✿ 00.05 ✿
Kapan kah kau suruh aku untuk mencintai 'mu?
•••••
"Pagi Pak Rakha. Jam segini sudah stand by di kantor. Lagi apa sih?"
"Saya sudah cetak koran. Kemarin malam saya suruh bagian percetakan datang pukul tujuh supaya berita langsung diedar."
Rakha memberikan segelas teh susu kepada Hera. Saat wanita itu muncul, Rakha memutuskan untuk membuatkan dua gelas minuman favorit yang selalu menemani paginya. Rakha memberikan isyarat untuk mengajak Hera duduk.
"Kamu juga datang lebih awal."
"Hanya cepat 15 menit dan memang saya ke kantor seperti ini, Pak."
"By the way, saya mau tanya sedikit dong soal Bu Insani," bisiknya, "Dia ada apa? Maksudnya dia kenapa? Kok saya merasa dia aneh, berbeda dan ... gitu deh."
"Bu Insani seperti ini sejak ditinggal merantau sama kekasihnya, Pak. Namanya Azim. Setahu saya mereka pacaran sejak SMA."
"Berapa lama?"
"Nggak tahu juga, Pak. Pokoknya sekarang usia Bu Insani 27 tahun."
Uhuk uhuk ....
"Kenapa, Pak?" celetuk Hera.
"Dua puluh tujuh tahun? Astaga, saya pikir sekitar 24 atau 25."
Hera memamerkan gigi putihnya. Ia beranjak setelah melihat jam tangannya, "Saya permisi Pak, mau kembali bekerja. Sekali lagi terima kasih teh susunya."
Dua puluh tujuh tahun? Ditinggal pacarnya? Azim?
"Selamat pagi, Pak Rakha," Insani menyapa secara tiba-tiba. Rakha mendelik ngeri. Mereka saling balas tatap-menatap. Rakha membalas dengan senyuman paksa.
Rakha menghabiskan tegukan terakhir. Kemudian menarik tas ransel dan berjalan cepat ke arah lift. Dia turun. Insani yang kembali lagi hendak menemuinya tidak sempat. Insani kembali ke ruangan. Memainkan handphone dan mengirim whatap kepada Rakha.
Terjadi demo di Kampus Cahaya Islam, Panam.
Insani ✓
"Cahaya Islam, Panam?"
Rakha menyeruput habis air putih di gelas. Menarik tas cepat. Merogoh saku celananya dan membayar sarapan ke tukang rumah makan yang berjaga. Menarik ponsel dan memesan ojek online. Tak lama menunggu, ia langsung melesat menuju TKP. Jurnalis tidak perlu surat izin meliput. Setelah mendapatkan name tag sebagai jurnalis Riau Bos, ia tidak perlu takut diusir.
Sekitar lima belas menitan di jalan, Rakha sudah berada di kawasan Kampus Cahaya Islam, kampus berbasis islami yang mahasiswanya cukup sering melakukan demonstrasi. Rakha langsung berlari mendekati para demonstran.
"Sasaran empuk," pekiknya sambil berlari. Ia menarik perekam suara dari dalam tas.
Rakha menyusup di antara para demonstran. Melesat ke sana ke mari. Ia menghidupkan tape recorder dan menggantungnya di leher. Dengan cekatan ia langsung menarik kamera dari dalam tas. Memotret propokator, barisan demontran dari depan, belakang, kiri, dan kanan. Semua demonstran menuntut keadilan yang menurut mereka sudah raib. Sekejap Kampus Cahaya Islam menjadi lautan singa kabur.
Para demonstran berhenti di depan kantor rektorat. Mengibarkan bendera putih yang dicat dengan bacaan 'kembalikan hak mahasiswa', 'tangguhkan sistem demokrasi', 'cabut penjabat yang memakan UKT mahasiswa', dan sebaginya. Rakha ikutan duduk di antara mereka. Di leher sudah ada tape recorder dan kamera. Ia kekurangan notes. Ia mulai melakukan wawancara singkat kepada salah satu demonstran setelah mengeluarkan pena dan notes.
"Mas," serunya kepada seorang pria di sebelah kanannya. Pria itu berwajah bengis. Keringat bercucuran dari dahi gelapnya. Kepala diikat dengan bendera merah putih. Pria itu menoleh.
"Ada apa, Kak?" responnya.
"Saya jurnalis." Rakha memperlihatkan name tag-nya. Pria itu mengangguk takzim. Rakha terlebih dahulu menanyakan nama dan profesi. Pria itu ternyata salah satu mahasiswa Kampus Cahaya Islam. Ikut demonstrasi karena menurutnya sistem kampus sudah melenceng dari yang semestinya.
"Apa sebelum hari ini demontrasi sudah direncanakan?"
"Sudah, Kak. Kami menyiarkan pemberitahuan gerakan demonstrasi menuntut keadilan kemarin. Mengajak mahasiswa yang mau ikut menjadi bagian dari perubahan. Pihak kampus semena-mena kepada kami."
Seorang pemimpin barisan semakin semangat memproklamasikan segala keluahan. Mewakili ratusan jiwa mahasiswa yang ikutan berseru 'hidup mahasiswa'. Pria tinggi dan sedikit berisi itu terus berteriak di depan TOA. Rakha menghentikan wawancara sejenak. Semua mahasiswa di sekelilingnya berteriak keras. Menyatukan kekuatan di bawah bendera merah putih yang dikibar ke kiri dan kanan. Semakin megah dengan hembusan angin pagi. Luar biasa!
"Hidup mahasiswa!" Melangit.
"Hari ini peran mahasiswa dipertanyakan. Segala bentuk kedzaliman tidak boleh ada di kampus kita," serunya setelah mengisyaratkan kepada anggotanya untuk diam, "Musnahkan!"
"Musnahkan!"
"Musnahkan!"
Sahut-menyahut dari ujung ke ujung. Keadaan semakin panas. Mahasiswa semakin berkutat dengan panas matahari pagi yang semakin membakar kulit. Sialnya tidak ada seorang pun yang keluar untuk mendamaikan para demonstran. Klakson motor dan mobil berderum. Jalanan padat. Laki-laki dan wanita praktisi ikut memperkuat barisan.
Pemimpin yang memiliki vokal suara keras, yang apabila kita dengar dapat kita ketahui kalau dia bersuku Batak. Wajahnya serius, suaranya keras, tubuhnya tegap, dan berkulit agak gelap. Ia mulai memimpin menyanyi lagu bersejarah untuk kalangan mahasiswa 'Mars Mahasiswa' diikuti lagu 'Darah Juang'. Seketika keadaan seperti ratusan paduan suara. Suaranya menyatu. Menggetarkan hati. Rakha teringat masa kuliahnya. Ia tersenyum tipis dan ikut bernyanyi.
Tak lama seorang berbaju dinas keluar. Tangannya menekan-nekan supaya para mahasiswa mengehentikan tuntutan. Pemimpin mereka berteriak, "Cukup!"
Disahut sorakan ria.
Pria berseragam itu naik ke atas podium tempat pemimpin demonstrasi berdiri. Mulai mengobarkan monolog singkatnya. Ia mengawali dengan muqaddimah sejenak.
"Para mahasiswa yang kami sayang, tuntutan kalian akan kami pertimbangkan. Kami juga tidak bisa memutuskan perkara dalam sekali kedip mata. Hari ini saya mengajak seluruh mahasiswa ikut rapat bersama rektorat dan jajaran untuk meluruskan permasalahan ini. Setuju?" Pria itu mengeraskan suara dibagian setuju.
Bendera kembali berkibar. Mereka bersorak-sorai menyetujui. Terlihat pria itu berbisik-bisik kepada pemimpin mereka. Setelah bertanya-tanya ternyata dia adalah presiden mahasiswa. Pria berseragam itu berbalik dan kembali masuk ke gedung rektorat.
"Teman-teman semua, ikut dengan saya beberapa orang. Kita akan rapat. Dan yang lain cari tempat teduh untuk beristirahat. Kita akan dapat keadilan," Ia menunjukkan beberapa mahasiswa untuk ikut.
"Hidup mahasiswa!"
Sekali lagi, suara mereka bergema. Semangat membakar. Usaha mereka tidak akan sia-sia.
Semua menepi termasuk Rakha. Duduk selonjoran di bawah pohon ketapang kencana yang tumbuh di halaman rektor. Ada yang beristirahat sambil berdiskusi ringan di bawah pohon pucuk merah di sepanjang jalan kampus. Rakha mengumpulkan semua informasi menjadi satu. Ikut berbaur dengan beberapa mahasiswa.
Sebuah pesan whatap lagi dari Insani.
Tolong kamu periksa data ini karena harus dicetak hari ini juga. Saya harap tidak menggangu waktu meliputmu.
Insani ✓
Data-data masuk menyusul. Satu persatu file itu berputar biru-biru. Rakha memeriksa dengan teliti. Waktu menunggu rapat selesai ia bisa memeriksa data yang dikirim oleh Insani. Lamanya memeriksa satu jam lebih.
Sudah bisa dicetak.
Rakha✓
Tepat matahari di atas ubun-ubun, presiden mahasiswa dan beberapa rekannya keluar gedung. Kedatangan mereka diserbu. Ia tampak senyum-senyum. Wajah beberapa mahasiswa di sampingnya juga sumringah. Rakha langsung berlari mendekat.
"Teman-teman seperjuangan, pihak kampus menerima tuntutan kita," kabar yang baik, "Hidup mahasiswa!"
*****
"Sarapan untuk siapa, Lung¹?"
"Untuk ucu² Sani. Kalau tak dapek sarapan dokek umah, biasonyo sarapan di kantor³."
Rakha manyun-manyun mendengarkan penjaga kantin yang akrab disebut 'ulung' itu.
"Lung, kenapa Bu Insani beda seperti—"
"Biaso gadih putuih cinto, poi ditinggal cowok dio ke Melaka, ke Malaysia⁴."
"Si Azim itu?"
"Iyo."
Cukup lama Rakha meresapi kata-kata Ulung Abduh. Walaupun belum mengerti bahasa Melayu, tetapi ia tahu pasti apa maksudnya.
"Baiklah Lung, ini uangnya. Terima kasih."
Rakha naik ke lantai tiga.
"Sudah selesai redaksi demo kemarin?" Insani muncul tiba-tiba.
"Sudah dicetak pagi ini."
Rakha menatap lekat wajah Insani. Gadis itu cantik, tetapi sayang, ia terlalu lama terkubur bersama harapan yang tak kunjung ada. Kantung matanya sedikit menghitam. Rakha mulai iba. Tak seharusnya ia menggerutu Insani saat pertemuan pertama mereka di bandara.
________
¹ Ulung/lung adalah sebutan untuk anak sulung dalam bahasa Melayu. Ceritanya Ulung Abduh adalah anak pertama dan lebih akrab dipanggil Ulung
² Ucu adalah sebutan untuk anak bungsu dalam bahasa Melayu. Karena Insani anak tunggal, Ulung Abduh biasa manggil Insani 'ucu'
³ Kalau tidak dapat sarapan di rumah, biasanya sarapan di kantor
⁴ Biasa gadis putus cinta, ditinggal pergi kekasihnya ke Melaka, ke Malaysia
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top