37 | Kekecewaan Dua Belah Pihak

Untuk apa kita berjuang,
kalau tahu pada akhirnya tetap terpisahkan?
🥀

"Maksud kamu?"

Rosa tahu, cara kakaknya bertanya adalah wujud kekecewaan paling nyata serta bentuk kesedihan paling kasatmata. Itulah sebabnya Rosa memilih memalingkan muka, tidak ingin melihat kilat putus asa yang sangat kentara di wajah kakaknya.

Suara Rosa tercekat saat kata-kata itu keluar dalam satu tarikan napas seolah takut kehilangan keberanian jika menundanya sedetik saja. "Iya, dia pacar Rosa."

"Ya Tuhan ...."

Rosa makin memejam mendengar bagaimana cara Salju berkeluh atas jawaban yang baru ia lontarkan. Sampai-sampai ia tak sanggup jika harus menghadapi raut kecewa Salju setelah ini. Karena satu dari jawabannya sudah cukup menyakiti.

Sunyi di antara mereka, mendadak terpecah saat Rosa menyadari satu hal. Kakaknya terisak. Dan isakan itu kemudian tertutup suara bedebam pintu lemari yang dibuka secara paksa. Rosa mengalihkan pandangan, melihat dengan jelas Salju yang mengobrak-abrik lemari pakaiannya seakan mencari sesuatu. Jantungnya langsung bertalu, seakan menggedor dadanya saat melihat apa yang ditemukan kakaknya. Seragam SMA.

"Apa kamu nggak inget ini, Ros?!" Nada suara Salju meninggi. Ada isakan yang lolos dan itu sungguh menyakiti. Salju menghampiri Rosa dengan kemeja putih yang setiap bekas lipatannya menimbulkan jejak, saking lamanya bersarang di lemari tanpa tersentuh. "Dulu kancing baju ini rusak. Semuanya. Kamu nggak inget siapa yang ngelakuin itu, ha?!"

Rosa mengangkat tangan, hampir meraih baju di tangan Salju yang bergetar. Ini seperti kembali ke masa itu, di mana kakaknya teramat sedih melihat keadaan Rosa sepulang dari hotel. Di mana kakaknya terduduk lemah di lantai demi memintanya menjawab 'baik-baik saja'. Kilasan yang lagi-lagi membuat Rosa mengernyit nyeri. Seumur hidup, baru itu ia dapati Salju begitu jatuh hanya karena mendapati adiknya mendapat perlakuan tidak baik dari seorang lelaki.

"Rok ini juga sobek di bagian belakang! Dan kaitan bra kamu rusak apalagi celana dalam kamu sobek berdarah di mana-mana, Rosa. Dia udah nyakitin kamu seberengsek itu dan kamu malah jatuh ke pelukannya?!" Suara Salju menggelegar. Ada selaput bening yang melapisi kedua tatap tajamnya. Ia membanting baju-baju itu ke lantai dan menghampiri Rosa lebih dekat. "Kakak nggak tahu jalan pikiranmu!"

Rosa tidak pernah menyalahkan atas kekecewaan itu. Semua berhak marah atas keputusan egoisnya menerima Ren, yang artinya harus membuat keluarganya marah. Tapi ... Rosa tidak menyangka bahwa sakitnya akan separah itu. Ini bahkan baru kakaknya, bagaimana dengan mamanya? Papanya?

"Udah berapa lama kamu ketemu dia lagi?"

"Setahun."

"Setahun?!"

Salju kembali berdiri tegak. Walau begitu, Rosa melihat kakaknya begitu rapuh. Hal yang membuat air mata Rosa juga ikut meluruh. Terlebih Salju berjalan lunglai, meraih kursi dan duduk di sana, menempelkan kedua siku di meja dan menutup wajah dengan gusar.

"Apa kamu nggak inget gimana keadaanmu dulu?" Kali ini Salju bertanya lirih, nyaris tidak terdengar Rosa kalau saja mereka tidak terlalu dekat.

Rosa mengamati Salju yang menunduk dan terduduk di kursi. Bisa dilihat dengan jelas bahunya bergetar pelan. Rosa ingin menenangkan, tapi percuma. Satu kenyataan itu memang sudah memberi sakit yang lebih daripada dulu, saat tahu bahwa Rosa disakiti dengan sangat tidak bertanggung jawab oleh seorang lelaki. Jadi Rosa hanya membiarkan keduanya terdiam dengan tangis masing-masing.

"Rosa sayang dia, Kak."

Lagi, satu kejujuran Rosa mengundang isakan Salju lebih dari sebelumnya.

"Ros." Salju seperti menyerah. Yang ia tunjukkan bukan lagi kemarahan, tapi kekecewaan. Dengan lelehan air mata yang tidak lagi berusaha diseka, ia menatap adiknya beserta seluruh rasa putus asa. "Papa, Mama, sama Kakak selalu pastiin kamu baik-baik aja. Dulu setelah kejadian itu, kami sepakat akan perlakukan kamu sebaik mungkin, biar kamu nggak trauma. Biar kamu bisa lupa kalau ada laki-laki berengsek yang pernah hancurin kamu. Biar kamu bisa hidup normal lagi tanpa harus diem melamun terus selama hampir sebulan seperti di awal-awal."

Kalimat itu menyentak kesadaran Rosa begitu telak. Salju benar, Rosa sempat hampir gila rasanya setelah kejadian itu. Ia tidak sadar pernah hidup seakan tanpa nyawa seperti yang Salju ceritakan. Ia hanya ingat bahwa setelah kejadian itu, ada perasaan yang ia coba tekan kuat-kuat. Tentang kekecewaan karena Ren justru menyakitinya dengan cara seperti itu.

Rosa hampir gila bukan hanya karena ada lelaki yang hampir merenggut apa yang ia punya, tapi lebih karena lelaki itu adalah Ren. Seseorang yang dulu sempat ia percayai untuk tidak melakukan hal-hal yang disuruhkan oleh Farah.

"Dan kamu dengan mudah bilang sayang dia?" Suara Salju seperti tercekat, ditelan isakan yang lagi-lagi terdengar menyakitkan. Bahunya makin berguncang. "Apa itu artinya kamu nggak sayang sama keluargamu sendiri? Yang udah berusaha pulihkan kamu dari sakit karena dia?"

Ini pilihan yang sangat sulit. Rosa menutup wajah saat tangisnya semakin tidak bisa dibendung. Mencintai Ren bukan berarti tidak mencintai keluarganya. Sungguh, Rosa menghargai bagaimana cara keluarganya membuat ia sembuh dari rasa takut akan perlakuan Ren. Tapi di sisi lain, ia juga menerima alasan mengapa Ren melakukan itu. Alasan yang mungkin tidak akan diterima keluarganya sampai kapan pun.

Lepas dari ketakutan akan Ren, Rosa mencoba menaklukan dirinya sendiri untuk berperang melawan apa yang ia takuti dan menghadapi hidup seperti sedia kala. Namun bertemu Ren, ia justru melabuhkan dirinya sendiri ke seseorang yang membuatnya hampir menyerah. Saat menjalani dengan Ren dan memaklumi apa yang sebenarnya ada di balik alasan lelaki itu melakukan kebodohan masa lalu, Rosa justru pasrah, membiarkan ke mana arah angin mengarah.

"Lepasin dia, ya."

Permintaan itu, walau diucapkan selirih mungkin, tapi sanggup menyentak Rosa sampai sakit rasanya. Ia pun, dengan tak kalah lirihnya, menjawab dengan sebuah gelengan. "Rosa nggak bisa, Kak."

"Kenapa?" Salju mengembuskan napas lelah. Ia berjalan mendekati Rosa dan duduk di sebelahnya. Diusapnya pelan bahu Rosa yang terlihat bergetar. "Karena dia cinta pertama kamu? Kakak tahu, itu pasti sulit. Tapi nanti kamu akan temukan yang lebih baik, kok."

Rosa menggeleng lagi. Membayangkan berpisah dari Ren terasa menyakitkan. Ia tidak siap sama sekali. "Bukan karena cinta pertama, Kak," ujarnya. Rautnya terlihat putus asa saat mencari kata-kata yang tepat.

Ini bukan hanya karena cinta pertama, atau patah hati yang pertama. Tapi ini adalah tentang perasaannya yang ia yakin tidak akan berubah pada Ren meski seberapa lama pun ia mencoba. Karena Ren terlampau baik saat memperlakukannya sampai-sampai ia tidak yakin ada lelaki yang sanggup menerimanya sebaik Ren.

"Apa kamu ...." Suara Salju lagi-lagi terdengar bergetar. "Merasa nggak pantas buat siapa pun selain Ren karena kamu udah disentuh sama dia?"

"Kak! Sampai kapan Kakak bisa ngerti kalau dia nggak ngelakuin itu?!" teriak Rosa frustrasi.

Teriakan itu, juga nada bentakan yang kental, menyentak keduanya. Salju yang terkejut luar biasa pada akhirnya meneteskan air mata kecewa. Adiknya baru saja menentang. Adiknya yang sangat penurut dan tidak pernah membentak sama sekali, kini berteriak keras di depannya.

Sedangkan Rosa menghentikan air mata. Tatapnya menyorotkan permintaan maaf saat kekecewaan itu terpancar begitu jelas. Ia menyentuh pelan lengan Salju yang masih terdiam menatapnya, seakan membeku.

"Maaf," cicit Rosa, penuh sesal. Ia sadar sudah melewati batas. Lagi-lagi ia sadar kalau penjelasan apa pun darinya tidak akan membuat orang mengerti. "Rosa berterima kasih banget karena Papa, Mama, sama Kakak udah jaga Rosa sebaik mungkin. Rosa bukan nggak sayang kalian. Bagi Rosa, kalian tetap yang terpenting. Tapi ...." Rosa menyeka air matanya sendiri. Ia mencoba menatap kakaknya dengan seluruh permohonan yang sangat, bahwa ia sungguh-sungguh. "Kakak bisa kasih kesempatan dia untuk menjelaskan."

"Gimana Kakak bisa hadapi orang yang udah nyakitin kamu, Ros?" tanya Salju dengan nada frustrasi.

"Apa Rosa nggak boleh minta satu hal aja? Selama ini Rosa nggak pernah nuntut banyak hal, nggak pernah-"

"Ros. Kakak nggak nyangka kamu bilang gitu," sentak Salju tidak terima. "Seolah-olah Papa dan Mama nggak ngasih apa-apa buat kamu."

Rosa makin menunduk. Dadanya terasa sesak luar biasa. Ia tidak bisa lagi mengucapkan pembelaan lebih dari ini. Karena dalam keadaan apa pun, sadar atau tidak, keluarganya akan sangat sulit diyakinkan. Mereka terlalu menyayangi Rosa hingga tidak bisa menerima siapa pun yang pernah menyakiti anaknya.

"Kamu mau menentang orang tua demi laki-laki kayak dia, terserah! Kakak capek!" Salju, dengan nada datar menahan air mata akhirnya bangkit berdiri, meninggalkan Rosa yang masih duduk seorang diri.

Selama ini, yang paling mengerti semua keinginan Rosa adalah Salju. Ketimbang menceritakan langsung kepada orang tuanya, Rosa lebih sering membuka diri ke kakaknya lebih dulu. Tapi Salju sekarang tidak bisa mengerti Rosa, bahwa Ren juga bagian dari kebahagiaannya. Tidak ada yang mengerti itu.

Suara pintu terbuka membuat Rosa mengangkat pandangan. Salju yang baru berniat keluar kamar, terlihat berpapasan dengan mamanya yang muncul dengan raut lelah sekaligus penasaran. "Ada apa, Sal?"

Rosa mendapat tatapan tajam saat kakaknya kembali menatap ke arahnya. Rosa tidak berharap Salju mengatakannya saat ini. Tidak sekarang, tapi ternyata ....

"Rosa pacaran sama Ren."

"Ap-apa?"

Seperti tersengat, Rosa segera bangkit menyadari tubuh Yuli limbung. Saat berhasil menangkap lengan kiri mamanya, ia memperhatikan wajah pucat pasi seorang ibu yang kini menatap penuh kecewa dengan taraf yang sama seperti kakaknya. Rosa menunduk. Pemandangan ini sangat tidak diinginkan. Selama 21 tahun ia hidup, tidak pernah sekalipun berniat membuat mamanya seterluka ini.

"Benar yang dibilang kakakmu, Ros?" Saat sudah mendapat kekuatan kembali, Yuli, dengan diapit dua anak di kanan kiri, bertanya penuh permohonan. Permohonan agar jawaban Rosa sesuai harapan, walau nyatanya tidak.

Lagi-lagi, suara tercekat itu membuat Rosa makin menunduk, menahan sengatan rasa bersalah yang kuat menderanya. Ia lalu mengangguk lemah membuat Yuli memejamkan mata beberapa saat, sebelum kesedihan itu makin pekat membayang.

Rosa merasakan lengan Yuli semakin dingin. "Ma," ia mengganti cekalannya di lengan menjadi sebuah pelukan. Jujur, Rosa sangat jarang memeluk orang tuanya kalau tidak dipeluk lebih dulu. Hal yang membuat rasa bersalah makin menjadi karena justru pelukannya kali ini diberikan untuk sebuah permintaan maaf.

Kalau boleh memutar waktu, Rosa ingin menjadi anak dengan pembawaan hangat, yang tanpa malu bisa memeluk orang tuanya kapan pun, juga mengucap betapa bersyukurnya memiliki mereka sebagai ayah dan ibu. Hal yang sangat Rosa sesali karena kalau diingat, ia sangat jarang mengucap seberapa sayangnya ia pada sosok orang tua.

"Salju antar Mama ke kamar, ya."

Terpaksa, Rosa melepas peluk. Ia memberi tatap permintaan maaf saat Yuli terus memberinya pandangan penuh kesedihan. Ia menyeka air mata, ingin rasanya mengenyahkan kesedihan dari hati sang mama.

"Kenapa kamu lebih memilih dia, Ros?" Suara Yuli terdengar serak, dan tercekat, menerbitkan isakan Rosa kembali muncul.

Tapi Rosa hanya bisa menggeleng. Ini bukan masalah 'lebih memilih', karena Rosa tidak akan sanggup memilih antara keluarganya atau Ren.

"Mama istirahat dulu, ya," bujuk Salju, tahu bahwa mereka tidak bisa menerima penjelasan apa pun dalam keadaan seperti itu.

Rosa menatap Yuli yang sudah berbalik. Sebelum benar-benar menutup pintu, Salju menatapnya tenang, sembari berucap. "Lanjutin hubunganmu sama dia kalau mau bikin Papa sama Mama kecewa."

Air mata Rosa meluruh, bersamaan dengan tubuhnya, saat pintu sudah tertutup. Ia tahu butuh waktu untuk menerima. Tapi kenapa sesulit ini? Dan jika sampai akhir tetap seperti itu, sanggupkah Rosa menentukan pilihan?

***

BRAK!

"Mana Frisya?" desis Ren setelah membuka pintu rumah dan mendapati Lano sedang di ruang tamu seorang diri.

"Di ... di kamar, Bang," jawab Lano sedikit menciut menyadari tatap Ren begitu tajam.

Langkah Ren terhenti sesaat mengamati sebuah pintu kamar yang tertutup. Ia berusaha menekan emosinya kuat-kuat untuk menghadapi, kalau saja, ada mamanya juga di kamar. Ia tidak boleh gegabah.

"Di kamarku, kok, Bang," jelas Lano seakan mengetahui apa yang Ren pikirkan. "Tadi ... lagi teleponan sama temen, jadi nggak mau ganggu Mama."

Ren mengernyit sebentar, sebelum mengangguk. Langkahnya teramat cepat saat menuju salah satu kamar. Ia memutar engsel dan ternyata dikunci. Digedornya pintu itu dengan tidak sabar, makin menjadi saat tidak ada jawaban dari dalam sana, malah terdengar suara tawa yang bersahut tanda Frisya sedang asyik berteleponan dengan teman-temannya.

Tidak bisa menahan kesabaran, Ren akhirnya mendobrak pintu. Tidak terlalu sulit karena pintu itu bahkan sudah rapuh. Dobrakan yang lantas membuat Frisya terlihat terkejut.

Ren mendekat, mengamati adiknya yang berbaring telungkup dengan buku dan ponsel di depannya. Setelah menyadari kehadiran Ren, Frisya justru tetap berteleponan.

"Duduk," perintah Ren pelan, walau emosinya sudah sampai di ubun-ubun. "Abang bilang, duduk, Frisya!" tegasnya saat perintah pertama tidak juga dilaksanakan.

Sambil memutar bola mata jengah, Frisya akhirnya menuruti. Ia mematikan sambungan telepon dan mulai membaca buku.

"Abang mau bicara." Satu langkah Ren semakin maju, tapi Frisya tidak juga menoleh padanya. "Singkirin bukunya!"

Frisya berdecak sebal. Ia meletakkan buku di meja dan duduk tegak, seolah siap menerima kemarahan Ren. "Pasti dia ngadu, terus jelek-jelekin aku biar Abang marahin aku. Udah ketebak."

"Kamu bilang apa?" Ren bahkan tidak menyangka adiknya sebebal ini sekarang. "Tanpa dia bilang, Abang udah tahu. Dan dia bahkan cegah Abang buat marahin kamu."

"Cari muka," desis Frisya sambil menyilangkan dua lengan di dada.

"Kamu jangan bikin Abang tambah malu, Fris," keluh Ren, mencoba sabar menghadapi adiknya. Ia memutuskan menyerah dan duduk di depan adiknya. Telah ditekannya seluruh kemarahan saat ia mengulas senyum kecil, mencoba membuat Frisya mengerti dengan cara paling halus. "Kamu jangan menutup diri dari dia. Dia baik. Kalau kamu terus nyangkal, kamu nggak akan bisa lihat kebaikannya," ujarnya pelan.

Bukannya menunjukkan tanda-tanda mengerti akan kalimatnya, Frisya justru tertawa seakan mengejek. "Duh, Bang Ren. Aku tahu mana yang harus aku baikin, mana yang enggak."

"Kamu nggak tahu." Ren rasa kemarahannya sedikit demi sedikit mulai naik lagi.

"Lucu aja lihat mukanya yang ketakutan." Frisya tertawa. Satu tangannya sampai diletakkan di perut. "Takut kok sama kodok. Oh, atau jangan-jangan dia cuma pura-pura takut, Bang. Caper gitu. Lagian aneh aja, gitu doang takut, sampai muntah-muntah. Drama banget."

"Kamu bilang dia drama?" Ren mengangguk-angguk. Ada senyum miring yang ia tunjukkan saat kemudian bangkit dari sana dan menuju pintu.

Tiba-tiba suasana menjadi gelap total. Sore menjelang malam sama sekali tidak mengizinkan seberkas cahaya menerobos jendela. Ren menutup pintu dengan kasar setelah mematikan lampu. Dibiarkan beberapa menit berselang, ia kembali menekan saklar, membuat suasana kembali terang seperti sebelumnya.

Satu-satunya yang merebut fokus pandangan Ren adalah Frisya. Cewek itu duduk tepekur dengan kaki yang ditekuk dan dipeluk oleh dua lengannya sendiri. Ren mendekat, menyadari titik-titik keringat bermunculan di dahi adiknya. Sungguh, Ren tidak tega, tapi hanya itu yang ia harap mampu membuat Frisya mengerti.

Dengan gerakan pelan, Ren duduk di tepi tempat tidur, menarik tubuh adiknya ke pelukan. Diusapnya punggung Frisya yang bergetar pelan. "Kamu takut gelap. Kak Rosa juga takut katak," bisiknya.

Ren mencoba sepelan mungkin saat mengutarakan hal itu. "Kamu jangan ketawain ketakutannya. Jangan anggap sepele. Gimana kalau sekarang dia di sini, terus ngetawain kamu yang takut gelap? Atau dia ngetawain kamu yang takut ketinggian? Kamu juga pernah sampai muntah waktu nggak sengaja lihat ke bawah di balkon ruangan Papa dulu kan?"

Hanya diam beberapa saat. Hingga kemudian Frisya meminta lepas dari pelukannya, Ren tahu bahwa caranya tadi, sehalus apa pun, tidak mampu membuat adiknya mengerti. Tatap Frisya yang semakin tajam justru mengundang emosi Ren lebih dari yang ia tahan sebelumnya.

"Sampai kapan pun aku nggak suka dia!" teriak Frisya sambil melempar bantal guling ke lantai.

"Kalau kamu susah dibilangin begitu," geram Ren. Ia sudah berdiri di tepi tempat tidur, menunjuk Frisya dengan satu jarinya. "Terserahmu aja. Abang nggak butuh restu dari kamu."

"Abang selalu gitu. Nggak pernah tanya pendapatku, selalu anggap aku masih anak kecil!"

"Kamu bahkan lebih kekanakan dari umurmu sekarang, Frisya!!!" teriak Ren tak terkendali. Adiknya benar-benar membuat ia marah luar biasa.

"Bang Ren lupa kalau dia pernah fitnah Abang atas tuduhan pelecehan? Abang lupa siapa yang bikin Abang susah cari kerja? Cuma karena dia nuntut Abang terus bebasin gitu aja, Abang bilang dia penyelamat? Dia bukan penyelamat, dia pembawa sial!!!"

"Diam, Fris! Kamu nggak tahu apa-apa!"

"Aku tahu, aku tahu banget karena ngikutin berita tentang Abang. Aku tahu kalau-"

"Abang beneran lecehin dia," potong Ren dengan tajam. Frisya membeku, ia mengulangi lagi. "Kamu tahu kalau kenyataannya, Abang beneran melecehkan dia?"

Keterkejutan itu hanya bertahan beberapa saat. Frisya kembali tertawa. "Bang Ren bohong, cuma demi bela dia dan biar aku bisa nerima dia. Gitu, kan?"

"Nggak," tegas Ren. Rahangnya sudah mengetat dengan napas yang memburu hebat. "Itu bukan tuduhan. Tapi emang benar, Abang melecehkan dia. Dan asal kamu tahu, yang bikin tuntutan bukan dia atau orang tuanya. Keluarganya justru menolong Abang."

Frisya lagi-lagi tertawa. Tapi terselip kekecewaan dalam tawa yang terdengar sumbang. "Nggak mungkin. Mana bisa keluarganya bebasin Abang kalau memang kenyataannya Abang ngelakuin itu."

"Bisa. Keluarganya bisa sebaik itu, Fris!" desis Ren. Ia mengibaskan tangan. Mengungkap kebenaran rasanya menyakitkan, terlebih melihat kedua mata Frisya perlahan merebak.

Ren tidak akan menceritakan bahwa sebenarnya ia tidak sejauh itu dalam melecehkan, tapi biarlah jika itu memang membuat Frisya mengerti.

Suara bedebam yang cukup keras membuat Ren menoleh. Entah sejak kapan, pintu terbuka. Bukan itu yang membuat napas Ren tercekat di tenggorokan, tapi kondisi mamanya yang terjatuh dengan tatap nanar sanggup membuatnya bergerak cepat.

"Mama ...," gumam Ren sambil mengangkat tubuh mamanya agar duduk tegak. Melihat tatap dengan air mata itu, ia tahu sejak kapan Ani berdiri di sana. "Ma, maksudku-"

"Mama malu ...," isak Ani, terdengar mengiris perasaan Ren hingga membuatnya meringis. "Mama malu, ternyata kamu benar melakukan itu ke Rosa."

"Ma ...." Ren ingin menjelaskan, tapi bukan sekarang. Tidak saat mamanya masih diselimuti keterkejutan.

"Mau ditaruh mana muka Mama kalau berhadapan sama orang tuanya, Ren?" ujar Ani lemah, lengkap dengan air mata yang meluruh di wajah.

Ren melarikan jarinya dan merasakan bahwa kulit mamanya sudah begitu rapuh. Menyadari itu, ia ikut menangis. Umur Ani semakin senja, tapi ia belum bisa membuat bangga satu hal pun?

"Maaf, Ma. Maafin Ren." Ren memeluk mamanya erat.

"Kalau tahu anak Mama sejahat itu, Mama nggak akan maksa bawa Rosa ke sini. Mama malu."

Ren merasakan tangan rapuh mamanya menyentuh punggung. Ia akhirnya melepas peluk, dan mengusap air mata sampai tak bersisa. "Aku akan bahagiain dia, Ma. Aku janji nggak akan bikin Mama malu."

Ani menggeleng. Satu tetes kembali mengalir. Ada senyum sendu yang justru makin membuat Ren merasa bersalah. Selama ini, ia adalah sosok membanggakan bagi Ani, tanpa celah. Menyadari bahwa Ren melakukan kesalahan besar pasti membuatnya teramat kecewa.

"Nggak perlu, Ren. Lepas dia, ya. Biar dia dapat yang lebih baik."

***

Kepalanya terasa sangat berat. Rosa mengerang didera pusing yang menghantam kepalanya berkali-kali. Berhasil membuka mata, ia melirik jam di dinding. Pukul 5 pagi. Ia harus bangkit dan memakan sesuatu. Kepalanya sungguh tidak bisa diajak kompromi sejak semalam. Pusingnya tak juga reda.

Tangannya menggapai meja, berusaha meraih ponsel yang sejak semalam ia biarkan tanpa disentuh. Ia perlu berpikir untuk menghadapi Ren lagi, untuk berbicara tentang mereka ke depannya, tentang penolakan keluarga mereka. Perlu waktu.

Saat membuka ponsel, Rosa mengernyit mendapati panggilan berkali-kali dari Olif dan Indri. Baru beberapa menit yang lalu. Membuka pesan dari Indri, ia tertegun.

Indri
Buka grup jurusan rossss! Cpt!

Tangan Rosa menggulir ponsel, dengan cekatan menerima perintah pesan Indri tadi. Terlalu banyak chat tertimbun dan itu membuat kepalanya makin berdenyut. Semakin digulir, ia mendapati satu hal. Jantungnya berdetak kuat, bahkan rasanya sama menyakitkan dengan denyutan di kepala.

Menutup aplikasi chat, Rosa segera membuka mesin pencarian. Diketikkannya sebuah nama. Harap-harap cemas, ia menunggu proses loading selesai hingga akhirnya ia membelalak sempurna.

OJK kembali tutup 100 Fintech. Perusahaan terkemuka salah satunya?

Waspada! Perusahaan terkemuka ini ternyata Ilegal!

PT Multi Senddana Kantongi izin OJK, tapi Terciduk?

Ribuan Korban Penuhi Kantor PT Multi Senddana untuk Demo!

Nasabah PT Multi Senddana Ungkap Kronologi Utang 2 Juta jadi 100 Juta!

Dituntut atas Dugaan Pemerasan, Pemilik PT MS ditahan.

PT Multi Senddana Ditutup.

Fokus pandang Rosa terhenti saat layar ponsel berubah menjadi sebuah panggilan masuk. Dari Ren. Dengan tangan bergetar, ia menempelkan ponsel di telinga.

"Rosa ...."

Rosa tidak tahu apa yang akan Ren ucapkan. Tapi kelelahan lelaki itu amat tampak dari nada yang terlontar, seriuh apa pun kebisingan yang ada di latar belakang suara Ren.

"Abri ... bunuh diri."

____dibunuh Ren____

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top