✿ 00.03 ✿
Tidak ingin menyalahi takdir
Hanya merasa ....
Ah sudahlah
•••••
Astaga, aku nggak percaya pindah tugas ke sini. Bahkan aku tidak kenal CEO-nya, di mana kantornya, seperti apa, dan ... Ah, Pak Akbar seenaknya aja. Apa karena aku masih single makanya dikirim ke sini? Mau protes aja, ngga bisa.
Rakha berdengus. Matanya menyapu seisi Bandara Internasional Sultan Mahmud. Semuanya asing. Ia tidak mengenal seorang pun di kota ini. Bermodalkan surat pindah tugas dan secarik kertas berisikan alamat kantor Riau Bos. Untung saja tiketnya ke sini menjadi tanggung jawab perusahaan. Ia menggaruk-garuk kepala. Ini pertama kalinya ia ditugaskan sampai beda pulau.
Tunggu! Langkahnya terhenti. Matanya menangkap sosok wanita yang kehilangan warna di wajahnya. Cukup lama Rakha mendikte wajah wanita itu. Ia mengernyit, menepuk dahi.
"Astaga! Aku masuk ke dunia mana? Baru nyampe udah lihat penampakan ini. Paling menggangguku orang-orang seperti itu. Kalau tidak punya semangat hidup mengapa tidak berdoa dipendekkan umur?"
Rakha menggerutu seorang diri. Yang ia maksudkan adalah wanita itu. Rakha melewati wanita itu yang tengah duduk dengan tatapan lurus ke pintu masuk. Baginya ini sebuah bencana. Berada di sini dan dipaksa menandatangani kontrak kerja dua tahun. Semakin sengsara karena disambut oleh wanita itu, secara tidak langsung. Sialan!
"Menyebalkan! Dunia juga tahu aku suka yang happy-happy. Bandara bukan tempat merenung, melamun, ujung-ujungnya nangis. Masa muda dihabiskan dengan cara seperti itu. Dasar!"
Wanita itu menoleh ke arah Rakha. Sayang, ia tidak dapat melihat wajahnya. Hanya punggung dan kaki yang melangkah panjang-panjang terus menjauh darinya.
*****
"Kamu ikut ayah saja ke kantornya. Tidak perlu bawa mobil. Kita pakai supir papa saja."
Hanafi masuk kembali ke dalam mobil. Dengan sisa kekuatan yang semakin terkuras setiap hari, Insani menyeret tubuhnya ke dekat mobil. Klakson berderum. Insani sedikit saja mempercepat gerak.
"Menjadi direktur itu tidak mudah. Jangan karena masalah pribadi, kamu jadi lupa dengan masalah kantor. Saat ini seharusnya ayah sedang istirahat di rumah, bukan malah ikutan mengurus perusahaan. Kan kamu direktur. Semua ini tugas kamu."
Insani merunduk dalam. Make up-nya sempurna, tetapi wajah sedunya masih jelas kelihatan.
"Sani, Ayah tahu bagaimana perasaan kamu, tapi tolong urusan pribadi jangan disamakan dengan urusan kantor. Pokoknya ayah tidak mau tahu, kamu harus memperbaiki reputasi perusahaan selama tiga bulan ini. Ayah sudah mendapatkan satu jurnalis baru. Kemarin ayah sudah menelpon Hera supaya salah satu jurnalis kita dikeluarkan dengan hormat. Posisinya akan digantikan dengan Rakha."
Angin dari kaca mobil yang setengah terbuka memburu pipi Insani. Ia tertegun mendengar perihal jurnalis baru, "Kapan ayah mencarinya?"
"Mengenai itu tidak penting. Kalian harus bekerja sama untuk mengembalikan reputasi perusahaan."
Mobil berhenti. Hanafi keluar dengan cepat diikuti Insani. Insani lebih gugup dari biasanya. Entah mengapa. Ia cukup tertampar oleh perkataan ayahnya tadi.
*****
"Sialan! Apes bener."
Hujan tiba-tiba turun saat Rakha baru saja keluar dari taksi yang ia tumpangi. Bagaimanapun ia berusaha mengelak, tetap saja air hujan berhasil menerpanya. Ia harus berlari sekitar tiga puluh meter untuk sampai di gedung berlantai sebelas itu. Salah dia juga mengapa minta diturunkan di pinggir jalan. Namun, tidak bisa disalahkan, ia juga tidak tahu kalau hujan akan turun mendadak seperti ini.
Rakha menghela nafas dalam-dalam saat kedua kakinya mendarat dengan aman di teras gedung Riau Bos. Mengibas-ngibas kemeja biru tua yang ia kenakan. Warnanya kelihatan menjadi lebih gelap. Hujan pagi ini membasuh kota. Untungnya saja Rakha sudah sampai di kantor barunya. Setelah mengeringkan kemeja dengan tisu, ia bergegas masuk. Ternyata sudah ada seorang wanita menantinya terduduk di sofa lantai dasar. Begitu Rakha mendeliknya kaget, Hera langsung tersenyum santun mendekatinya. Ia merundukkan tengkuknya sebentar.
"Selamat pagi, Pak. Maaf, apa benar dengan Pak Rakha Sutresna dari perusahaan induk kita 'Jawa Bos'?" imbuhnya sambil mengeja apa yang tertera di notebook pribadinya. ‘Jawa Bos’ termasuk ke dalam deretan perusahan besar di Indonesia yang bergerak di bidang percetakan surat kabar. Perusahaan itu menggurita.
“Benar!” ujarnya ketus. Kesalnya memuncak. Bagaimana wanita di depannya tersenyum melihat wajahnya yang disapu angin ini. Baru hari pertama masuk sudah disiram air hujan.
"Selamat datang, Pak, di perusahaan kami 'Riau Bos'. Perkenalkan saya Hera Ningsih, sekretaris Bu Insani sekaligus orang kepercayaan Pak Hanafi. Saya pikir bapak akan sedikit terlambat karena hujan tiba-tiba saja turun."
Rakha hanya mengangguk-angguk, Hera kembali bicara, "Mari saya antar untuk menemui Pak Hanafi."
Rakha dan Hera jalan bersisian. Beberapa pasang mata berfokus kepada mereka. Rakha menyapu mereka dengan tatapan heran. Beberapa hari yang lalu perusahaan mengeluarkan seorang jurnalis dengan hormat. Pak Hanafi mengatakan bahwa akan ada jurnalis baru di kantor ini. Rakha lah orangnya.
Mereka menuju lantai tiga.
Hera menarik plang pintu ruangan Insani dan membukanya, "Permisi Pak, Bu. Ini Pak Rakha sudah datang."
"Ya sudah, suruh dia masuk saja, Hera," perintah Hanafi.
"Silahkan masuk, Pak Rakha." Rakha kemudian masuk. Hera menjabat tangannya, "Selamat bergabung di Riau Bos."
Hera langsung izin pamit setelah Hanafi mengucapkan terima kasih kepadanya. Sementara Rakha dipersilahkan duduk. Hanafi mengambil alih tanggung jawab Insani untuk beberapa saat. Tepat setelah Rakha terduduk, matanya melirik Insani di pojok ruangan. Ia berdiri di depan jendela. Melempar tatapan luas ke jalanan yang mulai digenangi air. Ia kelihatan sedang melamun. Hanafi coba menguasai suasana supaya Rakha fokus membahas pekerjaan bukan Insani yang bergeming itu.
"Hm ... Rakha Sutresna, jurnalist of Jawa Bos. Orang Bandung?"
Rakha mengangguk takzim, "Benar, Pak, tetapi sejak kecil sudah pindah ke Surabaya."
Hanafi memangku dagu dengan jemari terlipat. Sebenarnya ia sudah tahu bagaimana seluk-beluk, tetek-bengek Rakha. Namun, daripada berdiam diri ia pura-pura tidak tahu. Banyak harapan yang Hanafi tanamkan di diri Rakha.
"Saya sudah terima CV kamu melalui email yang dikirimkan sekretaris Pak Akbar. Oleh karena itu, saya tidak akan bertanya banyak kepada kamu. Dan mungkin kamu yang akan bertanya banyak kepada saya terutama mengapa Pak Akbar memindahkan kamu bertugas di sini."
Mereka berjabat tangan.
"Saya ucapkan selamat datang dan selamat bergabung di perusahaan saya. Seperti yang kamu ketahui bahwa perusahaan saya adalah perusahaan cabang dari induknya yaitu perusahaan Pak Akbar sendiri. Untuk seluruh percetakan koran di Riau adalah tanggung jawab kami. Karena di provinsi ini kantor kami adalah pusatnya. Bicara mengenai perusahaan, sebenarnya saya yang meminta kamu dari Pak Akbar—"
“Tapi kenapa, Pak?” Rakha memotong.
“Perusahaan saya mengalami banyak sekali masalah. Setelah saya kaji dari permasalahan yang ada, saya butuh jurnalis yang lebih baik dan berpengalaman. Tidak ada waktu untuk merekrut karyawan baru. Butuh waktu minimalnya satu tahun untuk masa percobaan. Maka dari itu saya meminta bantuan kepada Pak Akbar untuk mengirimkan satu jurnalisnya kepada saya. Pak Rakha yang datang. Berarti Pak Rakha-lah yang terbaik. Jujur saja saya sangat berharap bantuan dari Pak Rakha.”
Hanafi menumpuk beberapa kertas HVS. Tercetak beberapa informasi peristiwa yang harus diliput oleh Rakha. Astaga! Hari pertama sudah disuguhkan tugas menggunung. Harusnya Rakha tidak keberatan. Namun, ia terlanjur kesal sejak hari pertama menapak kaki di Pekanbaru.
“Bisa mulai bekerja hari ini?” Hanafi menyodorkan kertas-kertas itu mendekati Rakha.
Rakha menelan pahit air liur. Ia mendehem halus, “Tentu, Pak. Tugas saya,” sindir Rakha.
Hanafi tertawa kecil, “Saya tidak akan memaksa kamu, tetapi saya hanya ingin katakan sebuah profesi tidak akan jelek selama pelaku melakukan tugasnya dengan totalitas. Bonusnya adalah kamu dapat reward. Bisa berupa nama baik, terkenal baik, dan sebagainya.”
Hanafi beranjak diikuti Rakha yang sedang mangut-mangut.
“Oh ya, perlu kamu tahu kalau saya direktur utama, tetapi saya tidak selalu stand by di tempat. Insani adalah direktur yang akan bekerja sama dengan kamu untuk memperbaiki reputasi perusahaan ini.”
Rakha menyeringai, “Dia dimana?”
“Itu,” tunjuk Hanafi, “Namun untuk saat ini biar saya yang menemani kamu. Dia sedang tidak enak badan.”
“Baik, Pak,” imbuhnya lebih sopan.
“Insani, kemari!” Insani menurut.
Rakha terperanjat. Ia membulatkan matanya. Wanita itu ... yang aku temui di bandara. Dia sakit? Sakit apa? Hm ....
Insani menjabat tangan Rakha. Mereka bergantian menyebutkan nama. Rakha tersenyum masam.
Rakha keluar dan berencana akan menemui Hera. Mungkin saja wanita itu dapat membantunya, minimal diberikan alamat Kapolsek.
"Hera, sebentar," serunya. Hera menoleh, "Boleh minta waktunya? Mau nanya-nanya soal alamat dan berkas-berkas ini." Rakha melambaikan berkas-berkas yang ia dapati dari Hanafi.
"Sure," tandasnya.
Mereka duduk di sofa ruangan terbuka di lantai tiga.
"Lembar pertama, 'Kapolsek Pekanbaru mencatat ada sekitar 210 kecelakaan dengan kerugian mencapai Rp634.850.000 juta'. Lembar kedua, '40 kasus tabrak lari di Jalan Soekarno, Jalan Pattimura, Stadiun, dan beberapa tempat di Garuda Sakti. Lembar ketiga, 'Kasus pencurian (curas dan senpi)¹ yang kebanyakan korbannya dari kalangan mahasiswa'. Lembar keempat—" Rakha menghempas kertas-kertas itu ke meja.
Hera terkejut, "Ada apa, Pak?"
"Saya bahkan tidak tahu alamat ini di mana. Bagaimana bisa diliput?"
"Bukannya bapak disuruh Pak Hanafi bekerja sama dengan Bu Insani? Kenapa tidak pergi bersama Bu Insani?"
"Ngajak dia malah merepotkan. Dia kan lagi sakit."
"Bu Insani tidak sakit," imbuhnya, "Bu Insani memang begitu, kurang semangat hidup," bisiknya.
"Apa saya harus bekerja sama dengan orang seperti dia? Yang ada justru dia ngga akan bisa balance dengan saya."
"Coba saja, Pak."
Rakha gemeletuk. Berpikir keras, "Saya pergi sendiri saja besok."
"Supir akan membantu. Bapak bisa pakai mobil perusahaan berikut dengan supirnya."
"Ide bagus," celetuk Rakha.
______
¹Pencurian dengan kekerasan (curas), dengan senjata api (senpi)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top