✿ 00.14 ✿
"Jika boleh aku hanya ingin lebih lama bersamamu."
•••••
"Apa dulu kamu seperti ini?"
Insani mengerutkan dahi.
"Maksudku raut wajahnya, pembawaannya, cara bicaranya, dan ... penampilannya. Pasti banyak yang suka sama kamu, ya, dulu?"
"Kurasa begitu. Dan anehnya aku justru jatuh cinta kepada Azim," imbuhnya sambil tersenyum manis.
Grrr. Pria itu lagi.
Meskipun Insani kembali seperti dulu nyatanya ia belum bisa melupakan pria brengsek itu. Tak pulang-pulang apalagi kalau bukan brengsek.
Rakha berdengus kesal, "Aku kembali bekerja dulu, ya? Ada banyak redaksi yang perlu aku periksa, maybe."
Rakha keluar ruangan Insani. Daun telinganya terasa panas karena mendengarkan Insani yang memuji-muji pria itu. Entah apa kabarnya. Mungkin juga dia sudah lupa akan Insani, tetapi wanita itu bahkan belum melupakannya. Rakha mungkin berhasil mengubah penampilan dan cara hidup Insani, tetapi tidak untuk hatinya. Sedangkan Rakha seperti mulai mencintai Insani. Ia selalu marah dan cemburu kalau Insani mulai mengungkit masa lalunya dengan Azim.
Rakha kembali bekerja. Berkutat dengan kertas-kertas dan berkas-berkas redaksi. Ia juga harus memastikan distributor koran sampai ke tujuan dengan keadaan yang baik dan jumlah eksemplar yang benar. Ia harus memeriksa semua surat kabar apakah ada yang salah cetak atau tidak. Dan semua pekerjaannya lebih ringan karena jurnalis yang delapan bulan-an baru masuk. Namanya Akbar Saleh, berusia dua puluh lima tahun. Namun, kecepatan mengetiknya tidak diragukan lagi, nyaris secepat Rakha. Benar kata Insani, Rakha bahkan mencari penggantinya sebelum dia benar-benar menyelesaikan masa kontrak kerja.
Rakha menyeduh teh kopi. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul sepuluh. Matanya letih membaca deretan kalimat-kalimat ilmiah, opini, surat pembaca, sampai berita tragis. Ingin beristirahat barang sejenak. Ia membawa gelasnya ke ruang percetakan. Duduk di depan jendela seperti yang dilakukan Insani saat wanita itu menjadi pendiam. Mungkin mengistirahatkan pikiran bisa melakukan hal yang sama.
Asap-asap dari uap panas teh susu di gelas batu berwarna putih tulang itu mengepul ke atas. Hilang dan sirna tergandeng angin. Pikiran Rakha mulai mengotak-atik pertemuan pertamanya dengan Insani. Wanita itu sudah berbeda. Sudah terlihat lebih cantik dan ... seperti apa yang seharusnya. Namun, sayang hatinya masih dimiliki oleh Azim. 'Siapa pria itu?' itu lah yang selalu menggembur-ngembur otaknya. Siapa pria beruntung yang dicintai oleh Insani? Wanita yang .... Ah mungkin sudah Rakha cintai.
Di teguknya teh susu, sudah mulai hangat. Manisnya menyatu dengan kerongkongan. Tertelan hingga ke lambung. Ah, ini lebih baik menemani sambil berpikir bagaimana harus merenggut hati Insani. Kata orang cinta hadir karena sering bersama. Sudah hampir dua tahun bersama, apakah tidak ada sedikit rasa suka atau sedikit saja ketertarikan Insani terhadap Rakha? Ah, andai saja ada. Itu akan menjadi gerbang megah yang takkan disia-siakan oleh Rakha. Dapat juga menantu yang selalu dipertanyakan sosoknya oleh mama.
Kakinya mulai kebas. Teh susu sudah dingin. Hanya tinggal seumprit tersisa. Rakha meletakkan gelas di atas meja terdekat. Menarik kursi ke dekat jendela, ia duduk. Matahari tak kelihatan dari dalam ruangan, mungkin sudah di atas ubun-ubun, sudah tengah hari. Kantor akan lumayan sepi karena karyawan berhamburan izin untuk makan siang. Rakha enggan beranjak. Pikirannya masih sibuk menata kenyataan kalau hati Insani masih terantai Azim. Sesekali ia gemeletuk. Ia sibuk berpikir, tapi satupun tak ada yang berbuah. Tidak. Dia bukan memikirkan apa dan bagaimana, tetapi ia seperti sedang belajar menerima kenyataan tidak mudah membuat Insani menyukainya.
Suara pintu berderit, dibuka. Rakha memiringkan kepala tanpa menoleh, hanya menyadari ada yang sedang mendekatinya. Bau parfumnya seperti ....
"Pak," panggilnya.
Hera, aku pikir Insani. Dia memang tidak punya rasa peduli kepadaku!
"Bapak," panggilnya sekali lagi, "tidak makan siang?"
"Saya tidak lapar dan tidak ingin makan, lagi diet," jawabnya diikuti dengan dehem sekali. Tak biasa ia menyebutkan dirinya 'saya'.
"Bu Insani nanya kalau nggak izin dia mau ngomongin masalah kontrak."
Rakha beranjak kemudian berbalik, "Dia tidak makan?"
"Sudah."
"Sudah?"
"Karyawan yang lain sudah kembali bekerja, sudah waktunya, Pak."
"Astaga! Aku ke ruangannya sekarang."
Rakha mendatang Insani. Pura-pura kembali ceria. Sialnya dia harus belajar pantang menyerah mengejar cinta. Ah, bungaku taik kucing, i coming!
Rakha membuka pintu ruangan, "Hai cantik, diem aja cantik apalagi berak."
Insani tertawa geli, "Itu muji atau ngina? Ragu."
Rakha duduk. Insani menyodorkan seberkas surat putih.
"Waktu kamu tingal sebulan. Kemarin aku sudah bahas ini dengan ayah, kata ayah, beliau menyerahkan keputusan ini kepadamu sepenuhnya. Kami tidak mungkin mengekangmu di atas garis pekerjaan. Kamu sudah sangat membantu perusahaan kami. Terima kasih, ya." Senyum terlukis di wajahnya.
Rakha membulatkan mata, terpaku. Cukup lama ia menatap surat kontrak yang dua tahun lalu ia bubuhkan tanda tangan di atas materai enam ribu. Surat yang dibawakan Hanafi kepadanya, sekaligus hari dimana ia meragukan kebijaksanaan Hanafi. Apa ia harus bertekuk lutut memohon diperpanjang masa kontrak? Satu tahun? Dua tahun? Atau mungkin dalam hitungan bulan? Ia menarik kertas itu. Menggelitik sekujur permukaannya.
"Akan aku pikirkan," imbuhan singkat.
"Jangan tegang begitu mau ketemu keluarga," selorohnya.
Senyuman kecut, balas Rakha. "Boleh aku bicarakan soal ini kepada Pak Hanafi? Dia yang nyambut aku untuk yang pertama kalinya di sini dan aku mau minta pendapatnya juga."
"Why not? Datang lah ke rumah, sekalian bisa makan malam bersama." Insani tersenyum sambil membuka laptop. Ia menerangkan hasil rapat yang ia hadiri kemarin di hotel Grand Zuri. Rakha manggut-manggut menyimak. Sesekali mengangguk. Kerja sama dengan sponsor yang akan menjadi perusahaan investor untuk Riau Bos, PT Education Room yang bergerak di bidang ekonomi terkhusus pendidikan. Hasilnya memuaskan. Proposal yang dipakai adalah hasil centil jemari dan otak Rakha. Insani dan Hera hanya melakukan persentasi dan berlakon baik semoga investor mau menanam saham di perusahaannya dan menjalin kerja sama. Dan hasil seperti apa yang dibayangkan.
"Terima kasih sekali lagi, ya?" Insani mengulurkan tangan minta dibalas jabatan tangannya. Rakha tersenyum semringah dan mereka saling berjabatan.
*****
"Boleh saya menambah masa kontrak, Pak?" Rakha ragu akan diizinkan. Mungkin dipikiran Hanafi, Rakha hanya lah pria dewasa yang lebih senang melakukan apa yang ia lakukan dan ambisius. Kejadian di saat pertama kali mereka berbincang akan menjadi timbangan terberat untuknya ditolak. Rakha menutup mata paksa.
Ah, aku sudah berusaha, kalau tidak diizinin aku pasrah. Semoga saja, boleh. Dan Pak Akbar akan mau memperpanjang perjanjian kalau Pak Hanafi sendiri yang memintanya.
"Kenapa Rakha?" tanyanya, "Tentu saja boleh, malah saya senang sekali. Kamu andalan kami dan permintaan perpanjangan kontrak oleh kamu sendiri itu sebuah kehormatan. Tentu boleh."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top