✿ 00.12 ✿

Tentang saat bagaimana kamu kehilangan cinta dan harus terbiasa untuk itu

•••••

Pagi yang cerah. Matahari tersenyum dan memancarkan megah kemuning. Angin sepoi-sepoi berhembus membuat cuaca menjadi hangat, bersahabat. Tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Gedung Riau Bos sudah sibuk. Para karyawan lalu-alang memadati bangunan megah berlantai sebelas itu. Sama halnya dengan Rakha, ia seperti karyawan terakhir yang datang.

Ia memarkirkan motor di tempat biasa, di samping mobil Insani. Entah sejak kapan, tetapi mau jam berapa juga ia datang tetap saja parkiran itu akan kosong. Karyawan Riau Bos sangat perhatian. Ia membuka jaket dan meletakkannya di kepala motor. Memperbaiki jam tangan, lalu turun. Dengan kaus oblong berwarna putih dan celana joker berwarna hitam, ia memasuki gedung. Semua mata tertuju padanya. Mungkin karena baju dan celananya.

Ini 'kan kantor, kenapa Pak Rakha pakai baju kayak gitu?

Apa Pak Rakha nggak sadar, ya?

Pak Rakha belum mandi kayaknya, mm ....

Pingin negur, tapi ... Ah sudahlah.

Aneh banget sih.

Orang pintar ada bodohnya juga, ya?

"Ada apa? Kenapa kalian lihat saya seperti itu?"

Para karyawan menggeleng canggung. Mereka kembali fokus bekerja, tetapi saat Rakha kembali berjalan mereka masih mengintip-ngintip. Bergeleng-geleng.

Rakha hendak ke ruangan Insani, namun ....

"Iya, hallo, Ma? Ada apa?" Rakha menjauh dari keramaian. Seisi kantor akan heboh kalau sampai mendengar pembahasan yang selalu mamanya rewueh-kan. Sialnya, Rakha belum menemukan cara untuk menyelesaikan masalah itu.

"Ada apa sih, Ma? Aka udah bilang jangan telepon Aka kalau bukan Aka yang nelpon. Aka kerja, Ma, payah. Bukan nggak mau ditelpon. Ini aja Aka baru mau masuk ruangan, eh mama udah nelpon."

Uhuk ... uhuk

"Mama sakit, Aka. Kamu kapan pulang?"

"Mama sakit?" Rakha terperanjat tak percaya.

"Bohong, bohong," sahut seseorang dari balik telepon.

Rakha menghembus nafas panjang, "Jangan ulang lagi, ya, Ma. Ma, Aka jauh jadi jangan seperti ini lagi, ya? Aka khawatir kalau mama sakit, yang lain sakit atau kenapa-kenapa."

"Iya, mama 'kan cuma—"

"Ya sudah, Ma, Aka balik kerja, ya?"

"Tunggu, Aka, kamu jadi pulang 'kan tahun ini? Kamu kontaknya 'kan cuma dua tahun."

"Belum Aka bicarakan dengan direktur Sani, Ma. Udah, ya, Ma, Aka matikan. Bye."

Rakha kembali ke ruangan Insani. Entah mengapa ia ingin sekali ke ruangan gadis itu sebelum memeriksa ruang percetakan. Semenjak ada jurnalis baru pekerjaannya lebih ringan.

Rakha menyelonong masuk, "Sarapan di kantor? Pasti tidak sempat sarapan di rumah, ya?"

"Iya," imbuh Insani. Ia membersihkan bekas makannya dan memanggil OB dari sambungan telepon. Meneguk air putih, kemudian kembali berbincang dengan Rakha, "ada apa?"

"Tidak ada hanya pingin ke sini aja."

"Kenapa?"

"Entah lah, tapi kamu terlihat beda hari ini. Apa karena baju baru atau apa, ya?"

"Aku tidak sedang memakai baju baru. By the way, terima kasih pencerahan kemarin yang di bandara membuatku sadar kalau dengan menunggu kita nggak perlu sampai menyiksa diri. Bukan begitu?"

"Wah, sudah cerdas."

Insani menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. Itu kali pertama semenjak tiga tahun tidak. Sejak Azim pergi, sejak itulah Insani kehilangan senyum di wajahnya.

Ruangan hening sejenak sampai seorang OB datang. Insani menyuruhnya masuk dan memerintah untuk mengembalikan bekas makannya ke kantin Ulung Abduh.

"Pria itu yang—"

"Iya," terka Insani, "Ulung Abduh meminta tolong saudaranya yang ada di Malaysia untuk membantu Azim di sana. Ulung Abduh itu sudah seperti ayahku sendiri karena saat Bunda meninggal ayah selalu membawaku ke kantor dan Uwak Kesa, istrinya Ulung Abduh yang akan menjagaku hingga sore. Pagi-pagi Uwak Kesa membantu ulung di kantin, tapi menjelang siang pulang ke rumah. Sementara aku di jemput saat ayah sudah pulang ngantor sekalian ngantarin ulung pulang. Mereka keluarga yang baik."

"Bagaimana rasanya kehilangan ibu saat kamu masih sangat muda?"

"Aku sama sekali tidak ngerasain kekurangan kasih sayang. Ayah selalu memberikan kasih sayang ganda untukku. Ayah seperti ayah dan bunda bagiku."

Rakha tercengang. Gadis ini bijak juga kalau ... tidak stress. Eh ....

Rakha bertepuk tangan, "Hebat! Kamu bijak juga, ya."

Insani tertawa ringan, "Ah bukan begitu, aku hanya menjawab apa yang kamu tanyakan, 'kan?"

Rakha menyeringai. Mengangguk pelan. Kemudian memukul meja. Insani terperanjat.

"Aku ada pernyataan kamu jawab, ya?" Insani mengangguk, "Translate ke bahasa Inggris, kamu."

"You."

"Bisa?"

"Can."

"Gigi?"

"Tooth."

"Aku?"

"I am."

"Pink? Eh, merah muda."

"Pink?"

"Matahari?"

"Sun."

"Disatukan menjadi—"

"Jadi ... you-can-tooth-i am-pink-sun."

Rakha cengar-cengir, sementara Insani celingak-celinguk. Hening. Garing. Ada apa?

"Mm ... nggak lucu, ya?"

Kening Insani berkerut, "Yu kentut ai pingsan."

"Eh salah itu," sahutnya sambil menepuk jidat, "Astaga senjata makan tuan. Harusnya ai kentut yu pingsan. Eh, 'kan."

Rakha menggaruk-garuk kepalanya.

"Sudah lah, aku kembali bekerja dulu."

Insani mendeliknya yang tergopoh-gopoh keluar ruangan.

Dasar aneh!

*****

Rakha terhenyak. Insani memakai dress sepanjang betis. Berwarna merah hati dan memakai jas hitam. Rambutnya ia kucir satu, hanya sejumput terurai di dekat kedua telinganya. Berjalan anggun dari ujung ke ujung. Semua mata tertuju padanya, penampilan yang tidak pernah semenjak saat itu. Karyawannya menyapa lembut. Rakha mendekat. Wanita itu pagi ini seperti tampil dengan kekuatan magnet. Rakha mana bisa tidak menguntit Insani. Aura wanita itu semakin terpancar dengan kecantikan yang semakin terlihat jelas.

"Hai, kamu cantik. Begini dong, tiap pagi senyumin karyawan yang nyapa kamu."

Rakha dan Insani jalan bersisian.

"Aku dengar ada pertemuan mendadak, ya?"

"Iya, mau bahas kerjasama dengan perusahaan Elang Jaya Batam, perusahaan elektronik di Batam, cabang Elang Jaya Bandung. Kita akan persentasi dan semoga saja mereka mau menandatangani kontrak. Semakin banyak investor semakin bagus. Dan ...," Insani menatap lekat wajah Rakha. Pria itu berpeluh, "itu semua juga karena kamu. Kamu jurnalis yang bisa diandalkan. Terima kasih."

"Ah, bukan apa-apa," elaknya sambil tersenyum centil.

Rakha mulai merasa canggung saat di dekat Insani. Itu adalah rasa yang dinamakan pracinta. Sebuah rasa menuju cinta.

Angin pagi menjelang siang mengibas lembut rambut Insani yang terurai sedikit di bagian pucuk telinga. Manisnya dan Rakha terbuai pada pandangan indah itu, tak lain adalah Insani. Wajahnya semakin menyuguhkan senyuman yang tulus. Seandainya kesedihan yang ia rasakan sirna seluruhnya, mungkin akan lebih indah dari hari ini.

Rakha tersenyum-senyum sendiri di ruangannya. Bayangan Insani semakin sering berayun di balik kelopak matanya. Gadis itu, ah cantiknya. Ia semakin semangat bekerja. Tak disangka pengiriman yang sempat ia kutuk dengan berbagai sumpah serapah nyatanya mengantarkannya kepada Insani. Gadis itu mungkin adalah jawaban untuk semua pertanyaan mama Rakha. Semoga saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top