✿ 00.09 ✿

Lepas, kemudian jatuh. Sayang, kelopak bunganya terbang dibawa angin sementara duri yang mengenai hati.

•••••

Azim ... sedang apa kah kau di sana? Tak ingat kah kau untuk pulang? Cincin ini masih kusimpan. Kapan kah kau kembali untukku, Azim? Kucintai kau sampai melewati batas sakit. Rindu terpupuk subur. Aku akan nantikan kau sampai kapanpun. Besar harapanku kau pulang sesegera mungkin. Tidak lewat pelabuhan ini, mungkin di bandara aku akan menemukanmu.

Nafas Insani berderu ganas. Ini yang kesebelas kali ia mendatangi pelabuhan yang menciptakan jarak di antaranya dan Azim. Namun, kesebelas kalinya juga ia harus meninggalkan kota ini dengan beban kekecewaan yang mendalam. Meskipun begitu, Insani tetap berharap penuh. Ia terlalu mencintai Azim. Hati Insani pergi bersamaan dengan pria itu.

Dua bulir menggelinding di kulit pipinya. Pucuk kepala ia sandarkan ke jendela mobil. Mendekap jaket milik Azmi. Tangannya menggenggam erat cincin putih. Hanya jaket dan cincin ini yang tertinggal bersama kenangan yang semakin lekat di ingatan Insani seperti kaset rusak. Andaikan pria itu segera pulang, mungkin keterpurukan ini akan pulih. Tak berbohong dan tak bisa dipungkiri mungkin saja ada yang akan berubah di diri Azim kalau-kalau esok ia kembali. Insani jelas takut cinta Azim tak sebesar cinta yang dulu. Atau apapun bentuk perubahan itu, Insani takut.

Mata menembus kaca mobil ke jalanan yang ramai. Berpuluh-puluh kilometer jalan yang ditempuh, tetapi Insani tetap pada posisinya. Bergeming, tidak bicara sepatah kata pun. Terkadang memejamkan mata supaya supir di sampingnya mengira ia sedang tidur. Supir yang sudah paham kemana Insani diantar dan dijemput. Penolakan untuk diajak berbincang juga ia lakukan dengan memakai masker. Masker itu tidak ia buka barang sekali. Kerinduan dengan Azim membuatnya lebih pendiam dari biasanya. Jujur saja, banyak ketakutan yang menggerogoti kepercayaannya terhadap Azim.

"Tempat biasa, Sani?"

Suara supir itu mengejutkannya. Insani terperanjat. Melirik jam di tangannya. Pukul satu siang.

"Ke kantor Riau Bos saja, Pak." Supir mengangguk takzim.

Sebelum menurunkan Insani ada beberapa penumpang yang harus diantar terlebih dahulu. Tiga puluh menit berikutnya baru lah Insani turun dari mobil itu.

Dengan segala sisa kekuatan Insani pura-pura baik-baik saja. Berjalan memasuki gedung berlantai sebelas itu. Sebenarnya letih ia harus mengatur diri menjadi dua kepribadian. Di malam yang sepi dan berpeluh dengan kerinduan, ia menjadi wanita terlemah di muka bumi. Saat mentari tersenyum di atas sana, mulai lah ia merajut ria di topengnya.

Beberapa karyawan menyapa, Insani memperlihatkan seuntas senyum tanpa bicara. Tiga hari tak kelihatan direktur Riau Bos itu di tempat.

"Enak banget liburan," celetuk Rakha saat wanita itu hendak masuk ke ruangannya. Insani berlalu begitu saja.

"Jam dua kita bicarakan lagi soal ini, ya?" Rakha menolak menuju ruangan Insani. Sementara lawan bicaranya berlalu pergi.

"Liburan kemana tiga hari ini?" Rakha menyelonong masuk. Insani terpaku. Hanya melihat Rakha dengan ekor mata, tipis sekali.

"Baiklah, maaf kalau pertanyaan itu mengganggumu." Rakha duduk, "Ini ada beberapa berkas. Mengenai laporan kinerja dari beberapa Biro Penyalu dan penilaianku untuk redaksi-redaksi yang mereka ajukan belakang ini. Kamu belum melihat dan menilainya. Menurutku delapan puluh lima persen pekerjaan mereka bagus semua. Hanya beberapa kesalahan dan itu juga tidak begitu fatal."

Rakha menggeletakkan kertas-kertas HVS bermap hijau di depan Insani.

"Harusnya Hera yang mengantarkan berkas ini ke saya, bukan kamu."

"Pesanmu bukannya aku dan Hera harus bekerja sama nge-handle perusahaan selama kamu tidak di tempat?"

Insani berdengus. Rakha tersenyum sinis.

"Kamu boleh kembali bekerja. Terima kasih."

Gitu doang? Garing banget. Dasar knalpot berair! Haaaa ... aku kesal.

*****

"Hai, Sani."

"Kamu lagi. Ada apa?"

"Aku mau nebeng hari ini dong, soalnya nggak bawa motor. Pandaku sedang tidak baik-baik saja, masih di bengkel, boleh, ya?"

"Apa gajimu bulan ini belum cair?"

"Sudah. Emangnya kenapa?"

"Kenapa tidak naik ojek atau busway saja?"

Ruangan membisu sesaat. Otak Rakha menemukan ide, "Bagaimana kalau kita naik busway saja? Kamu juga 'kan nggak bawa mobil."

"Saya bisa minta jemput oleh supir."

Kurang beruntung! Otak dia lebih gercep dari aku.

"Sudah hampir setahun aku di sini, belum pernah naik TMP¹ lho. Ayolah, bareng. Entah aku nyasar gimana?"

"Nyasar kalau kamu tidur di busway."

"Iya ntar aku tidur kamu jagain biar nggak nyasar."

Kening Insani berkerut tiga. Tiba-tiba handphone-nya berderit.

"Iya Kang? Sudah di depan?" .... "Iya, iya, Insani turun. Sebentar, ya?"

"Saya duluan ya, Rakha. Permisi."

"Eh—"

Rakha mengejar Insani. Mereka satu lift. Rakha masih saja membujuk Insani untuk naik busway saja. Rakha sadar! Kamu itu siapa bisa ngatur-ngatur seorang CEO? Seorang Insani yang tidak punya waktu untuk berurusan denganmu. Apapun selain pekerjaan.

Rakha nyaris menyerah membujuk Insani. Memutar otak. Apa kah ia harus merengek seperti anak kecil. Oh tidak ada cara lain.

"Oh ya Tuhan! Mengapa nasibku hari ini semiris ini. Nggak ada yang nemani baik busway. Mau nebeng juga nggak beri tumpangan. Bagaimana ya Tuhan?" pekiknya di halaman gedung.

Insani mendeliknya jijik.

Astaga! Apa yang dia lakukan? Buat malu saja.

"PAK RAKHA!" Insani menatap tajam, "Kemari!"

Asyik. Berhasil caraku.

Rakha mendekat. Insani menyerang, "Dimana harga dirimu sebagai seorang jurnalis yang intelek?" desisnya.

"Hanya itu yang bisa membuat kamu mau mengantarkanku pulang."

"Sayang sekali, tapi usahamu sia-sia." Insani membuka pintu mobil.

Rakha mengenadah tangan ke langit, "Ya Tu—"

"Masuk!" perintah Insani terpaksa.

"Lain kali jangan lakukan hal konyol seperti itu lagi. Saya tahu kamu mengerti dengan peringatan ini karena seorang jurnalis tidak akan melakukan hal seperti tadi. Ini adalah peringatan pertama dan terakhir. Jadi jangan melakukannya, bahkan untuk berniat saja jangan coba-coba."

"Baiklah, baiklah, saya hanya tidak ada cara lain lagi bagaimana bisa nebeng dengan kamu."

"Terlalu obsesi dengan mobil ini?"

"Apa? Tidak biasa saja. Aku cuma—"

"Apa perlu saya memberikan kamu kendaraan khusus?"

"Oh ayolah, aku tidak semurahan itu. Aku punya motor, 'kan? Lagian cuma hari ini aku nggak bawa motor. Nanti akan ada kecemburuan sosial apalagi aku 'kan karyawan baru," jelasnya, "Baiklah, aku minta maaf."

Aku lebih suka melihat kamu naik motor. Itu selalu mengingatkanku dengan Azim.

Cukup lama mereka bersemedi dengan pikiran masing-masing.

"Non, temannya mau diantar kemana?"

"Tanya saja, Pak, saya sedang membaca berkas-berkas ini."

Rakha gemeletuk. Ekor matanya mengintip Insani.

"Dimana, Mas?" Supir itu meliriknya lewat kaca spion.

"Jalan Merpati Sakti, Pak. Di Gang Duku II. Turunkan saja aku di depan gang, Pak."

"Baik, Mas."

"Thanks untuk tumpangannya yang pertama dan yang ter-a-khir," dengus Rakha.


________
¹TMP (Trans Metro Pekanbaru) sudah ada sejak tahun 2009 dan diresmikan pada tanggal 18 Juni 2009

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top