38 | Sebuah Restu

Akhirnya, kita kembali ke peran masing-masing.
Aku memperjuangkanmu dan kamu memperjuangkanku.
🥀

"Kasihan Abri. Emang nggak bisa apa Rosa nerima dia gitu, bantu jalanin hidup biar nggak kayak gini akhirnya."

"Iya. Lagian gue percaya Abri beneran suka Rosa. Cowok kalo udah sayang kan pasti bisa berubah jadi lebih baik."

"Sayangnya Rosa lebih pilih Kak Ren yang nggak jelas itu. Kalo gue jadi temen deketnya Rosa, udah gue bego-begoin mau-maunya sama cowok berengsek. Padahal dia bisa dapat yang lebih segalanya dari Kak Ren."

"Menurut gue sih Kak Ren cuma pengin menang atas Abri doang. Abis ini, gue berani taruhan kalau dia pasti ngelepas Rosa. Dijamin."

"Jangan-jangan, kematian Abri karena ...."

Rosa berbaring gelisah. Mengingat gunjingan yang didengarnya saat di pemakaman Abri tadi makin membuat kepalanya sangat pening seperti dihantam banyak pukulan. Ia meringis kecil merasakan serangan pusing itu tiba-tiba menderanya.

"Aku udah hubungi Kak Ren."

Itu suara Olif yang duduk di belakang Rosa. Karena memang di sanalah ia berada sekarang. Pertama kali ia merasa bahwa keluarga bukan lagi tempat pulang saat dihadapkan pada masalah sehingga Rosa memutuskan mencari tempat lain.

"Beneran nggak mau makan, Ros?" tanya Indri khawatir.

Menceritakan permasalahan besar yang menimpa Rosa kepada keduanya pasti butuh banyak tenaga dan emosi. Dan Rosa baru saja melakukannya. Tidak ada lagi yang disembunyikan karena Rosa sungguh membutuhkan tempat bercerita.

Indri dan Olif hanya menghela napas pasrah. Menjadi Rosa pasti tidak mudah. Saat di mana mereka mengetahui keseluruhan cerita gadis itu membuat semua terang bagi keduanya. Tentang Rosa yang langsung menunjukkan ketidaksukaan kepada Ren saat lelaki itu pertama kali muncul, tentang Ren yang mengejar-ngejar Rosa tanpa tahu malu, dan tentang alasan orang tua Rosa menentang hubungan dengan Ren.

Rosa masih terdiam membelakangi keduanya saat terdengar ketukan pintu. Badannya terlalu lemah untuk sekadar membalikkan tubuh dan melihat siapa yang datang. Jadi ia bertahan dengan posisinya sedari tadi.

"Gue boleh masuk?"

Rosa menegang. Itu suara Ren. Benarkah lelaki itu datang ke sana hanya karena Olif tadi mengabari bahwa Rosa tidak mau makan? Itu sangat memalukan untuk dirinya.

"Boleh, Kak. Udah izin Ibu kos tadi."

Langkah-langkah itu terdengar menapak jelas. Rosa, dengan segala usahanya, berniat membalikkan tubuh saat seseorang sudah tertangkap matanya. Berjongkok di lantai tepat di hadapannya.

Adalah wajah yang memenuhi pikirannya seharian ini. Seseorang yang sedang menatap penuh kekhawatiran. Kedua alis tebal Ren hampir menyatu saat mengernyit, sedang bola mata itu menyorot lembut.

"Kamu sakit, Sayang," bisik Ren, teramat pelan hingga yakin hanya mereka berdua yang mendengar.

Rosa hanya memejam merasakan sentuhan lembut di dahinya.

"Udah lama sakitnya?" Kali ini Ren bertanya kepada dua orang yang sedang berdiri di tepi tempat tidur.

Indri mengangguk pelan. "Sejak pagi udah pucat banget waktu di rumah Abri. Demam kayaknya, Kak. Tapi Rosa nggak mau minum obat. Belum sarapan juga."

Penjelasan itu makin membuat sorot tatap Ren menjadi sendu. Mereka memang tidak berangkat bersama ke pemakaman Abri. Ia bahkan hanya sebentar di sana hingga tidak bisa melihat keberadaan Rosa.

Ren beranjak dan duduk di tepi tempat tidur, tepat di depan Rosa. Diangkatnya kepala Rosa ke pangkuannya. Tangannya hinggap di pipi pucat pasi Rosa, mengusap pelan seakan takut gerakannya bisa menambah kesakitan gadis itu. "Mau aku antar pulang?"

Rosa menggeleng. Ia memegang lengan Ren erat, memeluk dan menyembunyikan wajahnya sendiri. Rasa panas dari tubuh Rosa menjalar ke lengan Ren. Ia bisa merasakan itu dan sangat yakin bahwa Rosa tidak baik-baik saja.

"Kami keluar dulu, Kak," pamit Olif dengan senyum kecil.

"Nggak apa-apa gue di sini?" tanya Ren ragu.

"Iya. Udah bilang Ibu kos, kok," jelas Olif, menekankan kalimat yang sudah diucapkan tadi.

Pintu tertutup dan Ren segera meraih sesuatu yang ia bawa tadi. Sepotong roti.

"Harus makan," ujar Ren tegas, tapi lembut. Membuat Rosa akhirnya mengangguk mengiyakan.

"Udah." Rosa berusaha menelan satu potong roti itu susah payah. Tenggorokannya sakit dan ia tidak bisa makan lebih banyak dari itu.

"Satu lagi, ya," bujuk Ren.

Rosa menggeleng. Ia menunjuk lehernya. "Sakit," rengeknya pelan.

Ren tidak bisa memaksa lagi. Ia mengulurkan sebuah obat dan membantu Rosa meminumnya. Gadis itu nurut. Merasakan panas yang menjalar dari tubuh Rosa, Ren akhirnya mengangkat tubuh Rosa agar setengah duduk dan segera menenggelamkan dalam peluk. Bisa ia rasakan Rosa menyurukkan wajah di dadanya. Hal yang sangat Ren sukai karena itu berarti Rosa butuh kehadirannya.

"Kak Ren ...."

Gumaman dengan suara serak itu membuat Ren menunduk dan mengecup pipi Rosa sekilas. Ia masih bertahan dengan posisi itu saat Rosa mendongak dan tatapan mereka bertemu. Ia tidak tahu apa arti dari tatapan Rosa, tapi ia yakin bahwa penolakan keluarga membuat Rosa kepikiran.

Sedang Rosa menatapi wajah itu dengan mata berkaca.

Perlu berapa banyak lagi kesedihan serta kehilangan yang Ren rasakan untuk menebusnya dengan kebahagiaan? Rasanya tidak adil saat orang-orang menggunjingnya sedemikian keras sampai-sampai lelaki itu tidak lagi merasa terluka dengan semua pemberitaan buruk yang menimpa. Sekadar mengangkat tangan untuk menutup telinga pun Ren tidak melakukannya. Lelaki itu sungguh telah mati rasa akan sakitnya ditimpakan fitnah bertubi-tubi.

Selama ini, Rosa bisa tidak peduli akan apa pun yang tidak berhubungan dengannya. Tapi sejak tahu kebenaran di balik sikap Ren, ia merasa tidak bisa lagi berlagak cuek. Hatinya ikut sakit mendengar nama Ren dijelek-jelekkan saat kenyataan tidak seperti itu.

Rosa bahkan tidak bisa tidur nyenyak semalam. Menangisi apa lagi kalau bukan hubungannya yang semakin di ujung tanduk? Orang tuanya sudah menentang hubungannya dengan Ren, terang-terangan.

Belum lagi dikejutkan dengan kabar mencengangkan. Menurut pemberitaan, PT Multi Senddana didemo ratusan orang pagi tadi. Pak Yoga sudah ditangkap dan berstatus tersangka. Ia bahkan tidak tahu bagaimana keadaan perusahaan itu sekarang, termasuk keberadaan Intan. Wanita itu tidak bisa dihubungi.

Dan satu lagi. Mungkin bagi sebagian orang, kematian Abri dikarenakan alasan yang sangat mendasar. Depresi. Lelaki itu tidak punya siapa pun kecuali papanya. Menyadari ternyata selama ini Abri terlalu banyak menerima tekanan, menimbulkan bisik-bisik tidak mengenakkan yang mau tidak mau membawa serta nama Rosa dan Ren. Seperti tadi misalnya.

"Kamu benar, patah hati ternyata sakit banget."

Tiba-tiba terdengar tangis yang begitu menyayat. Rosa sampai menekan dadanya saking sesaknya. Ia terbatuk parah dan tiba-tiba saja merasa tersayat. Ini sakit. Lebih dari yang bisa ia bayangkan saat hari itu tiba. Saat ia harus menentang keluarganya sendiri demi memilih lelaki yang bisa menyempurnakan kebahagiaannya.

Ren makin menenggelamkan tangis Rosa di dadanya. Ini yang tidak mau ia hadapi. Kesakitan Rosa. Gadis itu terlalu lugu untuk menerima patah hati sesakit itu.

"Keluargaku nggak setuju," isak Rosa lagi.

Ren menyembunyikan fakta bahwa mamanya pun menyuruh melepas. Ia tidak bisa membuat Rosa lebih sakit dari ini. Maka, walau ia ragu dengan masa depan mereka, Ren tetap memaksakan senyum tenang seolah yakin bahwa mereka mampu meluluhkan hati siapa pun agar menerima hubungan kedua.

"Papa, Mama, kakakku, nggak setuju. Adikmu juga nggak suka aku. Nggak ada yang setuju dengan hubungan kita, Kak, buat apa kita---"

"Ssstt, Rosa," potong Ren dengan cepat mendengar isak yang semakin keras. "Katanya mau berjuang bareng." Ren mengusap lembut pipi Rosa yang terasa hangat dan menepis buliran air mata. "Kita hadapi sama-sama, ya. Dulu kamu juga sempet nggak nerima aku kan? Lama-lama kamu bisa. Aku juga harus lakuin hal yang sama ke orang tua kamu. Ngeyakinin kalau aku bisa bikin anak mereka bahagia. Aku tahu nggak mudah, tapi aku mau berjuang. Kamu juga jangan berhenti, ya."

Bukannya reda tangisnya, Rosa justru terharu dengan tekad yang Ren tunjukkan. Lelaki itu yang telah sangat banyak berjuang untuk mereka. Tidak adil rasanya kalau ia meminta berhenti. Maka ia mengangguk. Keoptimisan segera melambung naik mendengar betapa yakinnya Ren saat ini.

"Apa kamu pernah ngerasain itu, Kak?" Rosa mendongak, mendadak merasa baik-baik saja saat Ren mengecup keningnya.

"Ngerasain apa?" Ren bertanya pelan.

"Patah hati. Yang sakit banget. Yang paling hebat."

Ren seperti menerawang. Beberapa saat ditelan keheningan. Ia kembali menunduk, memberi senyum pada seraut wajah yang menunggunya menjawab. "Pernah."

"Kapan?"

"Dulu."

Jawaban itu membuat Rosa kecewa. Ternyata, saat ia merasa sesakit itu, tidak ada apa-apanya dibanding masa lalu Ren yang lelaki itu anggap patah hati paling parah. Kesakitan mungkin hanya dirasakan oleh Rosa, sedang Ren sudah lebih dulu merasakannya, dengan perempuan lain.

"Patah hatinya kenapa? Diputusin, ya?" tebak Rosa dengan suara setenang mungkin walau hatinya gundah.

Ren membantu tubuh Rosa agar kembali duduk agar bisa ia peluk dengan nyaman. "Belum sempat pacaran."

"Oh." Rosa mengangguk singkat. Ia mendadak tidak nyaman dengan pembicaraan itu. Berbicara tentang mantan terasa sangat tabu tapi ia penasaran. "Berarti cuma kamu yang suka dia?"

"Mungkin," jawab Ren singkat.

Hal yang membuat Rosa justru makin ingin mengejar. Apakah ada perempuan yang bisa menolak lelaki sebaik Ren? "Dia beruntung banget, ya," gumam dirinya. "Berarti patah hati karena perasaan nggak berbalas?"

Ren mendengus kecil. Ia membenarkan helai rambut Rosa. Mengambil sedikit untuk menyelipkan di belakang telinga. Kepala Rosa bersandar seluruhnya di lengan Ren, membuat lelaki itu mudah untuk menatap wajah Rosa.

"Bukan." Ren mulai menjelaskan. Tatapnya tak beralih sedikit pun dari kedua mata sembap Rosa dengan wajah pucat pasi. "Karena aku harus jelekin diriku sendiri sebelum berhasil dapatin dia. Karena aku harus ngelakuin hal yang justru bikin dia benci sama aku. Itu patah hati paling hebat yang pernah aku rasain. Ngerasa patah padahal aku sama sekali belum bisa dapatin hatinya."

Tatap Rosa makin sendu. Ia mengerjap dua kali menyadari ekspresi Ren yang penuh sesal. "Kamu orang yang optimis. Kenapa dulu nyerah? Kenapa mutusin buat lepas dia?"

Alis Ren terangkat satu mendengar pertanyaan itu. Ada genangan yang mengumpul di pelupuk mata Rosa saat menanyakan itu. Ia lalu makin menunduk dan merasakan napas hangat Rosa di bibirnya. Pelan, ia mengucapkan, "Aku nggak nyerah. Kalau aku lepas dia, gadis itu nggak ada di pelukanku sekarang."

Perlu beberapa waktu bagi Rosa untuk mencerna kalimat itu sebelum genangan di matanya bergetar pelan dan mengalirkan bulir-bulir air yang lagi-lagi menuruni pipi. Ternyata selama ini, Ren sudah lebih dulu berjuang untuknya. Ternyata sedari dulu, Ren sudah menempatkannya sebagai seseorang yang berharga. Dan ternyata sampai detik ini, Ren terus memperjuangkannya tanpa henti.

Lalu, apakah ada alasan untuk Rosa menghentikan perjuangan mereka? Tidak, Rosa ingin berjuang. Lagi dan lagi. Sampai sesuatu bisa mereka dapatkan. Sebuah restu.

***

Ini tidak semenakutkan seperti saat pertama kali datang ke rumah Rosa. Walau sama mendebarkan. Rosa melihat tatap Ren begitu yakin dan mendadak semua terasa lebih ringan. Ia mengenal orang tuanya sendiri, tidak akan menutup mata dengan perjuangan seseorang. Semangatnya tiba-tiba membumbung lagi walau sempat diempaskan tadi pagi.

Ren baru akan melepas tautan tangan mereka saat sudah sampai di depan pintu, tapi Rosa menggeleng kuat. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya teramat bangga membawa seseorang yang begitu baik. Ia ingin menunjukkan bahwa lelaki yang sedang merengkuh tangannya begitu lembut itu adalah pilihannya yang terbaik.

Rosa tidak akan menutupi fakta apa pun bahwa Ren mampu membuatnya sangat bahagia. Lelaki pertama dan satu-satunya yang membuatnya merasa sangat beruntung serta berharga.

Pintu terbuka kemudian. Salju menatap keduanya dengan alis terangkat, tidak lagi marah-marah seperti pertama kali melihat wajah Ren. Tatapnya teralih ke tautan tangan yang saling menggenggam erat dan membuatnya mendengus kesal.

"Masuk rumah, Ros," perintah Salju dengan nada malas-malasan.

Rosa mengangguk, tidak mau membantah. Ia menatap Ren dan tersenyum kecil. Lewat tatapnya, ia berterima kasih atas semua hal yang membuat Rosa merasa kembali hidup dan tidak lagi terpuruk.

"Boleh ketemu Om atau Tante?" tanya Ren, tepat saat pintu hampir Salju tutup.

Rosa mendadak waswas. Tapi melihat tekad Ren, lagi-lagi ia hanya pasrah, berharap apa pun yang terjadi nanti tidak menyakiti lelaki itu.

Pintu tidak jadi tertutup, walau Ren ditinggalkan sendiri di luar. Rosa berjalan beriringan Salju ke ruang tengah.

"Pa ... ada yang mau ketemu," ujar Salju. Dari nadanya terdengar bahwa ia tidak terlalu peduli.

"Siapa, Sal?"

"Ren."

"Ren?!" suara Tama seperti terkejut, hal yang membuat Rosa menggigit bibir bawahnya. Terutama saat pria itu menatap Rosa dengan pandangan bertanya. "Kamu ...?"

"Rosa kayaknya lagi sakit, Pa," potong Salju cepat. "Kalau mau marah, marahin aja tuh si Ren nggak tahu diri. Orangnya di depan."

Rosa tidak bisa lagi membantah ucapan itu saat kakaknya memberi pandangan agar menyuruhnya masuk kamar. Tidak ada yang bisa dibantah karena ia teringat betul apa yang Ren ucapkan tadi.

"Kamu nggak perlu bantah atau menentang keluargamu. Mereka suruh kamu apa pun, lakuin aja. Kamu cuma perlu nunjukin apa yang kamu rasain. Kalau mereka nolak, sabar dulu, jangan membantah. Besok, yakinkan lagi. Kalau belum bisa nerima juga, keesokannya kita coba lagi."

Ren tidak menyuruhnya membangkang. Ren tidak ingin mengubahnya dari seorang anak yang sangat penurut menjadi penentang. Karena itu hanya akan menunjukkan bagaimana sifat Ren hingga membuat Rosa seperti itu. Jadi Rosa akan melakukannya pelan-pelan.

"Udah minum obat, Ros?"

Salju sudah masuk ke kamarnya saat Rosa baru selesai berganti baju. Rosa duduk di tepi tempat tidur. Badannya sudah terasa lebih ringan. Lebih tepatnya, beban yang ia tanggung sedikit terangkat hingga ia tidak lagi terberati. "Udah tadi pagi, Kak."

"Istirahat kalau gitu. Nanti sore minum obat lagi."

Rosa mengangguk. Ia melihat langkah Salju sampai di pintu dan ia memanggil, "Kak Salju ...."

"Iya kenapa, Ros?" Salju sudah berbalik lagi.

Rosa menunduk beberapa saat. Tangannya bertaut erat, memainkan jemari yang terasa hangat saat ragu mulai menelusup. Saat akhirnya ia berani mengangkat pandangan, bayangan Ren yang juga sedang berjuang menghadapi papanya membuat ia seolah disuntikkan semangat baru.

"Rosa mau cerita."

Salju berdecak. Seperti marah dan kesal, tapi tidak bisa melampiaskan.

"Bukannya Kakak yang nyuruh Rosa cerita apa aja setelah kejadian itu?"

Rosa mengingatkan dengan ucapan paling halus. Ia tidak mau terkesan menggurui. Ia hanya mengirim ingatan bahwa Salju pernah mengatakan agar Rosa berjanji tidak lagi menjadi gadis yang terlalu menutup diri. Harus belajar menceritakan apa pun kepada keluarganya. Sejak kejadian yang menimpa dirinya dan Ren.

"Sekarang Rosa mau cerita, Kakak nggak mau dengerin?" tanya Rosa. Bisa ia lihat kedua mata Salju menyorot bimbang, sebelum melangkah mendekatinya dan duduk di kursi belajar Rosa.

"Cerita apa? Tentang Ren? Kakak bilang, nggak akan nerima dia. Apa lagi, hm?"

Rosa menggeleng. "Nggak apa-apa kalau belum bisa nerima, kok. Rosa cuma pengin cerita aja."

Salju akhirnya mengalah dan mengembuskan napas pelan, menerbitkan senyum cerah adiknya.

"Rosa tahu kok kalau kelakuan Kak Ren dulu emang salah. Tapi---"

"Kalau udah tahu salah, nggak boleh ada tapinya, Rosa," ujar Salju jengah.

"Tapi dia baik."

Salju mendengus. Ia mengalihkan pandangan ke jendela, melihat taman belakang rumah yang rindang. "Terus aja bela dia, Kakak nggak percaya."

"Iya." Rosa mengangguk pelan. "Dia ngelakuin itu disuruh Kak Farah. Katanya, kalau dia nggak mau, Kak Farah mau nyuruh orang lain. Kak Salju bisa bayangin kalau Kak Ren nolak dan akhirnya orang lain yang celakain Rosa?"

"Astaga." Salju tertawa pelan, seolah penjelasan adiknya tidak masuk akal. "Itu alasan yang dia kasih ke kamu sampai kamu percaya dan mau sama dia? Ros, itu cuma akal-akalan dia aja. Kamu jangan terlalu naif, mau aja diboongin penjelasan nggak jelas kayak gitu."

"Dia nggak bohong," ujar Rosa pelan. Ia masih sanggup mengulas senyum. "Dia beneran menyesal."

Salju menatap adiknya dengan gelengan tidak mengerti. "Menyesal karena nggak berhasil hancurin kamu lebih dari itu pasti. Kalau dia mikir dari awal, nggak mungkin mau disuruh sama Farah, Ros. Artinya dia emang niat celakain kamu."

Rosa menggeleng. "Dia nggak bisa nolak permintaan Kak Farah karena udah janji mau balas kebaikan Kak Farah antar keluarganya ke rumah sakit waktu dia nggak punya apa-apa. Tapi Kak Farah manfaatin kesempatan. Kakak yang paling tahu gimana sifatnya, kan? Pasti tahu maksud Rosa."

"Dengan alasan bantu waktu dia nggak punya apa-apa. Oke, alasan apa lagi itu? Orang serba berkecukupan kayak dia nggak mungkin---"

"Perusahaan keluarganya bangkrut."

Salju terdiam seketika. Ia menatap adiknya dengan sorot bertanya.

"Kak Ren melakukan itu biar kak Farah yakin kalau Rosa beneran udah dihancurkan, sama kayak Kakak yang pernah jadi sasarannya. Tapi demi apa pun, Kak Ren nggak melakukannya, sentuh sedikit pun enggak. Kakak percaya, kan?"

Salju masih terdiam dengan pikirannya yang mendadak kalut. Ia mencari jawaban dari semua benang kusut yang sulit terurai selama ini. Tentang mengapa Ren mau disuruh oleh Farah, tentang mengapa Ren bersikap seolah telah menghancurkan Rosa padahal nyatanya tidak.

"Rosa pikir, Kakak dulu percaya waktu Rosa bilang itu," desah Rosa kecewa.

Salju memang percaya saat Rosa mengatakan Ren tidak melakukannya. Tapi saat melihat bagaimana cara Rosa mempertahankan Ren kemarin, ia pikir adiknya itu telah putus asa dengan kondisinya sendiri sehingga menerima satu-satunya orang yang telah menyentuhnya. Melihat betapa ngototnya Rosa sampai berani membentaknya kemarin, membuatnya berpikir bahwa kalaupun dulu Ren telah gagal menyentuh Rosa, kini lelaki itu sudah berhasil melancarkan aksinya. Hal itulah yang membuat Salju meragu.

"Rosa tahu Kakak khawatir. Rosa paham." Berusaha menyelipkan pemakluman dalam ucapannya, Rosa melanjutkan, "Kak Ren nggak pernah kasar sama Rosa. Nggak pernah sekalipun. Kakak akan tahu nanti, kalau dia nggak pernah melakukan pembelaan ke dirinya sendiri. Sekali dia mengaku salah, dia akan mengakuinya berkali-kali. Jadi walaupun Kakak bentak dia atau usir pun, dia nggak akan ucapin apa yang Rosa ceritain kebenarannya. Kak Ren lebih suka nunjukin kalau dia terus berusaha jadi lebih baik, bukan membela dirinya atas kesalahan masa lalu. Itu yang Rosa suka dari dia."

Hanya diam beberapa saat. Rosa kembali menunduk menyadari tatapan Salju menajam. Ia takut dikira melangkahi dan membangkang. Padahal niatnya hanya menjelaskan.

"Kamu tahu Kakak perlu waktu buat nerima itu," ujar Salju pelan. "Sekarang, Kakak masih belum bisa nerima hubunganmu sama dia."

Rosa mengangguk dalam diamnya. Ia maklum. Seperti kata Ren, dulu juga Rosa butuh waktu banyak untuk menerima lelaki itu.

*

Sedangkan di luar, keadaan tidak kalah mendebarkan. Ren sudah duduk di beranda depan, dibatasi sebuah meja bundar. Ia duduk di sisi kiri, sedangkan Tama di sebelah kanan.

"Apa kabar, Om?" tanya Ren berusaha sesopan mungkin.

Dilihatnya Tama hanya mengangguk singkat tanpa menoleh. Hanya menatap bentangan taman di depan rumah. "Terakhir ketemu waktu di persidangan, ya?"

Walau diucapkan pelan dan tidak menohok, namun bagi Ren efeknya justru sangat kental dengan sebuah sindiran. Menunjukkan bahwa ia pernah ada di sana, sebagai seseorang yang bersalah.

"Kemarin waktu saya tahu kamu ternyata pacar Rosa, saya dapat berita tentang kamu."

Hal itu lantas membuat Ren menoleh cepat, menatap dari samping, wajah Tama yang sedatar sebelumnya. Tidak ada tatapan yang terarah padanya. Hanya ucapan yang melantun pelan dan membuatnya tidak henti merasa terpojokkan.

"Jadi ... anak saya bukan orang pertama yang kamu sekap, ya?"

Tepat mengenai sasaran. Ren meringis kecil, tidak tahu lagi harus menjawab apa. Menjawab iya, nyatanya tidak seperti itu. Menjawab tidak, berita yang tersebar memang mengatakan itu. Jadi ia memutuskan diam.

"Om, saya---"

"Kamu boleh pulang." Tama sudah berdiri. Ia menoleh sekilas ke Ren yang segera ikut berdiri. "Satu lagi. Rosa bisa pulang sendiri tanpa kamu antar."

"Tadi dia sakit, Om, saya cuma bantu dia."

Tama mengangguk. "Terima kasih. Tapi kami bisa jaga dia dengan baik."

Lagi-lagi ucapan itu membuat Ren merenung. Di mata semua orang, ia pasti hanya bajingan yang bisanya menyakiti perempuan.

"Kamu jangan ajari anak saya menentang orang tua. Sebelum kamu datang, dia tidak pernah berbohong pada kami. Cuma demi kamu, dia jadi sering bohong."

"Iya, Om. Saya janji nggak ngajarin dia begitu."

"Semakin kamu sering ke sini, semakin saya hindarkan kamu dari dia. Kamu paham kan?"

Ren tidak paham. Sampai kapan pun otaknya akan buntu jika dipaksa memikirkan tentang perpisahan dengan Rosa. Itu berakhir dengan langkahnya yang tertapak lunglai di pelataran rumah Rosa tepat saat pintu tertutup.

Berkali-kali Ren mengembuskan napas, melegakan paru-parunya yang terasa minim akan udara. Ia duduk di bangku kayu tepat di bawah pohon. Dikeluarkannya ponsel dan melihat ruang chat-nya dengan Rosa. Gadis itu sedang online.

Ren mengulas senyum getir. Pertemuan itu memang sudah dibayangkannya. Penolakan. Tapi ia tidak menyangka bahwa kehadirannya bukannya akan membuat keluarga Rosa yakin, justru membuatnya makin terasing.

Ren Antonio
Ayo, berjuang lg syg.

Sebuah pesan yang Ren kirim, bukan untuk menyemangati Rosa, tapi justru kepada dirinya sendiri.

Rosa Azalea
Iya, Kak Ren❤️

Melihat balasan itu lantas membuat Ren mengernyitkan dahi. Merasa tidak nyaman di hati. Dari balasan itu, ia tahu Rosa merasa bahagia, mungkin mengira sedikit demi sedikit Ren bisa meyakinkan keluarganya. Padahal kedatangannya justru membuat perpisahan itu makin dekat.

Rosa tidak tahu, balasannya justru membuat hati Ren makin hancur lebur.

___duh, siap nggak ya😊___

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top