Menolong Halilintar
Halilintar sedang sakit dan perutnya menolak untuk diajak kerja sama. Namun di satu sisi, dia sudah berjanji untuk tampil bersama Fang dalam acara band sekolah sebagai gitaris. Apa yang akan Halilintar lakukkan?
Disclaimer dan Author Note:
-Karya tulis ini adalah fiksi. Kesamaan tokoh dengan kelompok atau individu nyata baik hidup atau tidak adalah kebetulan belaka
-Seluruh karakter yang terkandung di dalamnya adalah milik pemegang hak cipta (Monsta) kecuali disebutkan berbeda.
-Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfic ini.
-Cover dari: Yumenokiseki (IG)
-Dalam fanfic ini umur karakter utama adalah sebagai berikut :
-BoBoiBoy Halilintar: 18 tahun
-BoBoiBoy Taufan: 18 tahun.
-BoBoiBoy Gempa: 18 tahun.
-BoBoiBoy Blaze: 17 tahun.
-BoBoiBoy Thorn: 17 tahun.
-BoBoiBoy Ice: 16 tahun.
-BoBoiBoy Solar: 16 tahun.
.
.
.
Menolong Halilintar
Semuanya bermula dari hari yang indah. Cuaca yang mendung tipis memberi kesejukan yang sangat dinanti oleh penduduk Pulau Rintis dan sekitarnya. Hembusan semilir angin laut menerpa setiap sudut kota kecil di pulau kecil itu. Kerjasama antara dua elemen alam itu membuat suasana Pulau Rintis menjadi semakin nyaman.
Tidak ada yang bisa menolak fakta bahwa hari yang indah itu begitu sempurna. Kecuali ...
"HOEEEEK!" Terdengar suara yang sama sekali tidak mengenakkan di telinga dari sebuah rumah yang dihuni orang tujuh orang bersaudara bermarga BoBoiBoy.
"HURRRK!" Kembali suara jelanak itu terdengar dari rumah yang sama. Lebih tepatnya, suara itu berasal dari sebuah kamar mandi yang terletak di dalam kamar tidur yang dihuni ketiga kakak tertua.
Pintu kamar mandi itu perlahan membuka dan keluarlah Halilintar yang berwajah amat pucat. Selain pucat, wajahnya juga dihiasi dengan netra merah rubi yang sayu dan hampir cekung masuk ke dalam rongga mata.
Dengan langkah pelan dan gontai, Halilintar berjalan keluar dari kamar mandi. Dia menyempatkan diri untuk meneguk air dari dalam sebuah gelas yang terletak di atas meja belajarnya.
"Salah makan apa aku ...," keluh Halilintar selagi dia meletakkan bokongnya di atas ranjang miliknya. Tanpa ditahan-tahan lagi, dia menghempaskan tubuhnya yang berkeringat dingin di atas ranjang. Sebuah selimut berwarna merah yang terhampar berantakan kembali ditarik menyelimuti tubuhnya.
Netra merah rubi Halilintar yang biasanya menatap tajam, kini mengatup rapat. Di dalam otaknya, Halilintar berusaha untuk tidak memikirkan rasa jelanak yang sudah berkali-kali berhasil mengosongkan isi perutnya ke dalam toilet kamar mandi.
Tidak berapa lama berselang ketika suara ketukan lembut terdengar dari pintu kamar. "Kak Hali?" Menyusul terdengar suara yang memanggil dari balik pintu itu.
Halilintar mengenal suara yang berasal dari balik pintu kamarnya itu. "Masuk saja, Blaze .... Ngga dikunci," ucapnya dengan suara yang parau.
Pintu kamar perlahan dibuka dan menyembullah kepala Blaze menengok ke dalam kamar.
"Aku masuk ya?" tanya Blaze meminta ijin masuk ke dalam kamar keramat milik ketiga kakak tertuanya itu.
"Ya," jawab Halilintar singkat. sembari menolehkan kepalanya ke arah pintu kamar. Dilihatnya Blaze mendorong pintu kamarnya dengan menggunakan lengan sementara kedua tangan adiknya itu memegang sebuah nampan berisikan sebuah mangkuk.
Dengan hati-hati Blaze membawa nampan itu dan meletakkannya di atas meja belajar Halilintar. "Gimana rasanya, Kak?" tanya Blaze sembari menarik sebuah bangku.
Halilintar mendengkus panjang. "Rasanya? Makin ngga karuan ...," ucapnya dengan bibir yang bergetar menahan rasa jelanak. "Perutku serasa digebuki Gempa. Kepalaku puyeng seperti habis mendengar Thorn nyanyi Baby Shark berpuluh-puluh kali."
Jawaban balik Halilintar itu membuat bibir Blaze berkedut. Apa yang dikatakan oleh kakaknya itu seakan terputar di dalam benaknya. Halilintar yang ditonjoki Gempa di bagian perutnya dan Thorn yang tak henti-hentinya bernyanyi lagu Baby Shark lengkap dengan suara sumbang.
"Pffttt. Bwahahahaha!" Meledaklah tawa Blaze.
"Ish!" ketus Halilintar yang hanya bisa melirik lesu pada si adik yang tengah tertawa. Ingin rasanya dia menjitak Blaze, namun rasa jelanak mendadak kembali menyerang tenggorokannya.
"B-Blaze! Tolong! Ember! Cepat!" sahut Halilintar cepat sebelum dia menutup mulutnya dengan tangan. Kedua pipi Halilintar pun terlihat mengembang seperti sepasang ikan buntal yang tengah terancam.
Melihat gelagat buruk, Blaze langsung melompat berdiri dari bangku yang dia duduki. Sekuat kedua kakinya mampu, Blaze berlari ke kamar mandi dan menyambar beda apa saja yang bisa dijadikan penampungan. Sebuah gayung yang bertengger di atas kloset pun jadilah.
Mari kita alihkan pandangan sejenak dan menutup telinga dari suara Halilintar yang kembali mengeluarkan isi perutnya ke dalam gayung yang diberikan Blaze. Bayangkan saja pemandangan indah seperti lapangan rumput yang dipenuhi semak berbunga dengan latar garis-garis pelangi mengukir langit dan matahari yang tersenyum menyinari Bumi.
"Hihh." Blaze bergidik selagi melihat proses pengosongan isi perut si kakak tertua yang jauh dari kata elit, apalagi ketika dia menerima kembali gayung yang kini berisikan limbah tidak jelas dari perut si kakak tertua.
Blaze membawa gayung itu ke kamar mandi dengan tangan yang terentang sejauh-jauhnya dari tubuhnya. Apa pun yang berada di dalam gayung itu diklasifikan Blaze lebih berbahaya daripada limbah nuklir Chernobyl Russia atau limbah nuklir Fukushima Jepang.
Isi gayung yang dibawa Blaze itu dibuang ke dalam toilet dan gayung itu sendiri langsung dicuci olehnya dengan menggunakan air keran sampai bersih. Hanya sebentar saja Blaze sudah kembali bersama Halilintar.
"Haih .... Habislah aku," keluh Halilintar sembari menyeka wajahnya yang berkeringat dingin menggunakan bagian bawah kaus armless yang dia kenakan.
Baru kali ini Blaze melihat Halilintar yang begitu lemah dan tidak berdaya. Yang dia tahu, si kakak tertua itu selalu tampil perkasa membela semua adik-adiknya. Tidak ada yang terlalu berbahaya bagi Halilintar kecuali amukan Gempa.
"Ayo, Kak. Makan dulu. Mau aku suapin?" tanya Blaze sembari meraih semangkuk bubur yang tadi dia letakkan di atas meja belajar Halilintar.
Halilintar menggelengkan kepalanya. "Bukan itu ...."
"Ish, nanti Kak Hali makin sakit! Ayo makan!" ketus Blaze sebelum dia meniup-niup bubur yang masih terasa panas.
Halilintar memutar bola matanya ke atas. "Biar nanti Taufan yang suapin .... Sekarang bukan itu yang bikin aku puyeng, Blaze."
Blaze mendengkus panjang dan mengalah saja. Kembali dia meletakkan bubur yang dipegangnya ke atas meja belajar kakaknya. "Memang masalah apa sih Kak?"
"Kamu lupa? Besok ada acara pentas bakat pelajar se-Malaysia ...."
Kedua netra oranye Blaze membelalak. Senyumnya melebar dan air mukanya langsung terlihat bersemangat. "Ah iya, iya! Aku ingat! Kak Hali sama Kak Fang manggung 'kan?"
Halilintar menjawab dengan anggukan kepala. "Nah, lihat aku lagi sakit begini .... Aku bakalan mati sebelum bisa naik ke panggung kalau begini."
Bahkan Blaze pun terlihat kecewa dengan pernyataan Halilintar. "Yah ... padahal aku sama teman-temanku menunggu penampilan Kak Hali ...."
"Lah? Bagaimana dengan aku nih? Aku gitaris lho," ketus Halilintar dengan suara lembut. Dia tidak ingin perutnya yang sudah nyaris kosong itu memberontak lagi. "Aku bakalan digorok Fang nih...."
"Kak Fang tahu kalau Kak Hali sakit?" tanya Blaze.
Halilintar menggelengkan kepalanya. "Belum ... aku masih mikir gimana caranya biar acara besok tetap ...."
Mendadak kata-kata Halilintar berhenti. Netra merah rubinya bergerak-gerak ke mengikuti sosok Blaze yang berdiri di hadapannya.
"Kak?" Blaze menaikkan sebelah alis matanya. Sikap si kakak tertua yang mendadak diam itu membuatnya kebingungan.
"Kamu Blaze .... Kamu gantikan aku manggung besok."
Blaze terperanjat. Kedua kelopak matanya membuka selebar-lebarnya dan jari tangannya menunjuk pada dirinya sendiri. "Haaah!? A-aku?!"
"Ya, kamu." Jari telunjuk Halilintar mengacung dan terarah kepada Blaze. "Memang kamu sedikit lebih pendek, tapi badan kita ngga beda jauh Blaze. Warna mata kita juga hampir mirip."
"Ta-tapi-"
Halilintar tidak memberi kesempatan Blaze bicara balik. "Dan kamu juga bisa main gitar, tinggal belajar lagu yang aku bawakan besok."
"A-aku ngga ...." Blaze tidak bisa berkata-kata lebih lanjut karena di hadapannya terdapat pemandangan yang sangat asing dan tidak pernah dilihatnya sepanjang umurnya. Dia mendapati dirinya ditatap dengan lembut oleh Halilintar. Tangan kanannya pun berada di dalam genggaman Halilintar yang terasa dingin.
"Tolong aku, Blaze ...," pinta Halilintar.
Kedua netra merah rubi Halilintar menatap sendu pada Blaze ditambah dengan tampang memelas.
"Sekali ini saja, Blaze. Tolong aku ...."
Luluh sudah pertahanan mental Blaze. Dia menghela napas panjang sebelum menganggukkan kepalanya. "I-iya deh ... aku mau," ucap Blaze dengan berat hati.
Seketika itu juga air muka Halilintar berubah seakan Halilintar menemukan kembali makna hidup. Semangat Halilintar pun kembali menyala. Bahkan dalam keadaan lemah dia menemukan tenaga untuk mendorong tubuhnya duduk di atas ranjang.
"Itu." Halilintar menunjuk ke arah lemari pakaiannya, "Gitarnya ada di atas lemari bajuku, amplifiernya ada di dalam lemari. Buka saja, kali ini kuijinkan."
Blaze menuruti perintah kakaknya. Tetap saja tangannya gemetar ketika dia hendak menyentuh gagang lemari yang amat sangat luar biasa keramat di rumah itu. "Permisi, Blaze mau buka lemarinya, jangan ganggu Blaze, alam masing-masing," gumam Blaze sebelum dia menyentuh gagang pintu lemari milik Halilintar.
"Kamu kira aku simpan jin di lemariku? Atau dedemit? Memedi? Tuyul?" ketus Halilintar setelah dia mendengar gumaman mantera Blaze.
"Ngga sih ... tapi pemiliknya mirip-"
Kedua tangan Halilintar langsung mengepal. Ingin sekali dia memberi sebuah jitakan di kepala adiknya itu namun pada akhirnya dia memutuskan untuk tidak melakukkannya karena Halilintar tidak bisa banyak bergerak atau perutnya akan memberontak lagi. Belum lagi nasibnya kali ini tergantung pada Blaze yang sudah setuju untuk menolongnya.
Tidak lama kemudian Blaze sudah mengambil gitar listrik milik Halilintar dari atas lemari baju beserta amplifiernya. Tanpa diperintah lagi Blaze mencolokkan kabel gitar itu ke amplifier dan mencolokkan kabel amplifier itu ke dalam soket listrik di dinding kamar.
Blaze menggeretakkan jari-jemarinya sebelum mencobakan beberapa kunci chord pada gitar itu.
"Lumayan luwes juga jari-jarimu, ngga jelek-jelek amat," komentar Halilintar setengah memuji. Perhatiannya terfokus pada jari-jemari Blaze yang menari-nari lincah pada senar-senar gitar listrik itu.
Pujian Halilintar itu membuat Blaze tersenyum tipis. Dia melanjutkan permainan gitarnya. Transisi chord permainan gitar Blaze nyaris sempurna, tidak ada nada yang salah dimainkan. Dari chord mayor sampai ke minor bahkan petikan solo bisa dimainkan oleh Blaze tanpa bercela.
"Lagu apa saja sih yang bakal dimainkan nanti?" tanya Blaze seusai demonstrasi singkat permainan gitarnya.
"Eagles Fly Free dari Heloween, Amerika dari Rammstein, Bohemian Rhapsody dari Queen, Dunia Baru dari Bunkface."
"Wow ... lumayan susah, apalagi lagunya Queen itu," komentar Blaze. "Siapa saja vokalisnya. Bakal susah tuh niru suaranya Freddie Mercury."
"Kamu," ucap Halilintar sembari menunjuk ke arah Blaze.
"Haaah? A-aku?" Kedua kelopak netra oranye Blaze membelalak ketika mendapati dirinya ditunjuk oleh Halilintar.
"Ya, makanya vokalmu mesti dilatih. Coba kamu nyanyikan lagu Bohemian Rhapsody itu," jawab Halilintar.
Menuruti perintah Halilintar, Blaze langsung memetik gitar listriknya dan membawakan lagu dari grup band Inggris kenamaan itu.
"Mama ... just killed a man-"
"Turunkan lagi suaramu,Blaze." Halilintar memotong nyanyian Blaze seraya menggelengkan kepala. "Suaraku ngga melengking begitu."
Jadilah Blaze berlatih vokal supaya suaranya mirip dengan Halilintar. Butuh sedikit penyesuaian bagi Blaze yang suaranya masih terdengar sengau itu untuk bisa mirip dengan suara Halilintar yang bernada rendah. Setelah hampir satu jam berlatih, suara Blaze nyaris mirip dengan Halilintar kecuali jika menyanyikan nada yang beroktaf tinggi.
Dan ... tibalah hari H ....
Walaupun sudah berlatih, tetap saja Blaze merasa gugup. ribuan orang yang memadati sebuah lapangan yang dijadikan pertunjukkan bakat antar sekolah se-Malaysia itu menciutkan nyali Blaze.
'Mampus! Kak Hali ngga bilang kalau yang datang bakal ribuan begini,' kutuk Blaze di dalam batinnya. Bahkan Blaze mulai menyesali keputusannya untuk menolong kakaknya itu.
'Ah sebodo amat, aku pulang saja," batin Blaze. Dia langsung berbalik badan dan melangkahkan kaki menjauh dari lapangan tempat pentas bakat antar sekolah itu berlangsung.
Namun ....
"Wei! Halilintar! Mau kemana kau!" Sebuah suara yang memanggil di tengah hiruk pikuk keramaian.
Langkah Blaze langsung terhenti. Tidak hanya langkahnya, denyut jantungnya pun terasa melompat satu detakkan. "Ka ... ehm ... Fang?"
Betul saja, Blaze mendapati Fang yang sedang berlari mendekati dirinya.
"Mau kemana kamu, ayo siap-siap," ujar Fang ketika dia bertatap muka dengan Blaze yang menyamar jadi Halilintar.
"A-aku mau ke toilet?" ucap Blaze dengan intonasi ragu yang jauh dari kata meyakinkan.
"Ya sudah sana, buruan .... Suaramu kenapa? Kok beda?" tanya Fang dengan dahi yang mengerenyit.
Blaze langsung memutar otak dan menjawab sebelum Fang mencurigai penyamarannya. "Tenggorokanku sedikit gak enak, tapi aku masih bisa nyanyi. Tenang saja."
Fang menatap Blaze yang menyamar jadi Halilintar itu. "Ah ya sudah, cepat ke toilet sana lalu ke panggung. Kutunggu ya, cepat!"
Blaze menghela napas panjang. "Kak Hali hutang banyak ke aku ...," gumamnya sebelum dia berjalan mengikuti Fang ke arah panggung.
Dimulailah pentas bakat antar sekolah se-Malaysia itu. Berbagai sekolah unggulan menampilkan kebolehan bakat siswa-siswanya. Sambutan para penonton pun tidak kalah meriahnya.
Apalagi ketika sekolah Fang dan Halilintar mendapatkan giliran untuk tampil.
Seluruh lampu yang berada dan menyorot ke panggung dimatikan. Untuk beberapa detik seluruh penonton yang berada di lapangan itu terdiam. Tidak ada suara yang terdengar dari ribuan manusia yang terkumpul di lapangan itu.
"HUWAAAAA HALILINTAAAAR!" Pecahlah jeritan-jeritan para fans Halilintar ketika lampu sorot dan panggung kembali menyala. Sorotan lampu itu terfokus kepada sosok yang memakai kaus armless merah dengan lubang lengan agak lebar, celana kulit biker hitam dan bersepatu boot kulit warna hitam.
"ARE YOU READY TO ROCK?!" Mulailah Blaze yang menyamar sebagai Halilintar itu memanas-manasi para penontonnya.
"KYAAAAAA! HALIII!" Kembali terdengar jeritan para fangirls dan fanboys di antara gemuruh sorak sorai para penonton.
Merasa sambutannya diterima, Blaze yang berdiri di atas panggung langsung mengangkat kedua tangannya. Dia meletakkan kedua tangannya di belakang kepala, memamerkan kedua ketiak mulusnya. "Come on ... say my name," bisik Blaze dengan suara yang menggoda ke mikrophone panggung.
Semakin ramailah para penonton bersorak dan menjerit-jerit. "KYAAAAA! HALI! LINTAR! HALI! LINTAR! HALI! LINTAR!" Begitulah sorak sorai gempita yang tidak berkesudahan membahana.
Sebuah senyum penuh kepuasan mengulas di wajah Blaze. Dia meletakkan tangan kirinya pada barisan senar-senar gitar listriknya dan tangan kanannya diangkat tinggi.
Dengan sebuah genjrengan antap, Blaze memulai lagu pertamanya.
"People are in big confusions."
"They don't like their constitutions."
"Everyday they draw conclusions."
"And they're still prepared for war."
Duet antara Blaze dan Fang terjalin begitu konpaknya. Tidak ada genjrengan gitar yang keliru, tidak ada nada sumbang karena salah memetik senar gitar. Sepertinya memang tidak sia-sia Blaze berlatih dari Halilintar hampir seharian kemarin itu.
"In the sky a mighty eagle."
"Doesn't care 'bout what's illegal."
"On its wings the rainbow's light."
"It's flying to eternity."
Bahkan pada bagian refrain pun Blaze masih bisa mengimbangi Fang. Keduanya masih kompak berduet sempurna tanpa cela.
"Eagle fly free."
"Let people see."
"Just make it your own way."
"Leave time behind."
"Follow the sign."
"Together we'll fly someday."
Pada akhir bait refrain lagu Eagles Fly Free yang dibawakan, Blaze memperhatikan bahwa para penonton semakin terpacu dan memanas. Sorakan mereka semakin menggelora dan itu membuat Blaze melakukkan sesuatu berdasarkan instingnya.
Blaze memunggungi para penonton. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas, membentuk huruf Y dengan kedua tangan dan tubuhnya. Ditengah sorakan para penontonnya, Blaze menjatuhkan diri ke tengah-tengah para penonton.
Dengan sigap para penonton menagkap tubuh Blaze. Bagaikan perahu yang terombang-ambing di tengah lautan, Blaze terlihat seperti mengapung di atas lautan manusia sembari tetap memainkan lagu yang dibawakannya.
Sementara itu di rumah ....
Halilintar menyaksikan pertunjukan bakat antar sekolah itu lewat televisi. Dia mendelik horor ketika melihat apa yang diperbuat Blaze. Namun dalam keadaan sakit, dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali membenamkan wajahnya yang merah merona ke dalam telapak tangannya. "Habislah aku," gumam Halilintar lirih.
Keesokan paginya ....
Tanpa permisi lagi Blaze menerobos masuk ke dalam kamar milik Halilintar. Kepuasan jelas sekali terlihat dari wajahnya yang berseri-seri.
"Sukses Kak! Sukses besar!" pekik Blaze dengan riang ketika dia berada di dalam kamar milik ketiga kakak tertuanya.
Di dalam kamar itu Halilintar sedang duduk di atas ranjang seorang diri. Dia sedang menyantap sarapan pagi berupa bubur untuk perutnya yang masih ngadat.
Halilintar menghela napas panjang dan menatap ke arah Blaze. "Blaze ... kamu gila? Mana pernah aku sengaja pamer ketek di depan fans seperti kamu ...." Mulailah Halililintar menggerutu. "Dan ini ... apa maksudmu?"
Halilintar mengeluarkan ponsel miliknya dan memperlihatkan rekaman pertunjukan kemarin dimana Blaze menjatuhkan diri ke atas lautan penonton.
"Waah, aku keren juga ya?" ucap Blaze yang pertama kalinya melihat sudut pandang kamera pada saat dia menjatuhkan diri ke atas lautan penonton.
"Keren palamu?!" ketus Halilintar dengan wajah masam. "Gara-gara itu besok-besok aku pasti bakal diminta untuk pamer badan dan body surfing di atas penonton lagi!"
"Seharusnya aku jujur dan bilang ke Fang kalau aku sakit," gumam Halilintar. Kedua netra merah rubinya menatap layar ponsel miliknya yang menunjukkan saat-saat Blaze melepaskan baju kaus armless merahnya dan melemparkan baju kaus yang penuh keringat itu ke arah penonton. "Habislah aku, Blaze ...."
Blaze tersenyum kecut. Dia berjalan menuju jendela kamar dan melambaikan tangan kepada Halilintar sebagai isyarat untuk mendekat.
Dengan langkah gontai Halilintar berjalan mendekati Blaze setelah dia bangkit dari ranjang.
"Yah, lihat sisi baiknya Kak," ucap Blaze seraya menunjuk ke luar jendela. "Fansmu bertambah banyak sekarang."
Kedua kelopak mata Halilintar membuka lebar ketika dia mendapati puluhan orang-orang berjajar di depan rumah.
"HALILINTAAAAR! KYAAAAA!" Puluhan orang-orang itu bersorak serempak ketika mereka melihat idola mereka muncul di jendela.
"Alamaaaak ...." Halilintar meneguk ludahnya.
"Yap, berkat aku, kamu jadi makin terkenal Kak!"
"Yak ... habislah ... mampuslah aku ...." Halilintar hanya bisa tertunduk lesu dan membayangkan dirinya bakal dikejar-kejar fans nya untuk beberapa hari ke depan.
.
.
.
Tamat.
Terima kasih sudah meluangkan waktumu untuk membaca.
Saran, kritik, review dan komentarmu selama tidak berbau SARA akan sangat saya hargai dan sebisa mungkin akan saya balas dengan kebaikan pula.
"Unleash your imagination."
Salam hangat, LightDP.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top