✿ 00.02 ✿
Aku terbiasa denganmu bukan tanpamu
•••••
Lintas jam tidak bisa diputar balik. Kehidupan Insani mulanya tampak berbeda. Tentunya karena tanpa Azim. Setahun terakhir tak pernah tidak berkunjung ke bandara. Teringat selalu saat pria itu benar-benar meninggalkannya di dermaga laut Dumai. Pantai dengan air hitam karena limbah penyulingan minyak bumi di lepas pantai itu menjadi lokasi terakhir mereka sebelum hari ini. Kini Insani harus terbiasa. Terbiasa tanpa Azim, terbiasa tanpa kabarnya, terbiasa tanpa kehadirannya, terbiasa tanpa dia. Janji Azim terus melekat di ulu hatinya. Menjadi tonggak keyakinan bahwa ia akan pulang untuk Insani.
Insani beringsut. Memasang pandangan lurus ke arah apron. Banyak langkah-langkah di depannya, berlalu lalang sibuk kesana kemari. Namun pikirannya kosong. Sejak pagi sudah berada di bandara.
"Permisi mau nanya, hotel yang dekat dari sini, hotel apa, ya?" Suara itu mengagetkankan Insani. Ia tertegun.
"Oh," seru Insani. Ia memperbaiki posisi duduknya, "hotel Batiqa yang paling dekat dari bandara ini, Puan."
"O-oh, iya, iya." Wanita itu mengangguk, "Terima kasih, ya?" Ia tersenyum dan langsung pergi.
Astaga, aku ngelamun lagi.
Insani mengusap sekujur wajah. Walaupun hal itu tidak menghilangi kelusuhan wajahnya, setidaknya mengurangi kerak air mata yang mengering. Ia beranjak dan keluar bandara. Entah untuk yang keberapa kalinya ia berharap akan bertemu Azim di sana, dan untuk yang keberapa kalinya ia harus kembali dengan kecewa. Terlalu sering Insani pulang dengan mata sebam. Ini sudah terlalu lama. Sebulan, dua bulan, dan sekarang sudah satu tahun. Kapan kah Azim akan pulang?
Matahari sudah meninggi. Sinarnya mulai membakar kulit. Insani malang memutuskan untuk pulang saja. Sama seperti hari-hari yang lalu, ia tak bergairah untuk pergi ke kantor. Ia langsung banting setir menuju rumah.
"Sani," panggil ayahnya saat ia tiba di ruang tamu. Wajah ayahnya tampak serius. Ayah meletakkan hp dengan hati-hati di meja, "kemari, ayah mau bicara penting sama kamu."
Insani mendekat. Lisannya tidak bicara sepatah kata pun. Ia terduduk dan merunduk dalam-dalam. Ayahnya menyandarkan punggung ke sofa. Melipat kaki kanan di atas kaki kiri. Ayahnya mengerti dengan keadaan Insani saat ini, tetapi ada tanggung jawab yang tidak semestinya ia abaikan. Ayahnya mendehem sebelum bicara, "Bagaimana kabar kantor?"
"Baik, Yah," katanya.
"Oh ya?" Ayahnya mengangguk-ngangguk, "Tapi mengapa beberapa biro penyalu menuntut cara kerja kantor pusat? Koran yang dikirim tak sebanyak yang biasanya dikirimkan. Belum lagi masalah berita kebakaran, mengapa jurnalis kita menyebar angket dan kuisioner di kota? Api membakar hutan-hutan di Riau atau setidaknya permukiman yang dekat dengan sumber kebakaran bukan di perkotaan. Ada-ada saja! Banyak yang menelpon ayah. Menurut mereka kamu tidak pernah mengangkat telpon dari mereka. Kalau pun diangkat kamu ngakunya lagi sibuk, tidak bisa diganggu. Banyak sekali alasannya." Ayah berdengus sambil mengelus dada.
"Ayah baik-baik saja?"
"Sudah, sudah," elak ayahnya saat Insani hendak menyentuhnya, "Insani, apa yang terjadi? Mengapa masalah perusahaan kamu anggap sepele?"
"A-a-aku rindu Azim, Yah," ujarnya parau.
Ayah berdengus. Ia paham mengapa Insani begitu setia menunggu Azim. Sama halnya dengan dia yang tak berkeinginan menikah lagi setelah istrinya, Bunda Insani pergi untuk selama-lamanya, "Ya sudahlah, itu nyatanya sangat menyakiti hatimu. Istirahatlah. Mulai besok ayah akan sering berkunjung ke kantor. Kamu tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini dengan keadaan seperti sekarang ini."
Ayah beranjak, meninggalkan Insani memaku diri menahan rindu. Air mata yang ia tahan akhirnya jatuh juga berlinangan. Azim, pria itu bahkan tidak pernah sekalipun menghubunginya.
*****
"Syukur Bapak datang," sambut Hera. Wanita itu berjalan cepat mengikuti Hanafi. Hera memegang notebook dan sebuah bolpoin yang siap menghunus kertas. Beberapa berkas ia dekap dengan susah payah.
"Ada apa?" tanya Hanafi tegas. Walaupun tubuhnya sudah termakan usia, tetapi wajahnya masih terlihat cukup tampan.
"Utusan dari Biro Penyalu, Pak, ingin bertemu dengan pimpinan perusahaan. Satu pekan terakhir banyak sekali yang datang, Pak. Mereka semua mempertanyakan masalah yang ada di sini. Saya tidak kuasa menjawabnya pertanyaan mereka, Pak."
Mereka masuk ke ruangan Insani. Hanafi duduk dan berkas-berkas yang dibawa Hera sudah berpindah ke meja yang ada di depannya. Hanafi dengan cekatan membaca, membolak-balik, dan mengkaji secara cepat berkas-berkas itu. Banyak sekali keluhan.
"Saya tidak mengerti mengapa Bu Insani sering tidak masuk kantor, Pak."
"APA?" Hanafi terperanjat. Matanya sedikit memerah. Ia menggeleng pelan, "Baiklah, dimana mereka?"
"Di ruang pertemuan, Pak."
"Saya akan ke sana. Tolong kamu bawa berkas-berkas itu. Kita perlu meluruskan ini semua."
"Baik, Pak."
Sekali lagi dengan usianya, Hanafi tidak bisa bergerak luwes seperti sepuluh tahun yang lalu. Ia langsung mendatangi rekan bisnisnya yang sudah menunggu sejak pagi. Diikuti oleh sekertaris Insani di belakangnya.
"Selamat pagi semuanya," sapanya. Tidak ada yang menyahut. Kebanyakan dari rekan-rekannya hanya merunduk dan berbisik-bisik dengan rekan di sebelahnya.
Seseorang mulai mengadu, "Pak Hanafi, akhirnya punya nyali muncul di hadapan kami." Tatapan pria berbadan tambun itu sinis.
"Bagaimana ini, Pak? Sudah berulang kali kami memaklumi kesalahan dari kantor ini, tapi toleransi kami justru dimanfaatkan. Kesalahan-kesalahan terus dilakukan," sambung seseorang yang duduk paling pojok.
"Pak, saya rugi besar harus membayar pihak yang merasa dirugikan karena berita palsu yang minggu kemarin baru diedarkan lewat web. Kalau begini terus, justru saya yang rugi. Entah berapa banyak lagi uang yang harus saya keluarkan," sambut yang lain.
"Kantor ini terlalu berani mengambil keputusan untuk urusan yang tidak seharusnya dikerjakan dari sini," ujar pria gempal itu lagi.
Seseorang yang sejak tadi diam mulai angkat bicara, "Kesalahan menurut saya banyak dipercetakan, Pak." Pria itu lebih sopan dari yang lain.
Hera gugup. Ia terlanjur keringat dingin. Tudingan tidak henti-henti dilempar oleh mereka kepadanya dan Hanafi. Hanafi masih diam. Cukup lama. Tidak ada cela untuknya bisa angkat bicara. Mereka melontarkan pertanyaan bertubi-tubi. Suara mereka sahut-menyahut.
Kedua tangannya melambai, "Cukup, cukup, tolong cukup!" Ia memperkuat suaranya, "Bagaimana saya bisa menyatakan apa yang terjadi kalau rekan-rekan tidak memberi saya waktu untuk menjelaskan?"
Semua terdiam dan Hanafi kembali melanjutkan perkataannya, "Saya sudah membaca proposal dan keluhan dari rekan semua dan saya paham betul bagaimana masalah yang rekan-rekan hadapi karena keteledoran dari kami. Saya sangat minta maaf."
"Lalu bagaimana ini, Pak?" tanya rekannya yang lebih muda dari yang lain.
"Begini semuanya, tolong izinkan saya memperbaiki semua ini. Berikan saya kesempatan untuk mengembalikan reputasi perusahaan saya. Saya yakin rekan semua bisa paham dan bisa memberikan saya kesempatan yang teramat kami butuhkan."
"Berapa lama?"
"Paling tidak 2-3 bulan ini."
Mereka berunding. Ada yang merunduk sambil mengangguk karena perkataan rekan di sampingnya. Ada yang mengangguk-ngangguk sambil mendelik wajah pucat Hanafi. Ada yang berwajah tenang dan ada yang merasa tidak yakin. Cukup lama dan akhirnya perwakilan dari mereka mulai bicara. Mungkin akan dipertimbangkan.
"Baiklah, karena perusahaan ini ada kantor pusat, kami percaya pihak bapak akan menyelesaikan masalah ini dengan baik. Kami hanya berharap Pak Hanafi dan jajaran dapat mengembalikan keadaan seperti semula. Tolonglah, kabar yang sampai kepada masyarakat harus akurat."
"Satu lagi, Pak. Mungkin bapak bisa ganti beberapa karyawan yang tidak cukup cermat, misal jurnalisnya," sambung seorang rekan.
*****
Tawa lansia bergema sampai ke langit-langit kamar ayah Insani. Pria yang mulai berkeriput di bawah matanya itu berdiri sambil menatap jalan raya Pekanbaru. Lebih lengang, mungkin karena sekarang jam makan siang.
"Ayolah main ke sini, belum pernah sekalipun berkunjung ke kantor cabang yang di Riau. Sombong sekali ketua ini," canda ayah.
Dari seberang terdengar sahutan, "Bukan begitu, Hanafi. Kita sudah sama-sama reyok. Sebentar saja di perjalanan pinggang sudah pegal-pegal."
"Alasan! Waktu muda juga tidak pernah ke sini."
"Ah sudahlah, kamu bahas itu mulu kalau nelpon. Telpon lah aku kalau kamu perlu sesuatu."
"Iya, Akbar, aku memang menelponmu karena ada urusan penting." Ayah berbalik dan beringsut di bibir ranjang. Kakinya mulai kram. Ia kembali melanjutkan kata-katanya,"Begini, perusahaanku lagi banyak masalah. Ya aku harus jujur, sebenarnya masalahnya adalah putriku sendiri yang lagi tidak fokus menjalankan perusahaan satu tahun terakhir ini. Alhasil, para karyawan kerja ya asal kerja saja, tidak totalitas lagi."
"Lalu, apa yang bisa aku bantu, Hanafi?"
"Aku kira kantor butuh jurnalis baru yang siap menjadi penanggung jawab distributor ke biro penyalu sekaligus editor."
"Itu masalah kecil. Aku akan langsung pilih dan keluarkan surat pindah tugas untuk salah satu jurnalisku khusus untukmu. Bagaimana?"
"Aku setuju. Tolong ya, Bar? Kemana lagi aku minta tolong kalau tidak ke kantor pusat."
"Bukan apa-apa. Jangan terlalu dipikirin."
"Ah, kamu selalu begitu."
"Aku akan kirim jurnalis terbaikku, tunggu saja." Terdengar seseorang menyapa Akbar dari seberang telepon, "Ya sudah aku tutup."
Panggilan terhenti. Dengan tandas, Akbar memutuskan telpon secara sepihak.
Syukurlah perusahaan masih ada harapan untuk membersihkan nama. Kalau mengharapkan Insani, pasti tidak akan bisa.
Piingggg!
Sore ini juga aku akan kirimkan surat pindah tugas untuk Rakha. Kamu bisa telpon dia malam ini atau besok.
_______
Terlalu banyak narasi untuk tahap perkenalan. Next akan lebih santuyy ya:)
Cuy ke halaman teman-teman odoc lainnya.
Tinggal klik akun-nya di 'Sekapur Sirih', halaman pertama dari cerita ini.
Ma'aciaww (づ ̄ ³ ̄)づ
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top