33 | Pengkhianatan

Tentang kisah kita.
Aku tak ingin menjeda, sekalipun untuk sementara.
🥀

"Aku kaget banget. Ya gimana, tiga tahun kenal Rosa, nggak pernah lihat dia bikin status kecuali waktu OSPEK karena wajib."

Rosa hanya tertawa mendengar ucapan Olif. Wajah dua temannya kini sedang memenuhi layar ponselnya. Ia membenarkan airpods di telinga dan menegakkan tubuh di kursi.

"Jangankan status, Lif. Kita aja nggak pernah video call kayak gini bertiga. Tumbenan si Rosa mau gabung."

"Eh iya. Bener banget. Kok bisa? Kesambet apa si Rosa?"

"Seaneh itu?" tanya Rosa pelan. Ia meneliti sekitar yang sangat sepi. Selain karena lantai teratas tidak dihuni banyak karyawan, juga karena di sana sedang jam istirahat. Kebanyakan dari mereka berkumpul di lantai dasar.

"Nggak nyangka aja Kak Ren bisa bikin kamu jadi seterbuka itu, Ros."

"Baguslah kalau dia bisa nularkan positive vibes ke kamu."

Rosa hanya membalas dengan senyum.

"Aman nggak di situ, Ros?"

"Aman, kok, Ndri. Kenapa?"

"Nggak paham aja, kapan itu si Abri bikin status lagi sama kamu. Eh, semalem kamu bikin status lagi sama Kak Ren, walaupun nggak kelihatan mukanya, sih." Indri tertawa saat selesai mengucapkan itu.

"Abri bikin status sama aku?" heran Rosa. Perasaan, ia tidak pernah melihat Abri membuatnya. Atau ia yang tak sempat melihat?

"Di mobil, Ros," jawab Olif gemas. "Masa nggak sadar? Takutnya tuh berita kamu sama Kak Ren kesebar, terus Abri tau."

Rosa termenung. Betul juga. Selama ini, yang tahu bahwa ia berhubungan dengan Ren hanya Olif dan Indri. Semalam pun statusnya ia sembunyikan dari teman kelas lain karena takut Abri tahu dan semua jadi berantakan.

"Abis si Abri bikin status gitu, yang lain pada rame nge-chat aku, tanya apa kalian pacaran. Ya udah, aku jawab aja nggak tahu."

Baguslah kalau keduanya menyembunyikan apa yang diketahui. Rosa bersyukur memiliki teman yang pengertian.

Suara pintu terbuka membuat Rosa mengalihkan pandangan. Jarang-jarang Intan keluar dari ruangan pak bos di jam istirahat.

"Ndri, Lif, udah dulu ya."

"Oke, hati-hati di situ, ya, Ros."

Rosa memberi senyum dan anggukan sebelum menyudahi video call. Ia melepas airpods dari telinga saat Intan duduk tepat di sampingnya.

"Nggak ke kantin, Kak?" tanya Rosa. Ia sendiri sudah membawa bekal dari rumah, hasil belajar memasaknya.

Saat Intan menoleh ke arahnya, Rosa terkejut. Ragu, sedikit malu, ia menunjuk bagian leher Intan yang memerah. Tepat di cekungan. Seperti menyadari, Intan menunduk. Bukannya terkejut, wanita itu malah tersenyum masam dan meraih syal di laci lalu memakainya. Sama sekali tidak terlihat gugup karena Rosa memergokinya.

"Aku tahu kamu udah tahu."

Gumaman itu lantas membuat Rosa lagi-lagi terkejut. Apa yang akan terjadi kalau rencananya juga ....

"Aku malu."

Justru itulah yang diucapkan Intan. Wanita itu menatap Rosa dengan mata yang perlahan merebak. Sungguh Rosa tidak tahu harus melakukan apa. Bagi banyak orang, mungkin ia bukanlah orang yang tepat untuk berbagi masalah rumah tangga.

"Aku nggak tahu harus gimana lagi." Tubuh Intan meluruh. Kepalanya terbenam di tumpukan tangannya di atas meja. Beberapa detik terdiam, bahu itu berguncang pelan.

Rosa makin panik. Ia tidak terbiasa menenangkan orang, terlebih umur Intan jauh di atasnya. Bukankah ia akan terlihat tidak ada apa-apanya karena pengalaman Intan dalam mengarungi hidup pasti lebih panjang darinya?

"Kak ...." Pelan, Rosa menyentuh punggung Intan. Saat beberapa menit kemudian hanya isak yang terdengar lirih dan menyiksa, ia memutuskan ikut diam. Menunggu.

Dering ponsel di meja, milik Intan, membuat Rosa menoleh. Ada tulisan Pak Bos terpampang di layarnya. Intan sedikit mengangkat kepala, tidak seluruhnya hingga menutup pandangan Rosa akan keadaannya yang berantakan.

"Iya, Pak?" Suara Intan sudah kembali seperti biasa, tidak ada sisa-sisa tangisan yang terdengar. "Baik. Sebentar, saya hubungi."

"Ros, boleh minta tolong?"

Rosa mengangguk kaku. Melihat wajah pucat pasi Intan jelas menumbuhkan rasa iba. "Boleh, Kak."

"Tolong teleponin Abri, ya. Bilang dicari Papanya di ruangan."

Sebenarnya Rosa malas menghubungi Abri. Tetapi melihat Intan yang sedang sibuk membersihkan wajahnya sendiri, sekaligus penampilan yang berantakan, membuat Rosa akhirnya mengiyakan. Tidak ada ucapan apa-apa selain menyampaikan pesan dari Intan, saat ia menghubungi Abri.

Beberapa saat kemudian terdengar langkah tergesa. Abri hanya menoleh singkat saat melewati Intan dan Rosa.

"Sini kamu!!!"

Teriakan menggelegar itu menyentak Rosa. Ia sampai menelan ludahnya susah payah karena keterkejutan yang sangat. Dari pintu yang tidak tertutup rapat, ia melihat Abri ditarik begitu kuat oleh papanya sebelum tubuhnya terpelanting ke tembok.

"Nggak becus! Suruh nyuri data aja nggak bisa. Gimana mau nerusin perusahaan Papa, ha?!"

Rosa terpekik melihat satu pukulan kuat yang dilayangkan Pak Yoga tepat di wajah Abri. Ia memalingkan pandangan, tidak kuat melihat kekerasan. Intan sepertinya mengerti dan segera beranjak, menutup pintu pelan-pelan.

"Maaf, lupa nutup," sesal Intan melihat Rosa yang terkejut. Tidak ada yang tahu, pemandangan itu sudah terbiasa Intan lihat, walau bukan Abri sasarannya. Jika gagal menjalankan apa yang diperintahkan, anak buah Pak Yoga akan dipukul oleh tangan bos sendiri.

Keduanya terdiam. Sudah tidak ada suara keras yang terdengar dari dalam. Saat akhirnya pintu terbuka, Pak Yoga keluar ruangan dan keduanya sontak berdiri, memberi hormat. Tidak ada balasan senyum ataupun menoleh sama sekali. Aura Pak Yoga yang sedang marah sepertinya memang semenakutkan itu.

Saat Pak Yoga sudah berlalu, pintu kembali terbuka. Rosa hampir membelalak melihat kondisi Abri yang babak belur. Bagian matanya bahkan bengkak. Apakah selalu seperti itu jika Abri gagal memenuhi tuntutan Pak Yoga? Seperti yang Intan ceritakan tempo lalu?

Seakan malu, Abri berjalan cepat melewati mereka. Rosa baru akan membuka mulut dan bertanya saat Intan mengangkat tangan.

"Jam istirahat udah abis, Ros."

Rosa menggeleng. Ia harus tahu. Tentang apa pun itu. "Bisa cerita apa itu tadi?"

Intan tidak menggubris. Dari dalam laci, ia mengeluarkan satu map dokumen dan fokus ke sana.

"Kak Intan, bukannya—"

"Lebih baik kamu diam, Ros."

Ucapan itu terdengar tajam, tapi Rosa tidak menyerah. "Apa aku juga harus diam tentang Kak Intan yang jadi simpanannya Pak Yoga?"

Telak. Rosa berhasil membuat Intan menoleh, walau tatapnya teramat menusuk. Bibirnya bergetar seolah kemarahan sudah menyeruak sampai ubun-ubun.

"Nggak usah ikut campur," desis Intan dengan tatap tak teralih.

Rosa mengangguk-angguk. Ini pertama kalinya ia mendebat seseorang, dan seberani itu. Padahal dalam hati dirinya ketar-ketir. Ia bahkan bisa merasakan kakinya sedikit bergetar saat mengucapkan kalimat selanjutnya.

"Aku nggak akan ikut campur kalau Kak Intan dan Pak Bos ngelakuinnya nggak di depan mataku."

"Beraninya kamu—"

"Apa nggak mikir gimana anaknya Kak Intan yang baru 6 tahun?" sergah Rosa langsung. Ia balas menatap Intan dengan raut datar. "Apa nggak malu saat suami Kak Intan sering ke sini dan semua orang tahu kalau jadi simpanan bos?"

"Kamu nggak tahu hidupku, Ros. Sama sekali. Umurmu belum sampai buat mikirin hal begitu. Tahu apa kamu di umur segitu?" desis Intan lagi. Wanita itu bahkan membanting dokumen ke meja dengan kasar.

"Seenggaknya aku tahu kalau udah punya pasangan, nggak boleh berhubungan dengan laki-laki lain."

Ucapan itu menyentak Intan. Begitu hebat. Sampai-sampai wanita itu menutup wajah dengan kedua tangan. Lagi-lagi terlihat sangat berantakan.

"Aku udah coba, Ros. Udah," lirih Intan. Hal yang membuat Rosa terkejut karena perubahan nada bicara Intan yang lebih lirih. "Aku udah telanjur terjun, nggak akan bisa keluar dengan mudah."

"Kalau memang Kak Intan berusaha, banyak perusahaan lain yang—"

"Dan biarin dia bunuh keluargaku? Iya?" Suara Intan kembali tak terkontrol. Wajahnya sudah merah padam saat menatap Rosa. Begitu frustrasi.

Saat itulah Rosa tahu, bahwa Pak Yoga memang sekejam itu.

"Semua karyawan di sini ngeluh. Aku tahu. Kadang dibayar per tiga bulan, kadang enggak sama sekali. Kalau kabur, mereka akan dicari. Kamu tahu maksudku?"

Rosa membelalak. Benarkah? Permasalahan gaji juga demikian?

"Aku pernah terjebak dan masuk dalam perangkap dia. Nggak mudah buat lepas, Ros. Demi Tuhan aku nggak mau kayak gini." Ada isakan yang lolos. Rosa lalu mengusap punggung Intan yang bergetar. "Aku masih cinta suami dan anakku. Tapi aku gagal jadi seorang ibu yang baik."

Rosa membiarkan tangis itu semakin pecah. Saat kemudian Intan mengangkat wajah, Rosa yakin apa yang ditakutkan Intan memang benar adanya. Wanita itu ingin pergi, tapi terjerat, terjebak. Tidak bisa keluar, karena ancamannya adalah nyawa.

"Aku nggak pernah cerita ini ke siapa pun," lirih Intan dengan isakan yang lolos. Tangannya bergetar saat memegang lengan Rosa. "Kalau kamu akhirnya cerita ke Abri atau Pak Yoga pun, aku siap mati sekarang."

"Kak, jangan ngomong begitu." Rosa tahu, Intan putus asa.

Menunduk dalam, Intan mengusap wajah dengan kasar sebelum kembali menatap Rosa dengan senyum meski kedua matanya sudah bengkak.

"Sejak berita tumbangnya Damar Group, nggak ada orang yang tahu kalau itu adalah ulah Pak Yoga. Nggak ada yang tahu sebelum masuk sendiri ke sini. Aku saksinya."

Kini giliran Rosa yang bergetar. Kepalanya tiba-tiba berdenyut nyeri. Damar Group. Itu adalah perusahaan rintisan papanya Ren. Mengingat ekspresi terpukul Ren saat bercerita tentang papanya membuat Rosa meringis kecil, menahan sakit yang mendadak mengimpit dadanya.

"Itu alasan Pak Yoga nggak melepas siapa pun orang yang udah masuk ke sini dan telanjur tahu. Takut berita itu tersebar. Mereka nggak akan bisa keluar sebelum mati."

Rosa mengangkat pandangan. "Bukannya Kak Intan nggak seharusnya cerita ini?"

"Aku udah muak, Ros!" nada suara Intan semakin meninggi. "Kamu pikir aku tahan setiap hari hidup di keluarga yang berantakan karena aku sendiri? Aku cerita ini ke kamu biar kamu ngadu ke Pak Yoga dan aku terima mati!"

"Aku nggak akan cerita." Rosa mengucapkan itu dengan tenang, penuh keyakinan.

Intan hanya mendengus. Tidak percaya. Rosa masuk ke sana juga pasti karena dekat dengan Abri, bukan alasan sepele.

"Kamu akan cerita." Intan mengatakan hal kebalikan dari apa yang Rosa ucapkan. Ia mulai menggoreskan sesuatu di kertas, sambil terus berkata, "Aku udah ratusan kali caci maki orang yang complain masalah pinjaman." Dikeluarkannya daftar nama orang-orang yang complain ke PT Multi Senddana. "Ini, beberapa yang ngajuin dan ancam lapor ke polisi karena bunga pinjaman mendadak tinggi tanpa pemberitahuan. Kamu tahu uang Pak Yoga semua dari mana? Dari pemaksaan. Bukan sama sekali dari perusahaannya yang berjalan sesuai otoritas. Beberapa terima nurut dengan nilai tagihan tinggi. Beberapa lagi ancam mau lapor polisi. Mereka ini yang akhirnya jadi gelandangan karena Pak Yoga sita semua asetnya."

Rosa mengamati tangan Intan yang bergetar menunjuk banyak nama dan asetnya. "Nggak ada yang berhasil lapor?"

Intan menatap Rosa dengan senyum licik. "Menurut kamu?"

"Karena ... banyak anak buahnya?"

Intan tertawa. "Pak Yoga nggak punya anak buah. Sama sekali. Dia ditakuti karena suka ancam bunuh orang aja. Dan karyawan percaya setelah apa yang terjadi pada Damar Group. Satu-satunya orang yang bantu dia melancarkan aksinya biar berhasil, itu cuma aku. Aku yang kirim orang dalam untuk otoritas biar semua tuduhan digagalkan. Luarnya aja dipandang bagus sampai banyak yang bercita-cita masuk sini, dalamnya ... perusahaan ini bobrok!"

Rosa masih mencerna kalimat itu baik-baik.

"Udah." Intan menutup dokumen. "Sekarang, silakan kamu telepon Abri. Aku akan siapkan diri di ruang Pak Bos. Mungkin aku diperkosa dulu sebelum dibunuh. Atau langsung digantung?" Intan tertawa pelan.

Tawa yang bagi Rosa justru kesedihan pekat. Karena ekspresi Intan teramat mendung.

"Kenapa Kak Intan menyerahkan diri sendiri?"

Intan menaikkan alis. "Yang lain pada takut, Ros. Dulu saat sekantor mau gugat, aku yang nggak berani. Dan aku ngerasa bodoh kenapa dulu nolak. Padahal kalau semua karyawan turun tangan, pasti akan berhasil."

"Pasti?" Rosa meyakinkan. Sepertinya ia punya titik terang. Semua bukti sudah ada di tangan Intan.

"Ya, pasti." Intan sangat yakin saat mengucapkan itu. Karena anak buah terpercaya Pak Yoga memang hanya dirinya. "Ditambah orang-orang yang sempat dirugikan oleh Pak Yoga. Beratus-ratus. Aku yakin. Pasti berhasil."

Keyakinan itu lantas membuat Rosa terdiam. Ia hanya perlu membantu Intan membujuk karyawan untuk turun tangan. Karena semua karyawan memang hanya terjebak dan tidak bisa keluar. Setahu mereka, Intan juga semenakutkan Pak Yoga, itu yang membuat mereka tidak berani ambil langkah lebih dulu. Tapi jika Intan yang melakukan ....

"Kalau yakin pasti berhasil, kenapa Kak Intan harus sendirian memilih mati?"

***

Rosa mengembuskan napas lelah. Ternyata, lembur memang semelelahkan itu.

"Ros ...."

Langkah Rosa di lorong terhenti. Ia hafal itu suara siapa. Ditolehkan kepala ke belakang, mendapati Abri dengan wajah yang lebam menghampirinya. Sekejap ia terkejut mendapati Abri mendorong pelan tubuhnya di tembok. Lorong itu terlalu gelap di malam hari saat tidak ada orang di lantai teratas. Dan Rosa harus menghadapinya sendiri.

"Mau ikut aku?"

Bau alkohol. Walau Rosa tidak pernah sama sekali menenggak, tapi mata memerah Abri dan bau menyengat yang menguar membuatnya menerka-nerka serta yakin, bahwa Abri mabuk.

"Bri ...." Pelan, Rosa mendorong dada Abri.

"Kenapa?" Abri kembali mendekat. Tangannya sudah turun merengkuh pinggang Rosa. Sekuat tenaga, Rosa berusaha bertahan. Ingat, masih ada satu hal lagi yang harus ia ketahui dari Abri, sekalipun kemungkinan terburuknya bisa menghancurkan Rosa sendiri. "Aku ... harus pulang."

"Ikut aku, ya?" Kepala Abri sudah terkulai di bahu Rosa.

"Ke mana?" Susah payah, Rosa menepis halus tangan Abri yang mengusap pinggangnya.

"Ke tempat yang asyik. Kamu pasti suka. Oh iya, bukannya kamu udah pernah ngelakuinnya sama Ren, kan?" Abri tertawa di lekuk leher Rosa. "Pasti dia nggak sehebat aku. Walaupun waktu clubbing banyak banget yang mau di-make out sama dia, nggak tau aja mereka kalau aku lebih hebat."

Tawa Abri mengusik Rosa. Kedua tangannya mengangkat kepala Abri agar tidak terkulai. Memberanikan diri, ia mendongak meneliti ekspresi Abri yang kelam. Wajah lebam dengan bekas darah di sudut bibir tetap belum hilang.

"Kapan-kapan."

Jawaban itu menerbitkan keterkejutan di kedua bola mata Abri yang memerah dan sayu. Ia lalu tersenyum merasa menang. "Janji? Mau aku bawa ke hotel?"

"Ya," jawab Rosa dengan kaki gemetar.

Tanpa antisipasi, wajah Abri mendekat, mendesak. Beruntunglah kesigapan Rosa membuatnya segera mengalihkan wajah ke arah kiri. Mengakibatkan bibir Abri hinggap hanya di pipinya. Rosa hampir bisa bernapas saat ia justru dikejutkan dengan sebuah jilatan di pipi.

Serta merta, Rosa mendorong Abri menjauh. Tidak dengan cara kasar. Walau perasaannya teremas karena apa yang baru saja terjadi, tapi ia masih sanggup berpura-pura. "Jangan di sini," bisiknya. "Kapan-kapan aja."

Suara tawa Abri kembali menggelegar. Lelaki itu hampir terhuyung saat berbalik. Seperti teringat sesuatu, ia kembali menoleh ke Rosa dengan tatap memicing dan jari telunjuk yang terarah ke Rosa.

"Kamu ...." Abri bersiul pelan. "Wanita tercantik yang pernah aku temuin. Bye, Cantik."

Tubuh Rosa hampir meluruh di lorong. Kepalanya terasa dihantam ribuan pukulan dan itu membuatnya limbung, persis seperti efek mabuk Abri tadi. Merasa mendapat kekuatannya kembali, Rosa berjalan cepat, sangat tergesa sampai-sampai hampir beberapa kali ia terjatuh.

Kelengangan lorong membuat pijakan heels-nya terdengar keras, beradu dengan detak jantungnya yang berkali lebih cepat. Masuk ke toilet, Rosa membanting tasnya di lantai dan menyalakan kran air dengan kasar, seolah ingin mematahkan kran saat itu juga saat derasnya air yang mengucur tetap kurang cukup menurutnya.

Berkali-kali Rosa menampung air dengan kedua tangan, lalu membasuhkan ke wajah. Cepat, kuat, dan tanpa jeda. Ada jerit frustrasi saat cakarannya di pipi kanan—bekas ciuman Abri—tetap tak menghilangkan bayangan tadi. Dan itu menjijikan.

Rosa menggigit bibir bawahnya, menahan isak, membuatnya merasakan anyir karena gigitannya terlampau kuat. Ia menyerah dan mengangkat pandangan. Di depan cermin, pipi kanannya terlihat memerah. Bekas usahanya tadi menghilangkan sesuatu yang sebenarnya tak kasat mata.

Jilatan yang membuat Rosa lalu mencengkeram rambutnya kuat-kuat. Tubuhnya condong ke depan dan ia menumpukan kedua tangan di wastafel. Mendongak sebentar, justru gagal karena ucapannya tadi terngiang begitu jelas.

"Seenggaknya aku tahu kalau udah punya pasangan, nggak boleh berhubungan dengan laki-laki lain."

Rosa malu. Sangat. Ucapannya yang ditujukan ke Intan tadi malah berbalik padanya. Ada rasa bersalah pekat saat mengingat itu. Seharusnya ia tidak mengiyakan ajakan Abri. Bodoh. Apa keputusannya menyelamatkan Ren akan gagal karena justru ia yang menghancurkan perasaan Ren dengan pengkhianatan?

"Kak Ren ....," lirih Rosa sembari mencengkeram rambutnya sendiri. Rasa bersalah semakin kuat mengungkungnya. Walau Ren tidak tahu apa yang terjadi padanya tadi, tetap saja itu adalah pengkhianatan.

Seharusnya hanya Ren yang boleh memeluknya. Hanya Ren yang boleh menciumnya. Bukan malah membiarkan diri sendiri jatuh ke pelukan Abri tanpa penolakan seperti tadi. Apa bedanya ia dengan Intan?

***

Sudah dua kali Rosa mengetuk pintu. Ketukan ketiga, pintu terbuka dan wajah Lano yang tersenyum langsung menyambutnya.

"Ayo masuk, Kak," ajak Lano yang dibalas anggukan Rosa.

Setelah melepas heels-nya, Rosa masuk ke rumah Ren. Frisya dan Ani sedang menonton televisi di ruang tengah.

"Ma, ada Kak Rosa."

Rosa masih duduk di ruang tamu saat Ani menghampirinya. Terkejut, wanita paruh baya itu seperti mengerti bahwa Rosa butuh Ren sekarang juga. Keadaan Rosa yang berantakan dengan wajah pucat pasi menunjukkan itu.

"Mau ketemu Ren? Ada di kamar tadi. Langsung ke sana saja, ya." Ani mengusap punggung Rosa dengan prihatin, walau tidak tahu alasan kenapa wajah Rosa terlihat sangat lelah.

"Makasih, Tante," ucap Rosa saat Ani mengantarnya sampai depan pintu kamar Ren.

"Kenapa sih main dateng aja nggak sopan gitu? Bang Ren lagi ngerjain skripsi, juga. Ada yang dateng pasti cuma ganggu." Celetukan Frisya, seperti biasa.

"Hus, jangan bicara begitu, Frisya," tegur Ani. Ia menoleh ke Rosa. "Masuk saja."

Rosa tersenyum canggung dan mengangguk. Ia mengetuk pintu satu kali sebelum memutar engsel. Terlihat sekali Ren terkejut melihat siapa yang kini ada di dalam kamarnya.

"Ros?"

Selepas menutup pintu, mendengar suara Ren rasanya semua rasa bersalah sekaligus kerinduannya seminggu tidak bertemu membuncah begitu saja. Rosa melepas tas dan meletakkannya asal di lantai. Melihat Ren sudah berdiri, langkahnya semakin cepat, hampir berlari sebelum menubrukkan tubuhnya dalam dekapan Ren. Memeluk lelaki itu erat.

Ren jelas tidak mengerti, tapi tidak bertanya. Hanya membalas membawa tubuh Rosa dalam lingkar tangannya dan membabat habis jarak. Diusapnya punggung Rosa untuk menenangkan.

"Capek banget, ya?" tanya Ren lembut.

Rosa tidak menjawab, hanya mengangguk tanpa melepas dekap. Saat ia merasakan kecupan di kening, seketika mendongak. Satu jarinya menunjuk pipi kanan, membuat Ren mengangkat alis bingung. Seakan mengerti, Ren tersenyum dan memberi satu cium di pipi kiri Rosa, menerbitkan protes tidak terima.

"Aku kan maunya sini!" protes Rosa sambil menunjuk pipi kanannya.

"Aku sukanya ini, Sayang." Tangan Ren terangkat menyentuh cekungan manis di pipi kiri Rosa. "Cantik banget nih."

"Ih, aku maunya yang kanan, Kak Ren."

Ren hanya terkekeh, tapi nurut saja. Ia memberi kecupan singkat di pipi kanan Rosa.

"Jilat."

"Hah?" Ren terkejut luar biasa. Kenapa dengan Rosa hari ini? Kenapa aneh sekali?

"Kalau mau gitu, mending cium bibir aja." Ren mengerling, menggoda.

Tapi Rosa menggeleng, terlihat cemberut. Akhirnya Ren menuruti apa yang Rosa inginkan. Kembali, Rosa memeluk tubuh Ren dengan erat. Lelaki yang selalu menuruti apa yang ia mau ini, baru saja ia khianati. Lelaki yang perlakuannya begitu lembut tanpa pernah menyakiti, baru saja ia bohongi.

Pemikiran itu menerbitkan tetes air mata Rosa. Ia semakin menyurukkan kepala di dada Ren saat isakan berhasil lolos.

"Kangen banget ya sampai nangis gini, hm?"

Bahkan pertanyaan Ren justru memecah tangis Rosa lebih hebat. Lelaki sebaik Ren, kenapa harus memilihnya yang tidak bisa menjaga sebuah hubungan dengan baik?

Cukup lama mereka bertahan dalam dua pasang lengan yang saling mendekap. Ren akhirnya menuntun Rosa agar duduk di kursi, sementara dirinya berjongkok di bawah. Ia mendongak, mengusap wajah Rosa yang terlihat sangat kelelahan.

"Udah makan?" tanya Ren.

Rosa menggeleng. "Nggak pengin makan. Pengin mandi."

Ren tertawa. Ia beranjak dan mengambilkan kaus serta celana milik Frisya yang memang sebagian masih ada di lemari, sebelum mengangsurkan ke Rosa. Wangi langsung menguar dari sana, membuat Rosa tersenyum. Lano benar, mungkin pewangi yang Ren pakai untuk mencuci bisa sampai satu liter.

"Yang lain udah pada ke kamar," ujar Ren setelah mengecek ruang televisi. "Tahu kamar mandinya, kan?"

Rosa mengangguk. Ia beranjak ke kamar mandi. Guyuran air tetap tidak bisa membawa serta bayangan apa yang Abri lakukan tadi, menghilang. Nyatanya ia tidak bisa lupa, atau mungkin belum. Ia ingin terus melihat Ren, agar semua yang terjadi padanya tadi tidak melulu terngiang.

Selesai mandi, Rosa membuka pintu kamar Ren. Ia mendapati Ren serius di depan layar laptop. Duduk di tepi tempat tidur, ia ikut menoleh ke apa yang dikerjakan lelaki itu.

"Lancar magangnya?"

Rosa mengernyit. Nada suara Ren seperti berbeda, tapi ia menepis prasangka. "Iya, Kak. Kenapa?"

Ren mengambil sebuah kertas dari tas Rosa dan menunjukkannya pada gadis itu.

Surat Izin Magang di PT Multi Senddana!

____Hayolo, putusin!___

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top