Dua
Sesampainya di rumah. Noora mencari keberadaan ibunya. Ia mengajak sang ibu untuk makan bersama.
"Makan, Bu."
Noora membagi mie ayam yang ia beli menjadi dua mangkok.
"Kamu habiskan saja, Ibu sudah makan tadi sore," tolak Surti.
"Aku diet, Bu. Tidak boleh makan mie terlalu banyak tapi aku pengin jadi bagi dua sama Ibu."
Surti duduk di hadapan Noora sambil memandangi wajah putrinya itu.
"Kenapa, Bu? Eyeliner luntur atau bulu mataku copot?"
"Noor, kamu itu cantik meskipun tanpa riasan setebal itu."
"Ini tuntutan pekerjaan, Bu. Mau tak mau aku harus berdandan seperti ini," ujar Noora.
"Para tetangga sering bicarakan kamu yang tidak-tidak, Noor."
Surti mendesah lelah. Setiap ia belanja, para ibu-ibu selalu membicarakan anaknya.
"Tidak usah dengarkan omongan orang lain, Bu. Biarkan saja mereka bicara."
"Kamu tidak seperti yang mereka tuduhkan, bukan?"
"Memangnya mereka nuduh apa, Bu?"
"Mereka menuduhmu berjualan."
Noora terkekeh. Ia merasa lucu dengan ucapan ibunya.
"Kenapa kamu tertawa? Kamu tidak seperti itu, bukan?"
"Ibu ini ada-ada saja."
"Ibu serius, Noora!"
Noora geleng-geleng kepala masih dengan tawa yang menghiasi bibirnya.
"Sudahlah, Bu. Mari makan, nanti mie-nya keburu berubah jadi cacing."
"Kamu selalu saja seperti itu. Padahal Ibu sangat mengkhawatirkan kamu," gerutu Surti.
"Noora sayang Ibu."
Surti hanya bisa mengembuskan napas kasar sambil menahan emosinya. Ia tak tahu harus bagaimana lagi supaya anaknya itu mengerti dan peka terhadap lingkungan sekitar.
Surti tahu, Noora tidak akan mungkin bekerja seperti yang orang-orang tuduhkan. Ia juga ingin sekali seperti Noora yang tak pernah peduli dengan ucapan orang lain tapi ia bukanlah Noora. Sebagai seorang ibu, ia marah karena anaknya terus di fitnah.
***
Pagi hari Noora sudah bersiap kerja. Ia sudah rapi dengan dandanan menornya seperti biasa.
"Bu, Noora berangkat dulu," pamit Noora pada ibunya yang tengah mencuci piring.
"Hati-hati, Nak."
"Pasti."
Noora mencium tangan Surti kemudian pergi.
"Noor!!"
Iyem berjalan tergesa-gesa mendekati Noora. Wajahnya terlihat sangat panik membuat Noora penasaran dan menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Bu Iyem?"
"Bantuin aku kirim foto ke Yayang aku. Tadi dia minta foto. Aku gak bisa kirimnya." Iyem memberikan ponselnya pada Noora.
"Yayang? Cieee Bu Iyem gaul banget." Noora tertawa.
"Sttt____janagan keras-keras!" Iyem membekap bibir Noora yang otomatis langsung Noora tepis.
"Apaan sih, Bu. Lipstik aku tuh bisa luntur mana tangan Ibu bau."
Noora menggunakan ponsel Iyem untuk ngaca.
"Halah, kebanyakan gaya kamu, Noor. Cepat kirim fotoku!"
"Iya, terus mau foto yang mana?"
Noora membuka album foto di ponsel Iyem.
"Gak ada fotonya, Bu? Ini isinya screenshot tagihan panci semua dari Mang Asep. Ngakunya anti kredit," cibir Noora.
"Itu khilaf, namanya juga emak-emak. Wajarlah tergiur kredit panci," kilah Iyem membela diri.
"Ya sudahlah, sudah siang. Nanti aku terlambat kerja. Cepat sini aku fotoin."
Iyem mengangguk cepat kemudian ia menuju pohon mangga yang tak jauh berbeda dari tempat mereka saat ini.
"Di sini aja ya, Noor?"
"Terserah dimana aja. Mau nongkrong di atas pohonnya sekaligus juga boleh."
"Enak saja, memangnya aku monyet."
"Aku gak bilang gitu loh, Bu." Noora tertawa.
"Cepat foto, nanti Yayangku nunggu lama."
Iyem mulai berpose bersandar di pohon mangga sambil memonyongkan bibirnya dan mengangkat sedikit dasternya.
"Gaya apa itu, Bu?" Noora mengernyit aneh melihat pose Iyem.
"Biar kelihatan seksi. Cepat foto!"
Jujur saja Noora ingin sekali tertawa terbahak-bahak dan mengatakan jauh dari kata seksi tapi ia saat ini tak punya banyak waktu karena hari semakin siang. Ia tak mau terlambat bekerja.
"Sudah?"
"Iya." Noora mengembalikan ponsel Iyem kemudian buru-buru menuju pangkalan ojek karena jika naik angkutan umum, pasti ia akan terlambat.
"Yah____ kok kosong? Apa Abang mogok massal?"
Noora melihat sekeliling berharap ada Abang ojek yang terlihat namun hasilnya nihil.
"Andai punya aplikasi ojek online," gumam Noora.
Sebenarnya ia ingin mendownload aplikasi itu tapi apalah daya, memori ponselnya tak cukup.
Noora kebingungan melihat ke sana kemari tapi tetap saja tak ada tanda-tanda adanya tukang ojek yang datang.
"Gimana ini, kalau aku tidak berangkat, gajiku akan dipotong." Noora mondar-mandir kebingungan.
Mata Noora berbinar saat ia melihat motor dari jauh. Noora langsung bersiap berdiri di tengah jalan untuk menghentikannya.
Pengendara motor itu, membunyikan klakson berkali-kali sebagai tanda untuk menyingkir tapi Noora tetap tidak mau menyingkir.
Pengendara motor itupun berhenti di depan Noora dan membuka kaca helmnya.
Seketika Noora mundur beberapa langkah dan menyingkir. Ia takut dengan tatapan tajam si pengendara motor yang ternyata si bujang matang.
"Mau cari mati kamu?!" sinis Kean.
"Mau cari ojek, Mas. Bukan cari mati," balas Noora.
"Terserah." Kean kembali menutup kaca helmnya dan bersiap pergi.
"Mas, aku ikut!" Noora kembali berdiri ketengah.
"Minggir atau aku tabrak!" Kean menggeber-geber motornya.
"Pokoknya aku ikut."
Noora tetap bersikeras menghalangi jalan Kean. Ia tak mau bolos kerja jadi ia lebih memilih untuk menahan malu menghalangi jalan Kean.
"Ayolah, Mas. Kalau aku bolos kerja. Dapur ibuku gak ngebul."
Kean terdiam. Ia tahu kalau Noora memang menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya meninggal.
"Cepat!"
Akhirnya Kean mengizinkan untuk Noora ikut dengannya.
"Terima kasih, Mas." Noora berjingkrak kegirangan.
Sepanjang perjalanan banyak ibu-ibu yang melihat Noora dan Kean berboncengan. Hal itu langsung menjadi gosip dan menyebar ke satu kampung dengan cepatnya.
Orang tua Kean sedikit tak suka mendengar kedekatan Kean dan Noora tapi mereka tidak punya pilihan apalagi menurut kabar yang beredar. Kean sering pergi bersama Noora sehingga Kean selalu menolak untuk dijodohkan.
Bahkan ada yang mengatakan semalam Kean berdua dengan Noora gelap-gelapan tak jauh dari semak-semak. Hal itu membuat orang tua Kean semakin yakin menikahkan putranya itu sebelum menimbulkan aib.
Padahal malam itu Kean dan Noora tak sengaja bertemu karena Noora di kejar oleh Danu tapi begitulah, ucapan seseorang dari mulut ke mulut selalu ada saja yang ditambahkan atau dikurangi. Sehingga hal kecil menjadi hal besar dan tak jarang menjadi sebuah fitnah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top