✿ 00.17 ✿
Seikhlas apapun kalau mau nangis, ya nangis
Kalau mau marah, ya marah.
Jangan menyiksa diri dalam keterpurukan
•••••
Tubuh Insani lemas setelah mendengar ibu dari balita itu memanggil kekasihnya, Azim dengan sebutan sayang. Jika Dedap Durhaka dikenal karena lupa akan asalnya, maka Azim karena pengkhianatannya. Insani melangkah tergopoh-gopoh dibantu oleh Rakha. Rakha mendekap pundaknya. Pria yang dipanggil sayang oleh istrinya itu yang tak lain adalah Azim menoleh ke arah Insani yang terbujur merunduk beringsut dibantu Rakha. Rakha membalas tatapan Azim—siapa dia?
Rakha menarik kedua tangan Insani, menggosok-gosoknya. Lambat laut Insani justru menangis. Keluarlah cairan bening dari sudut matanya. Lalu menggelinding di pipinya yang mulai sedikit lebih berisi. Itu disadari Rakha saat tetesan air mata Insani mengenai tangannya. Rakha mengangkat dagu Insani dengan jemarinya. Ia terkejut. Mengapa Insani menangis? Ada apa?
"Ada apa, Insani? Kamu sakit? Kamu baik-baik saja?" Sekali lagi Rakha menoleh ke arah suami-istri itu yang semakin jauh. Pria itu masih memandangi Insani. Rakha mengerti mungkin Insani dan pria itu pernah kenal atau ....
Setengah terisak, Insani mencoba berbicara, "A-a-aku mau pulang saja. Tolong antar aku pulang, Kha, tolong." Ia menggoyangkan tangan Rakha. Menatap dalam ke retina Rakha. Iba. Rakha pun merasakan kesedihan yang dialami Insani saat ini. Ia tak bisa melihat Insani seperti ini. Rakha memikirkan sesuatu.
"Rakha," sergahnya, "ayo pulang. Aku mau pulang. Sekarang." Insani menjatuhkan tubuhnya ke dada Rakha. Rakha mendekap kepalanya. Mengelus-ngelus sejenak sambil berpikir.
"Yakin mau pulang, tidak nunggu pesawat dari Malaysia sampai?" tanyanya masih bingung.
"Sudah sampai, Rakha, sudah sampai." Intonasi suaranya meninggi. "Pria itu, yang dipanggil ibu anak tadi sayang, itu—" Wajahnya kembali beruraian air mata. Tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa dengan dia?"
"Dia Azim, kekasihku sudah menjadi milik orang lain," imbuhnya parau. Merunduk lagi sejenak. "Ayo, pulang."
"Baiklah, baiklah, ayo." Rakha mengulurkan tangan untuk dipegang Insani.
Mereka keluar.
Rakha mangut-mangut sambil melihat Insani dengan ekor matanya. Wanita itu menatap jalanan ramai dengan tatapan sendu. Rakha memutar otak. Mungkin dia harus melakukan sesuatu untuk mengembalikan senyum Insani. Ia memutar mobil berlawanan arah dengan tujuan awal. Insani melamun tak sadar kalau Rakha putar haluan. Tak berapa lama mereka sampai di parkiran perpustakaan Riau. Rakha turun dan mengulurkan tangan untuk digapai Insani. Namun, Insani bergeming.
"Insani, ayo," ajaknya dengan tatapan teduh.
"Dimana kita?" ujarnya celingukan, "Aku mau pulang, bukan ke sini, Rakha."
"Sebentar lagi kita pulangnya. Kita duduk-duduk dulu di sini."
"Aku mau pulang," sergahnya.
Rakha membungkuk, "Kamu sedang sedih, Sani, ayolah. Jangan pulang sambil menangis begini, Pak Hanafi akan khawatir. Kamu tahu 'kan akhir-akhir ini Pak Hanafi harus terus ngontrol keadaan jantungnya."
Insani membisu. Rakha berdengus. Sekali lagi ia mencoba merayu wanita bernasib malang itu.
"Akan aku ceritakan sebuah kisah menarik. Ya mungkin akan memberikanmu gambaran."
Sekali lagi tangan Rakha menjulurkan ke arah Insani. Kali ini disambut Insani. Entah mengapa mereka menjadi terbiasa berkunjung ke perpustakaan. Cukup berjalan beberapa detik. Rakha duduk di pinggir teras musholla dekat parkiran. Namun Insani enggan. Ia justru berjalan menjauhi Rakha. Tak ada yang bisa dilakukan Rakha selain mengikuti kemana Insani pergi
Cukup lama hening. Rakha mulai memecah kebisuan. Sambil berjalan mereka saling berbicara. Tujuannya entah kemana. Insani keluar pagar dan berjalan di trotoar diikuti Rakha, di sampingnya.
"Kamu mau dengar sebuah kisah, nggak?"
Insani diam–tak menjawab.
"Aku pernah dengar teman cewek aku curhat tentang kisah cinta dia. Hampir sama dengan cerita kamu dan mungkin sama persis." Rakha memperbaiki duduknya. "Waktu itu dia duduk di tangga kampus dekat kantin. Dia menangis dan aku inisiatif mendekati, jadi teman curhat. Ceritanya gini, dia belakang nyaman bersama dengan seorang pria. Pria yang sedang LDR-an. Pria dan pacarnya ini beda kampus. Setelah empat semester berlalu, ternyata teman aku baru tahu kalau pria itu masih pacaran dengan pacar LDR-nya. Bahkan mereka sudah tunangan tanpa sepengetahuan teman aku.
"Kamu tahu, Sani, apa yang dia lakukan? Dia hanya mencoba ikhlas, tetapi seikhlas apapun kalau mau nangis, ya nangis, kalau mau marah, ya marah, tapi jangan sampai membuatmu semakin dalam keadaan buruk. Harusnya patah hati kamu jadinya pelajaran. Apalagi sudah menikah begini, gerbang itu benar-benar sudah tertutup. Kamu harus ikhlas, Insani."
"Aku ingin ikhlas, Rakha, tapi aku tidak tahu apa aku bisa. Aku tidak yakin. Rasanya seperti—"
Ia kembali terisak, "Benar-benar sia-sia saja penantianku tiga tahun ini. Setelah tujuh tahun dan menanti untuk kembali ternyata tak membuatnya setia, apa yang harus aku lakukan selain ikhlas?"
"Itu bagus, Sani. Ikhlaskanlah," ujarnya menyakinkan.
"Mau cerita masa lalumu dengannya?" tanya Rakha ragu.
Cukup lama, tetapi akhirnya Insani angkat bicara.
"Pria itu Azim. Aku dan Azim sudah pacaran sejak SMA. Sebelum pergi ke Malaysia dia bilang akan menikahi begitu pulang ke Indonesia, tapi nyatanya dia justru pulang bersama dengan istrinya. Lalu aku akan jadi apa?" Insani menyeka air matanya. "Dia terlalu memikirkan kebahagiaan hanya dengan uang, uang, dan uang. Padahal aku hanya ingin dia setia, tapi lihatlah sekarang justru dia berdusta. Dia sudah menikah, Rakha."
"Dari mana kamu tahu kalau cewek tadi itu istrinya?"
Insani menatap wajahnya tetap setelah Rakha berbicara.
"Rakha," panggilnya sambil menggenggam jerami Rakha, "tolong aku, ya? Tolong kamu cari tahu siapa wanita itu. Moga-moga aku hanya salah sangka."
Rakha mengangguk seraya berkata, "Ok!"
Sudah pukul setengah tiga. Rakha mengelus-elus perut datarnya.
"Aku antar pulang, yok."
Insani mengangguk.
*****
"Ini kuncinya, Insani. Aku pulang dulu," imbuh Rakha.
"Tidak masuk dulu? Tidak mau bahas masalah kontrak dengan ayah?" tanyanya parau.
"Ah, benar. Tapi aku lapar. Nanti malam aja aku ke sini lagi."
Semoga aja disuruh makan di sini. Asli, aku nggak punya uang.
"Enak banget masih punya nafsu makan."
"Lho—"
"Ayo masuk, kamu makan dulu baru bicara sama ayah soal kontrak kerja. Bulan depan sudah habis masanya. Mungkin kamu akan diminta kembali oleh Pak Akbar."
Rakha mengangguk dan pura-pura canggung. Supaya kelihatan jaga image.
Insani mengajak Rakha ke dapur dan mereka makan berdua. Setelah itu Insani mengantarkan Rakha ke kamar ayahnya. Rakha mengucapkan terima kasih dan Insani berlalu menuju kamarnya.
"Assalamu'alaikum, Pak." Rakha nongol dari balik pintu.
Hanafi tersenyum semringah, "Eh, wa'alaikumussalam, Rakha. Masuk-masuk."
Rakha mendekat, "Bagaimana kabarnya, Pak? Maaf saya tidak bawa apa-apa."
"Ah, tidak masalah, Rakha. Saya sebenarnya bosan harus di rumah saja. Pingin ke kantor lagi, tapi Insani selalu melarang."
"Ini demi kesehatan bapak juga."
Hanafi berdengus pelan. Tatapan ia lemparkan ke arah jendela.
"Pak, saya mau ajukan perpanjangan kontrak."
Hanafi terperanjat cukup kaget, "Benar kah? Mengapa?"
Rakha terdiam, bingung harus jawab apa.
"Sebenarnya saya juga berharap kamu lebih lama di sini. Karena kamu Insani jadi berubah seperti dulu lagi."
Rakha tersenyum kecut.
"Berapa lama?"
"Mm ... mungkin setahun, Pak."
"Tidak mau dua tahun lagi?"
"Setahun dulu, Pak. Nanti bisa ditambah tahun depan kalau masih mau diperpanjang," imbuhnya sambil menyeringai.
"Wah saya suka nih. Saya akan telpon Pak Akbar untuk memberitahukan hal ini. Kamu sudah makan? Insani kelihatan agak gemukan di pipi, tapi kamu kok kelihatan kurusan? Kalau tidak ada yang mengurus, tinggallah di sini. Kamu 'kan ke sini karena saya, anggaplah saya ini orang tua kamu di sini. Saya punya tanggung jawab itu."
Bakal ketemu Insani terus, begitu kah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top