari setiap orang yang lewat.

Kean hendak menghindar tapi ia tak memilik jalan lain selain lewat stand Noora.

"Mas Kean, ayo beli mie setannya. Aku kasih diskon." Noora tersenyum melihat Kean.

"Gak."

"Mas, ayolah larisin dagangan aku."

"Gak."

"Mas, satu porsi aja."

Noora ingin meraih tangan Kean tapi pria itu justru mundur seakan jijik padanya. Hal itu membuat Noora kesal. "Kalau gak mau beli ya sudah, Mas. Lagian mie setan ini juga gak cocok buat kamu yang lebihin dari setan."

"Apa kamu bilang?"

"Kamu seperti setan."

"Lancang sekali mulut kamu."

"Lebih lancang tatapan kamu yang merendahkan seolah jijik padaku. Memangnya ada yang salah dengan berjualan mie."

"Yang salah adalah dirimu yang terlalu murah dari mie itu."

"Apa yang kamu tahu tentang aku, Mas? Kamu tidak tahu apapun lalu kenapa kamu bicara seperti itu? Namanya itu penghinaan atau mungkin sekarang kamu sudah menjadi komplotan Bu Jubaedah?"

Kean melihat sekeliling, ternyata kini orang-orang melihat ke arah dirinya dan Noora yang tengah bertengkar. Kean ingin menimpali Noora lagi tapi ia malu menjadi tontonan. Akhirnya ia memilih untuk pergi.

"Dasar bujang matang, pantas saja kamu gak nikah-nikah. Gaulnya sama ibu-ibu rempong seperti Jubaedah." Noora tertawa sambil mengejek Kean.

Noora tak menyangka, Kean yang kalem hobi bergosip, menuduh dan menebar fitnah juga. Ia akui, kekuatan gosip dan fitnah Jubaedah luar bisa hingga mampu mempengaruhi seorang Kean.

Kean hanya melihat Noora saat ini. Namun, ia pasti akan membalas ucapan Noora nanti saat tak ada orang. Ia butuh menghentikan mulut Noora yang sering kelewat batas mengatainya bujang matang.

"Siapa dia, Noor?"

Salah satu teman Noora datang menghampirinya.

"Orang gak penting."

"Yakin gak penting? Biasanya kamu meski di tolak pelanggan tidak pernah marah-marah seperti itu."

"Benarkah?"

Teman Noora mengangguk. "Kamu terlihat berbeda dan emosimu meledak-ledak saat menghadapinya."

Noora terdiam, apakah benar begitu? Apa ia begitu emosional menghadapi Kean?

Seharusnya tidak. Kean dan dirinya tidak ada dendam, masalah atau hubungan yang lainnya. Harusnya ia bisa bersikap normal tapi sejak kejadian semalam, rasanya ia belum bisa normal saat Kean mengatakan ia bukan calon istrinya. Meski faktanya memang bukan.

"Aku gila."

"Hah?"

Teman Noora menatap bingung ke arahnya tapi Noora tak peduli. Ia berbalik masuk stand dan menenggak satu botol air mineral berharap otaknya kembali encer dan pikirannya normal.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top