Tuh dah updateeee cepet kaaan wkwk. Makanya ayo vote dan komen. Mwehehe🙈
____
🥀
Pelukan itu tetap tak terurai, sama seperti permohonan maaf Ren yang tak kunjung terjawab. Masih dengan membenamkan kepala Rosa di dadanya, Ren sekali lagi memastikan bahwa ia tidak bisa mundur. Usahanya menghindar dan membuat Rosa membencinya sungguh sia-sia. Nyatanya, Rosa justru menghampirinya. Saat ini.
Itulah yang membuat perasaan Ren mendadak membuncah. Rasa rindunya meluap saat melihat Rosa berdiri di hadapannya. Ini mungkin kesalahan, tapi sekali lagi, Ren tidak bisa mundur. Entah apa yang akan terjadi nanti, akan ia hadapi.
Tersadar, Ren merasakan engsel pintu di punggungnya bergerak. Saat pintu tak juga terbuka, suara ketukan menyusul kemudian. Seperti tersadarkan pula, keheningan seketika mencair. Ren merasakan tubuh dalam pelukannya perlahan menegang.
Ren melepas pelukan dengan terpaksa. Satu tangannya menaikkan salah satu sisi cardigan Rosa yang sempat turun sampai siku. Lalu dipastikannya Rosa bisa berdiri tegak akibat pelukannya yang tiba-tiba tadi sebelum menghela pelan tubuh Rosa agar bergeser beberapa langkah.
Tangan Ren membuka pintu, mendapati raut lelah adiknya. Saat menyadari bahwa ada perempuan lain di sana, Frisya segera masuk ke ruangan dan berlalu cepat melewati keduanya.
"Jadi beli makan, Fris?" tanya Ren setelah menutup pintu.
"Iya. Cuma tiga bungkus." Frisya meletakkan sekantung plastik di karpet yang digelar di atas keramik.
Ren menyentuh pelan punggung Rosa yang masih sediam tadi. Ia mendorong pelan agar Rosa berjalan menuju karpet yang ia sediakan di pojok ruangan. Ia membuka satu bungkus nasi dan menyodorkan ke depan Rosa yang duduk di sebelahnya. "Makan," ujarnya.
"Cuma tiga, loh, Bang." Frisya seperti mengingatkan.
"Iya. Ini masih dua. Buat kamu sama Lano."
Kening Frisya berkerut. "Bang Ren nggak makan?"
Ren tetap diam. Ia mengambil sedotan dan menusuk plastik air mineral gelas sebelum meletakkan di depan Rosa.
"Bang Ren yang belum sarapan dari pagi," gerutu Frisya melihat kakaknya malah menyerahkan makanan ke orang lain.
"Nggak apa-apa, Fris. Bisa cari lagi nanti."
Frisya terdengar mendengus kesal sebelum berjalan ke ruang rawat mamanya. Ren memperhatikan itu dengan helaan napas yang terdengar lelah. Tidak cukup sampai situ, kini gadis di sebelahnya juga menunjukkan hal serupa. Rosa beranjak dari duduknya membuat Ren ikut berdiri.
Ren sadar sudah menciptakan ketidaknyamanan bagi Rosa. Dimulai dari pelukan tiba-tibanya yang pasti mengagetkan, sampai ucapan ketus Frisya tadi.
"Gue anter lo," ujar Ren saat mereka sampai di pintu. Bisa dilihat Rosa terus menunduk.
Tidak ada jawaban, tapi Ren mengerti gerak-gerik Rosa yang menolaknya.
"Rosa." Ren menahan lengan Rosa yang hampir berlalu darinya.
Tangan Ren ditepis cukup kuat membuatnya mengalah dan membiarkan Rosa benar-benar pergi dari sana. Punggung Ren disandarkan di pembatas pintu. Matanya tak lepas memperhatikan punggung Rosa yang semakin menjauh.
Seharusnya ia menjauhkan saja gadis itu darinya, bukan malah menyeret dalam permasalahan hidupnya yang berantakan. Rosa adalah gadis baik-baik yang mustahil bisa menerimanya dengan baik pula.
Tapi tidak ada sesuatu yang lebih membahagiakan melihat kehadiran Rosa tadi. Apakah salah jika berharap kehadiran Rosa mampu memberinya kebahagiaan baru? Walau itu sama saja ia egois karena membawa gadis itu dalam kekelaman?
Tidak ada salahnya mencoba. Jika Ren mampu membuat Rosa menjadi miliknya, siapa tahu gadis itu mampu mengisi sebagian hatinya yang kosong, memberinya kekuatan baru akan tanggung jawab yang ia usung sendiri.
Jika gagal, bisa dipastikan Ren akan lebih hancur dari ini. Tapi siapa yang peduli? Bukankah Ren memang sudah hancur dari dulu? Jadi kehancuran itu akan ia nikmati seumur hidupnya.
"Nggak sopan banget itu orang, main dateng terus pergi aja."
Gerutuan itu membuat Ren menegakkan tubuh lagi. Ia menutup pintu dengan perasaan campur aduk yang tidak bisa digambarkan.
"Lagi sensi banget. Menstruasi?" Ren tertawa kecil saat bertanya itu pada adiknya.
"Baru juga kemarin selesai," jawab Frisya dengan gerutuan.
Ren duduk di sebelah adiknya yang sedang memberesi makanan yang bahkan belum Rosa sentuh sedari tadi. "Terus lagi kenapa? Boneka kemarin kurang gede?"
"Boneka itu sama Bang Ren juga sama gedenya. Cuma kurang olahraga aja itu boneka biar badannya bagus kayak Abang."
Ren geleng-geleng kepala dengan senyum geli mendengar itu. Adiknya ini, walau cara bicaranya ketus begitu tapi ia cukup mengerti kenapa. Dulu Frisya anak yang paling manja dengan papanya. Setelah kejadian itu, melihat Frisya bertahan sudah cukup membuat Ren salut, walau harus mengubah kepribadian Frisya yang awalnya ceria menjadi begitu sarkas.
"Ya udah." Ren mengusap kepala adiknya. "Kalau mau sesuatu, bilang aja. Nanti Abang cariin."
Kegiatan Frisya yang sedang makan terhenti. Cewek berseragam SMA itu seketika diam seperti merenung, sebelum menatap kakaknya dengan penuh permohonan.
"Aku mau, Bang Ren jangan bawa dia ke keluarga kita lagi."
Ucapan lirih dan penuh keseriusan itu awalnya membuat Ren tidak menganggapi. Ia bahkan hanya menjawab dengan senyum, sangat mengerti kekhawatiran yang Frisya rasakan. Tapi kalimat berikutnya membuat ia giliran termenung.
"Jangan bawa dia ataupun perempuan lain."
***
Tiga tahun lalu.
"Lo gila?"
Farah tertawa melihat keterkejutan dalam ucapan Ren. "Gue emang gila."
Ren menatap tajam wanita di depannya. "Tujuan lo apa sebenernya? Kalau dendam ke dia, lo bisa hancurin keluarganya. Bukan gini caranya."
"Siapa bilang gue cuma mau hancurin dia? Gue udah hancurin kakaknya juga, kok."
"Dengan cara?"
"Jual dia ke temen gue. Cewek."
Wanita sinting!
"Kalo lo nggak mau, gue bisa cari orang lain, sih," ujar Farah santai sambil mengembuskan asap rokok dari mulutnya.
Saat tadi Ren menunjukkan penentangan atas ide untuk 'menghancurkan' Rosa, kini sikapnya berubah drastis, menjadi sepenuhnya mendukung.
"Gue setuju. Satu-satunya cara hancurin perempuan ya dengan cara itu." Ren menyeringai. "Not bad juga dia."
"Lo akan suka. Gue yakin."
Ren tertawa. "Minimal tampangnya oke, lah. Masalah kurang seksi bisa termaafkan."
Farah mendengus. "Dia seksi abis."
Ren terlihat geleng-geleng kepala, tidak yakin.
"Gue tahu sejak dia bahkan belum puber sampai tumbuh buah dada. Tahu banget gimana perkembangannya." Farah menaikkan satu alisnya membentuk lengkungan tajam. "Lo berhasil dikelabui baju seragam sekolahnya sampai nggak sadar hal itu."
"Jadi ... kapan?" Tatapan Ren menerawang sebentar. Ia tahu ini hal terberat yang harus dilakukan.
"Besok. Tapi inget, jangan sampai ketahuan."
Ren mengangguk. Dalam hati menyimpan umpatan. Berkali-kali Farah mengatakan agar ia berhati-hati karena penjagaan Rosa mulai diperketat jadi ia akhir-akhir ini bahkan jarang menggoda Rosa di gerbang sekolah.
Satu yang tidak Farah tahu, bahwa Ren sudah menunjukkan alarm tanda bahaya kepada Salju saat dilihatnya perempuan itu menjemput Rosa beberapa hari lalu, dengan menyerahkan foto Farah padanya. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi secara tidak langsung untuk memberi tahu bahwa Farah-lah dalang di balik semua ini.
Ren bukannya kecewa saat mamanya Rosa ataupun Salju memperketat penjagaan terhadap Rosa setelah tahu ia menguntitnya cukup lama. Justru Ren bersyukur atas kehati-hatian keluarga Rosa. Karena jujur, ia khawatir.
Di sanalah ia berada sekarang, menunggu Rosa keluar dari sekolah. Sudah lewat bermenit-menit sampai keadaan sekitar terasa sepi. Rosa pasti tidak diperbolehkan keluar kelas sebelum ada yang menjemput.
Dari dalam mobil yang ia pinjam dari Farah—demi melancarkan aksinya—Ren memperhatikan itu. Rosa dan satu teman perempuannya baru saja keluar gerbang. Rosa tidak melepas ponsel sama sekali dari telinga, mungkin agar tetap tersambung dengan keluarganya selama cewek itu sendirian.
Dan Rosa mungkin lengah. Saat temannya sudah menyeberang dan tinggallah ia sendirian, Rosa terlihat termenung dan melamun. Ponselnya sudah tergenggam di tangan yang terkulai di samping badan. Ren segera memacu mobilnya tepat di samping Rosa yang masih tidak menyadari.
Mungkin ini cara pecundang, tapi tidak ada yang bisa Ren lakukan lagi dengan suruhan Farah. Tangannya membekap mulut Rosa. Seketika tubuh cewek itu melunglai. Ren menarik Rosa ke dalam mobil. Bersyukur karena aksinya itu bisa tertutup dengan mobil besar yang kini didudukinya.
Suara ponsel terjatuh membuat Ren menunduk sebentar mengambilnya. Sebuah panggilan sedang berlangsung. Nama 'Kak Salju' terpampang di sana. Ren meletakkan ponsel Rosa di dashboard dan memacu mobilnya menuju hotel.
Pukulan keras mendarat di setir dengan erangan yang Ren tahan kuat-kuat saat sampai di basement hotel. Napasnya memburu menyadari aksi pengecutnya kali ini. Ia menoleh ke kiri, memandangi wajah polos Rosa yang masih belum sadar.
Ren mendekat, memperhatikan wajah itu dari dekat. Ia tidak akan berbohong pada dirinya sendiri bahwa Ren mengagumi Rosa. Kagum pada bagaimana cewek itu tidak memedulikan gangguan-gangguan sekitar. Kagum bagaimana Rosa bisa mengendalikan diri dengan baik.
Cewek itu sangat tenang. Ren seperti tersadarkan bahwa dirinya gagal menata diri dengan baik. Tersulut emosi sedikit, bisa berujung perkelahian, atau paling parah ia melarikan diri pada minuman beralkohol. Jadi melihat Rosa begitu tenang menghadapi hidup, ia seperti tersadarkan.
"Gue nggak akan biarin Farah nyakitin lo lebih dari ini, Ros," gumam Ren, dengan kehancuran dirinya sendiri. Mendengar Farah akan menyerahkan pekerjaan ini ke lelaki lain, sungguh ia tidak ikhlas. Bukan mengambil kesempatan, tapi ia tahu tabiat laki-laki.
Rosa memang akan hancur hari ini, olehnya. Tapi tidak akan sehancur jika Farah menyerahkan aksi ini ke lelaki lain. Walau sebagai balasnya, nama Ren akan tercoreng bagi Rosa. Tidak apa-apa. Yang terpenting, ia memastikan bahwa Rosa tidak akan 'sangat hancur'. Karena lelaki lain pasti benar-benar melakukan apa yang Farah perintahkan. Tapi ia ... tidak akan.
"Rosa. Ros!"
Sebuah suara dari ponsel membuat Ren menoleh ke dashboard. Sambungan telepon sengaja tidak ia putus. Dengan itu, tangan Ren bergerak cepat mengambil ikatan kain untuk menutupi mulut Rosa dengan ikatan di belakang kepala untuk menghindari teriakan Rosa jika nanti cewek itu sadar.
Sebentar lagi.
Ren menatap tubuh Rosa yang mulai menunjukkan tanda-tanda sadar. Cewek itu sudah dipakaikan jaket ber-hoodie. Mulutnya yang tadi tertutup kain sudah dilapisi masker hingga orang-orang nanti tidak menyadari bahwa cewek itu disekap.
Gerakan Rosa perlahan yang membuka mata kemudian membelalak terkejut membuat Ren bergerak mendekat. "Jangan teriak, gue mohon," bisiknya.
Rosa tidak mendengarkan itu. Tubuhnya sudah bergetar dengan teriakan yang teredam.
"Ros." Ren berusaha menenangkan. Ia cekal dua lengan Rosa dengan kuat dan tatapnya menyiratkan permohonan sangat. "Lo akan baik-baik aja sama gue. Tapi tolong, ikutin gue, ya."
Rosa menggeleng. Air matanya sudah menetes di pipi yang langsung Ren seka dengan halus.
"Gue tahu gue berengsek, tapi lo akan baik-baik aja. Gue janji." Ucapan Ren terdengar lebih tegas.
Melihat Rosa tetap melakukan perlawanan, Ren mengeratkan cekalannya. "Ini demi lo, Rosa. Kalo nggak, kakak lo yang namanya Farah gila itu bisa terus kejar lo. Lo mau?"
Perlawanan Rosa melemah, Ren bisa merasakan itu. Teriakan tadi berubah menjadi isakan. Ren tidak menjelasakan lebih lanjut kenapa ia membawa Rosa ke sana. Ia hanya berharap Rosa mengerti maksudnya. Dan sepertinya itu terwujud saat Rosa—walau enggan—akhirnya bisa berjalan bersamanya masuk ke sebuah kamar.
Rosa memang berharap ini bisa menyelamatkannya. Ucapan Ren tadi begitu meyakinkan di telinganya. Tapi saat Ren justru melepas kemeja Rosa dengan paksa sampai kancing-kancingnya terlepas, Rosa sadar ia salah memercayai seorang lelaki.
Ren tetap berengsek. Saat Rosa sudah lelah untuk menangis, Ren justru mengambil gambar tubuhnya yang walau masih tertutup kain, tetap berantakan. Ren memang tidak menyentuhnya, tapi menyadari tubuhnya sudah dipandangi laki-laki membuat Rosa merasa malu.
Walau tidak ada yang menyadari, tapi Rosa terpukul hebat.
*
"Gimana?"
Ren meringis saat mendengar pertanyaan dari Farah di seberang sana. Tangannya mengurus luka di lengan kirinya akibat pisau tadi. Salju yang menancapkannya di sana setelah ia mengabari kalau Rosa ada bersamanya di hotel. Jika Ren ada di posisi Salju juga akan sama, bahkan bukan hanya menancapkan pisau di lengan, Ren akan bunuh orang yang melakukan itu pada adiknya.
"Lo nikmatin permainan tadi?"
Ren memejamkan mata erat dengan ponsel menempel di telinga. Ia berdiri dan bersandar di dinding ruang tamu rumahnya. Farah mungkin mengira Ren benar-benar melakukannya sampai-sampai Farah terdengar sebahagia itu.
"Ya," jawab Ren lemah. "Gue suka dadanya." Ia selipkan tawa untuk meyakinkan.
"Gue udah duga lo akan suka bagian itu." Farah balas tertawa. "Gue akui, sih."
Tubuh Ren meluruh mendengar itu. Ponselnya sampai terjatuh ke lantai saat ia mengacak rambutnya dengan frustrasi.
Ren merasa gagal. Karena ia justru mencoreng namanya sendiri di depan gadis yang di detik pertama ia melihat, ingin ia jadikan satu-satunya dalam hidup.
***
Ren terbangun dengan kekagetan yang menyeruaknya. Tersadar kemudian, Ren menatap jam dinding di ruang tamu. Pukul 9 pagi. Ia bahkan baru tidur satu jam yang lalu tapi mimpi itu selalu membayanginya seakan tidak pernah mengizinkan Ren terlelap sebentar saja.
Itu sudah terjadi tiga tahun belakangan ini. Ren selalu susah tidur. Makanya ia sering membuat tubuhnya sendiri lelah agar bisa terlelap walau sebentar. Mimpi-mimpi itu terus mengikutinya saat ia terpejam.
Ren mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah mandi tadi, setelah memasak untuk sarapan mamanya. Ia bangun dari karpet lalu berjalan ke kamar mamanya. Dilihatnya seorang wanita yang kini tidak sesehat dulu, sedang duduk memandang ke arah jendela.
"Mama," panggil Ren pelan. Ia berjongkok di depan mamanya dan tersenyum. "Belum makan?"
Ani mengangguk dan mengusap kepala anak lelakinya. Ren sudah terlalu berjuang untuk mereka. "Kamu ada kuliah, kan? Berangkat, jangan suka bolos."
Ren tersenyum. Alasan ia tetap mau melanjutkan kuliah adalah wanita yang kini di depannya. Ia lalu bangkit dan duduk, memeluk sang mama. "Ren sayang Mama."
"Iya. Mama juga sayang Ren."
Merasakan pelukan dan usapan di punggung, mata Ren perlahan merebak walau tidak ia biarkan menangis. Tentang mamanya, selalu semengharukan itu.
"Aku berangkat dulu, ya, Ma." Ren mengecup kening mama dengan penuh kasih sayang.
Ren merasa bahagia, walau kehidupan mereka jauh dari kata sempurna. Bersama mama dan dua adiknya. Walau ada sesuatu yang menekan dadanya kuat. Sebuah tanggung jawab. Ia memegang itu untuk ketiganya. Bertanggung jawab atas mamanya, Frisya, dan Lano.
Bukan tidak cukup bahagia hingga mengharap Rosa memberinya semangat baru. Tapi ia hanya ingin ada yang mendengar. Dari seseorang yang jelas tidak bernasib sama dengannya. Ren tidak pernah menunjukkan kelelahan di depan mama dan dua adiknya karena itu hanya akan membebani mereka. Ren menginginkan seseorang yang bisa menjadi tempatnya menunjukkan semua kekurangan.
Dan seseorang itu kini baru saja turun dari motor. Seperti biasa, Ren menunggu di pintu masuk. Rosa tetap terlihat tak acuh pada sekitar. Rosa dengan pemikirannya yang entah apa, tidak bisa Ren ketahui sekarang.
Tiga hari pasca pelukan itu, sebenarnya Ren merasa malu. Tapi bukan Ren namanya kalau tidak bisa menyembunyikannya.
"Rosa ...," panggil Ren dengan cara persis seperti nadanya memanggil di gerbang sekolah Rosa. Dulu sekali.
Dan itu sukses membuat Rosa membeku. Bukan karena nada dan suara yang sudah ia hafal, namun juga kenyataan bahwa Ren kembali ke kampus. Diliriknya lelaki itu bersandar dengan seringai seperti biasa. Entah kenapa tidak ada rasa sebal. Setelah tahu sebagian kisah Ren, rasa bencinya pada lelaki itu sedikit menguap.
Ren tertawa kecil saat Rosa berjalan melewatinya menuju kelas. Seperti bodyguard, ia mengekori di belakang dengan langkah-langkah pelan. Sebentar lagi kuliah dimulai, dan kelas sudah ramai.
Tanpa diperintah, di mana pun Rosa duduk, siapa pun yang berada di kiri atau kanan Rosa segera angkat kaki, memberi Ren tempat persis di sebelahnya. Ren jadi geleng-geleng kepala melihat itu. Media memang sangat kejam. Teman kelas Rosa tidak mengenal Ren sama sekali, bisa-bisanya setakut itu padanya.
"Dosennya ada halangan hadir. Kita disuruh presentasi mandiri."
Ucapan salah satu mahasiswa itu sontak menerbitkan kebisingan sekitar. Tapi itu seperti tidak berpengaruh pada Rosa karena tetap saja membuka buku kuliah dan fokus membacanya.
"Bosen banget kuliahnya gini." Ren meregangkan otot-ototnya dan menguap. Ia tersenyum geli melihat Rosa seperti tidak terganggu dalam keseriusannya. "Rosa," gumamnya.
"Iya?"
Ren membeku. Apa itu tadi sebuah jawaban? Apa ia tidak salah dengar? Padahal ia hanya menggumam seperti biasa, tidak tahu bahwa Rosa akan menggubrisnya.
"Ros?" tanya lagi Ren lagi, memastikan. Ia sampai mendekatkan duduknya ke Rosa.
"Apa?"
Dan kini Rosa menoleh padanya. Walau sebentar, tapi itu membuat Ren mengerjap. "Pinjem tangannya boleh?"
"Boleh," jawab Rosa sambil menyodorkan lengan kirinya, seperti biasa. Ia hafal.
Ren tidak bisa menahan kebahagiaannya, walau kini Rosa masih terfokus pada presentasi di depan. "Biasanya bersihin pake apa?" tanyanya, harap-harap cemas.
Bertanya ke Rosa itu sama aja main kuis. Kalau dijawab membuat bahagia, kalau tidak, ia akan terus mencoba.
"Lotion."
"Di mana?" kejar Ren.
"Toilet."
Ren mengangguk. Menatap tangan Rosa, ia menggelengkan kepala dengan senyum geli. Dicoretkannya satu gambar di sana, tidak terlalu besar.
"Toilet yang di lantai berapa, Ros?"
"Satu."
"Pintunya warna apa?"
Rosa kini benar-benar menoleh ke Ren, menaikkan alisnya tanda tidak mengerti arah pembicaraan mereka, tapi tetap menjawab, "Cokelat. Semua pintunya warna cokelat, kan?"
Ren terkekeh. Apa Rosa tidak tahu kalau suaranya itu halus banget di telinga Ren? Merdu dan lembut. "Ntar gue ikut nemenin lo bersihin ini, ya?"
Rosa menggeleng. "Toilet cewek."
Ren benar-benar tertawa sekarang. "Sampai wastafel aja, nggak ke toilet juga, Rosa."
"Oh." Rosa seperti tersadar. "Iya." Lalu ia kembali fokus memperhatikan depan. Sebenarnya Rosa bisa saja mengabaikan presentasi itu karena jujur, di sekitar yang bising itu tidak bisa membuat Rosa fokus. Ujung-ujungnya ia akan belajar sendiri. Tapi ia ingin menghargai kelompok yang sedang presentasi.
"Lo tahu ini gambar apa nggak?" Ren menunggu beberapa saat, tapi tidak ada jawaban. Tanpa sadar berdecak pelan. "Nggak dijawab lagi."
Mendengar nada kekecewaan itu, Rosa segera menoleh ke lengannya. "Gambar mawar." Satu tangannya menggeser jari Ren yang menutupi satu gambar lagi. "Dua-duanya mawar," jawabnya pelan.
Ren menatap keseluruhan wajah Rosa yang kini sedang menghadapnya. Apa ia berlebihan jika merasa sebahagia itu sekarang? Tiga tahun perasaannya dibiarkan tanpa tersampaikan. Semua tidak akan seperti ini jika namanya masih baik di mata Rosa. Ia yakin dulu niatnya untuk mengejar Rosa akan terealisasi jika Farah tidak menghancurkan. Tapi ternyata takdir berkata lain.
"Nih, gantian." Ren meletakkan lengan kanannya ke hadapan Rosa.
"Apa?"
"Gantian kalau mau coret-coret."
Rosa menggeleng. Ren tetaplah lelaki yang punya daya otoriter tinggi. Ia sudah menyerahkan bolpoin ke tangan Rosa.
"Biar nanti kita bersihin bareng-bareng," jelas Ren yang membuat Rosa mengulas senyum kecil.
Senyum singkat yang membuat dada Ren berdesir hangat. Ia tahu itu kekanakan, tapi demi mengusir bosan saat kuliah, terlebih itu menyangkut tentang Rosa, semua terasa membahagiakan. Dan Ren tidak peduli.
"Gue kira lo nggak tahu nama gue," gumam Ren melihat coretan kecil bertuliskan 'Kak Ren' di lengannya. Melihat Rosa menatapnya bingung, Ren melanjutkan. "Soalnya lo nggak pernah panggil gue. Satu kali pun."
Rosa termenung, menatapi raut kecewa yang bisa ia tangkap dari ekspresi Ren. Lagi-lagi, semua yang ia tahu—walau sedikit—tentang Ren membuat kekesalannya menguap. Entah kenapa ia hanya ingin Ren tidak merasakan kekecewaan seperti itu karena hidupnya sudah cukup berat.
"Kak Ren," gumam Rosa. Pelan dan hati-hati.
Ada senyum lebar yang tidak hanya Ren sampaikan lewat lengkungan bibir, tapi juga kedua matanya. "Sekarang gue yakin lo tahu nama gue."
Ingin rasanya Ren bertanya, apa pelukan kemarin tidak berarti apa-apa? Ataukah Rosa menganggap itu hanya bentuk terima kasih? Apa gadis itu tidak tahu kalau Ren menyayanginya?
"Ntar gue anter pulang, mau?"
Ada jeda beberapa detik sebelum Rosa menggeleng pelan. "Kapan-kapan aja, ya."
Walau itu adalah penolakan, tapi sama sekali tidak menyakiti Ren. Ia sadar semua harus berjalan pelan-pelan. "Ya udah. Tapi balas chat gue ya."
"Iya, Kak."
"Janji?" Kejar Ren. Ia mendekatkan wajahnya pada Rosa yang masih menghadap depan.
Saat Rosa mengangkat pandangan menghadapnya, wajah mereka jadi begitu dekat. Ren mengapresiasi ketenangan dalam diri Rosa yang tidak terlihat canggung sama sekali, di saat Ren merasakan dadanya ingin meledak saat itu juga mendapati wajah cantik Rosa berada di depannya tepat. Sangat dekat. Dan suara itu lalu melantun begitu pelan.
"Iya. Aku janji, Kak Ren."
______uuuu. Kak Ren kampret🙉_____
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top