✿ 00.11 ✿

Aku tidak bisa mengatakan dia egois dan kamu terlalu naif
Karena aku tidak hidup di masa-masa itu

•••••

Pagi disambut dengan gerimis. Insani terbangun dari meja kerjanya di kamar. Ia ketiduran. Tadi malam ia membaca berkas-berkas itu hingga tertidur. Dengan tandas ia langsung membereskan semua dokumen penting untuk rapat redaksi pagi ini pukul sembilan.

Setelah selesai bersiap-siap Insani langsung turun dan sarapan. Ia senang ayah sudah lebih baik. Setelah punya janji dengan ayahnya bahwa ia tidak akan pernah berharap Azim kembali nyatanya tak membuat insani angkat kaki dari masa lalu. Seperti pagi ini, ia kembali mengunjungi bandara sebelum berangkat ke kantor. Dasar keras kepala.

Insani duduk di kursi biasa ia menunggu Azim. Bukan menunggu tetapi, berlahan-lahan membunuh diri sendiri dengan harapan yang disiram sendiri. Kali ini ia membawa jaket Azim dan cincin putih itu. Ia ingat sekali jaket ini yang Azim lekatkan ke punggungnya saat mereka kehujanan di pasar malam.

Waktu itu ....

Hujan tiba-tiba luruh seperti dituangkan dari langit. Hujan membasuh kota. Azim dan Insani berlarian mencari tempat berteduh sambil tertawa terbahak-bahak. Di tengah hujan yang semakin deras Azim sempatkan membuka jaket dan memayungi Insani dengan itu. Sialnya, pasar malam dibangun di tempat terbuka yang berukuran hampir satu hektar. Semua orang kocar-kacir berebut tempat teduh. Namun, lain dengan sepasang kekasih itu. Mereka terus berlari tanpa tujuan. Begitu menemukan satu tempat berteduh pasti ada saja yang memohon untuk mereka cari tempat lain. Tak ada pilihan mereka akan kembali berlari dan mereka menyukai itu.

Langkah mereka terhenti karena lelah berlari. Insani menatap wajah Azim yang tersiram air hujan. Begitu juga dengan dia yang cukup sulit bicara atau didengar perkataannya.

"Sani, kalau kita pulang langsung, bagaimana?"

"Masih hujan, Zim."

"Kita juga sudah basah. Lagian sudah hampir larut malam. Kita pulang aja, ya?"

"Ok," sambut Sani.

Azim merangkulnya. Mereka menarik gas dan pulang. Tak banyak penghuni jalanan, salah satunya adalah mereka. Insani memeluk Azim dengan erat. Sepanjang jalan ditimpa hujan karena mereka naik motor Azim.

"Hujannya tidak henti-henti. Kamu bisa pulang? Atau mau nginap di rumahku?" pekik Insani.

"Tidak usah. Aku pulang aja tidak apa-apa."

"Yakin?"

"Iya," imbuhnya sambil menginjak rem. Mereka sampai.

"Beneran tidak apa-apa, Zim? Hujannya deras banget. Kalau kamu sakit, gimana?"

"Sayang, sudah lah tidak apa. Kamu sekarang masuk, mandi, keramas, terus minum minuman hangat, biar nggak demam, ya? Aku pulang."

"Kamu juga lakukan hal yang sama."

Azim mengangguk dan tersenyum. Berbalik arah, melesat setelah membunyikan klakson. Insani girang sambil melambaikan tangan.

Azim, apa kamu masih seperti dulu? Apa cintamu sama seperti dulu? Aku harap begitu.

Seseorang menyentuh pundak Insani. Insani terperanjat dan spontan berdiri, memeluk sang pemilik tangan itu. Insani tersenyum ria sampai tak sempat melihat wajah pria itu. Hatinya teramat bahagia. Kekasih yang ia tunggu siang dan malam, setia menjaga hati hingga dua tahun lebih, akhirnya hari ini kembali ia dekap kekasihnya itu. Takkan dilepas. Takkan dilepasnya lagi. Pelukan ini akan terus hangat dan menyatu dengan hatinya.

"Azim, akhirnya kamu pulang juga. Sudah lelah aku menahan rindu. Aku hampir saja menyerah, tapi akhirnya kamu mendatangiku saat aku selangkah lagi akan nyerah."

Tangan pria itu membalas mendekap tubuh kurus Insani. Telapak tangan kanannya menyapu kepala Insani dari ubun-ubun hingga ujung rambut. Dekat semakin melekat. Angin pagi berhembus ke arah mereka. Pasang mata nyaris ke arah mereka. Mereka seperti medan magnet, sama-sama menikmati pelukan yang tak sengaja terjadi.

"Bagaimana sudah puas kah kamu mencari uang itu?" imbuhnya sambil menepuk pelan lengan pria itu.

"Insani," panggil pria itu, "ini aku, Rakha."

Insani melepaskan pelukannya, "Ka-ka-mu? Sedang apa kamu di sini?"

Rakha tersenyum.

"Ma-maaf, maaf," desisnya hampir tak terdengar.

Rakha memegang kedua pundak Insani dan mengisyaratkan untuk duduk. Mereka duduk bersampingan.

"Insani, menyerah lah jika ingin menyerah. Tolong jangan siksa dirimu dengan harapan-harapan semu yang kamu ciptakan sendiri. Sudah cukup semua ini, Insani. Banyak yang membutuhkanmu. Banyak yang menyayangimu dan menginginkan kamu seperti dulu lagi," desisnya, "termasuk aku."

"Aku hanya mencintai dia. Yang aku lakukan hanya setia kepadanya."

"Semua sudah mengetahui kesetiaanmu kepada pria itu, tapi tidak begini caranya. Tadi kamu juga sudah katakan kalau kamu menyerah, kalau tidak sanggup jangan paksa untuk sanggup. Kamu hanya menyiksa hidupmu. Ada cara lain menikmati kehidupan dan salah satunya bukan dengan seperti ini."

"Tapi kamu juga tidak ngerti sebanyak apa cintaku untuknya. Dia adalah duniaku. Kepergiannya, tanpanya itu sama saja bagiku kehilangan semangat hidupku. Dia adalah semangatku untuk hidup."

"Heh ... kamu bukan anak SMA lagi, Insani. Kamu sudah dewasa. Harusnya kamu bisa mengontrol emosimu. Kamu seorang CEO, pemimpin perusahaan besar, tolong jangan seperti ini. Apa kamu tidak capek hidup di dua dunia yang berbeda? Saat di kantor kamu tegas seperti apa layaknya seorang CEO, tapi di sini, di bandara kamu ciut lagi, ngelamun lagi, nangis lagi. Kamu capek, 'kan?"

Insani menangis.

"Aku tidak bisa katakan kalau pria itu egois dan kamu terlalu naif dan bodoh, karena aku tidak ada di masa saat kalian bersama. Namun, aku mewakili semua orang-orang yang ada disekitarmu. Mereka ingin kamu seperti dulu lagi, Insani."

"Aku tidak bisa. Sulit bagiku hidup tanpa—"

"Hei," Rakha menarik dagu Insani, "jangan bicara seperti itu. Kamu terlalu mencintainya melebihi Tuhanmu sendiri dan itu tidak boleh. Kamu, tahu?"

Rakha berdengus, "Tugasmu hanya ikhlaskan, lupakan, dan berlahan cintamu untuknya akan berkurang sedikit demi sedikit. Percaya padaku, aku akan bantu, Sani," ujarnya penuh keyakinan.

Insani tidak berkata apa-apa. Dia juga perlu waktu untuk memikirkan semua ini. Membuat keputusan untuk mengikhlaskan perlu waktu yang cukup menguras dan hati terkadang memang tidak sependapat dengan pikiran. Mereka akhirnya bergeming. Cukup lama.

"Kamu bawa mobil?"

Insani mengangguk.

"Ayo ke kantor, sudah pukul delapan lewat. Aku akan mengikuti dari belakang. Ada rapat redaksi pagi ini. Nanti kita telat."

Tepat pukul sembilan kurang sepuluh menit mereka sampai. Rakha langsung menuntun Insani menuju ruang rapat. Sebelumnya Rakha menyuruh Insani memperbaiki polesan bedaknya. Luntur terkena air mata.

Begitu sampai di lantai tiga Hera langsung menghampiri.

"Bu, Pak, yang lain sudah pada datang. Sudah menunggu di dalam."

"Iya, mari kita masuk. Langsung kita mulai saja meeting-nya."

"Baik, Bu."

Mereka langsung memulai rapat tanpa bertele-tele. Seperti biasa, Insani memainkan perannya yang kedua. Ia memimpin rapat dengan baik dan bijaksana. Sungguh gadis yang pintar dan ... cantik. Sekali.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top