PAP Tanganmu Sekarang!
Genre: Teenlit-Romance | Jumlah kata: 2131 | created at -
Sudah hampir seminggu, pesan dari Ryan tidak masuk. Nana mengeluh, guling-guling di atas kasur sampai mentok ke dinding tempat ranjangnya menyatu. Uring-uringan, merasa otak mau pecah: kenapa dia keras kepala banget sih?!
Nana menggigit jari. Bagaimana mungkin Ryan bisa mendiamkannya selama ini? Apa mungkin ini pertanda hubungan mereka sudah merenggang? Seharusnya hubungan jarak jauh itu untuk melatih kesetiaan, kesabaran, dan pengorbanan. Bukannya menjauhkan, apalagi sampai saling mendiamkan.
Lagi, Nana menatap layar smartphone-nya, tidak ada tanda-tanda pacarnya online. Meski centang ganda abu-abu tercetak jelas di pesan terakhirnya, pacar dua—sebentar lagi tiga—tahunnya tersebut tidak kunjung membacanya. Apa jangan-jangan dia benar-benar marah?
Nana ingat kejadian seminggu lalu, saat ia menemukan akun Instagram pacarnya tiba-tiba memposting foto berdua dengan seorang perempuan. Siapa dia? Jiwa menyelidik Nana bangkit, kalau sudah dalam mode ini, FBI pun kalah dalam hal melacak. Gengsi bertanya, Nana menggunakan akun palsunya untuk mencari tahu siapa gadis tersebut. Ketemu! Nana menggulir layar smartphone-nya penuh nafsu.
Perempuan tersebut ternyata satu kampus dengan pacarnya—yang terpaksa dipisah jarak akibat perkara pendidikan. Tiga tahun lalu, Ryan mengejar-ngejar Nana. Dipersatukan dalam proyek KIR, mereka akhirnya semakin akrab dan selama proses pendekatan serta putus-sambung, langgeng sampai dua tahun sembilan bulan.
Sayang, Ryan harus mengejar tuntutan akademik lebih tinggi ke pulau seberang. Sementara Nana harus rela menetap di kota kelahiran karena dilarang Papa-Mama. Jadi mereka harus sabar-sabar menahan rindu dan menjadwal khusus waktu liburan untuk melepas kangen.
Setelah masa-masa yang indah tersebut, masa iya Ryan mengkhianati cintanya sekarang?! Nana membatin, hatinya menjerit tatkala melihat terduga-peretak-hubungannya nampak mesra sampai memeluk setengah badan Ryan dari samping. Dan cuma berdua. Dalam satu foto. Demi apa ...
Kenapa Ryan tidak pernah cerita perihal gadis ini? Kenapa ia seperti menyembunyikannya? Dalam berkirim-kirim pesan, dan kegiatan telpon-menelpon yang jangkanya mengalahkan pasien minum obat. Ryan nampak baik-baik saja. Ia bangun tidur, sarapan, siap-siap ke kampus, belajar, nongkrong bareng teman, dan kembali ke kos dengan selamat. Ryan selalu melapor, Nana juga menceritakan kegiatannya. Mereka selalu bertukar informasi, saling menggenggam yakin dan kepercayaan masing-masing.
Sekarang Ryan tiba-tiba memutuskan komunikasi. Setelah cekcok panas saat Nana dengan frontal bertanya, siapa gadis tersebut.
"Dia cuma teman."
Cuma? Nana sudah sering mendengar alasan klasik tersebut. "Kalau cuma, kenapa fotonya mesra gitu, pakai peluk-pelukan segala lagi."
"Gak berdua kok, waktu itu bareng sama yang lain juga."
"Masa?"
Chat-chat yang biasanya ditaburi emoji cium dan cinta mendadak hilang. Nana bisa merasakan pacarnya di sana menegang, sementara ia sendiri meradang. Bisa-bisanya Ryan berbuat seperti itu di belakangnya?
"Percaya deh, aku dan dia gak ada apa-apa."
"Oh ya?" Nana mengirimkan belasan bukti foto dan caption manis menyakitkan mata milik sang tersangka. Dari yang mengatakan 'kaulah yang terbaik untukku' sampai yang paling berani 'tetaplah selalu di sisiku'.
Bagaimana Nana bisa tahan? Sudah jauh, tidak bisa dipantau langsung, cowoknya main dekat lagi sama cewek lain yang tidak tahu rimbanya siapa.
"Kamu dapat darimana?"
"Gak usah tahu. Ayo ngaku, dia siapanya kamu? Kenapa sampai berani nulis kayak gitu?"
"Na ..., dia temen, kami sering kerja kelompok bareng. Udah gitu aja."
"Tapi dia berani gitu, apa jangan-jangan kamu gak bilang sudah punya pacar?"
"Kamu kan tahu sendiri, aku pernah cerita tentang kamu dengan semua teman kelas."
"Kecuali dia."
"Termasuk dia."
Hening. Kedua mata Nana berair, entah kenapa ia merasaakan sakit. Ia tahu pacarnya berusaha menyembunyikan hubungan yang sesungguhnya. Ia tahu. Perempuan itu suka pada pacarnya, dan Ryan seperti membuka tangan. Tidak menampik. Mereka sama-sama cari perhatian.
"Kamu selalu gini."
Ryan mendadak mengirimkan pesan yang mengangetkan tersebut. "Apanya?"
"Cemburuan."
"Kalau kamu gak sok buaya, aku gak mungkin gini."
"Masih marah."
"Iyalah!"
"Astaga, kamu mau apalagi sih? Aku udah jujur."
Nana menganga, yang begitu jujur? Yang gitu ...?! "Jujur itu, kamu dekat dengan cewek lain aku tahu. Padahal aku udah percaya sama kamu, kayak gini ya sekarang."
"Na ..."
"Dasar buaya."
"Nana!"
"Gak usah hubungin aku lagi!"
Ceklis abu-abu. Mungkin pacarnya sudah membaca pesan tersebut lewat notifikasi. Masa bodo! Nana membuang smartphone-nya dan berusaha mengenyahkan kekhawatirannya dalam-dalam.
****
Nana ingat, saat jadian ia benci setengah mati dengan Ryan. Pemuda itu dulu berkulit cokelat kusam, wajahnya juga jelek, rambutnya cepak tidak pas, pokoknya benar-benar bikin memelas. Dan Nana, sebagai gadis yang tidak tahan kasihan, disetir perasaan untuk menerima Ryan.
Saat putus setelah tiga bulan jalan, Nana merasa bahagia dan bebas! Ia senang bisa lolos dari Ryan dan berburu cinta lain dari pemuda yang lebih tampan. Waktu itu ia dekat dengan seorang kakak kelas ganteng yang kebetulan naksir dengannya. Berbekal perkenalan lewat BBM, mereka akhirnya memutuskan jalan untuk pertama kali, dan akhirnya jadian.
Hari itu benar-benar surga untuk Nana. Hatinya berbunga-bungan, penuh letupan kembang api. Tapi, tak sampai dua Minggu kemudian berembus kabar busuk menusuk telinga—pacar barunya selingkuh! Nana sempat tidak mau percaya dan iya-iya aja dengan klarifikasi pacarnya bahwa ia tidak ada hubungan apa-apa dengan gadis imut—yang satu kelas dengannya tersebut.
Nana ingin yakin. Dan kenyataan memberi tamparan untuk Nana saat laki-laki itu mendadak hilang dan makin jarang menghubunginya. Nana ingin percaya bahwa kekasihnya sedang sibuk ujian, sibuk bimbel, sibuk mengejar materi. Dan saat ia mencoba menggenggam mantra tersebut, ia memergoki pacarnya jalan dengan si gadis imut. Berdua. Gandengan tangan. Peluk-pelukan dari belakang.
Miris. Nana pulang dari sekolah dengan hati berdarah-darah. Dikhianati, seolah dicampakkan dan tidak dianggap penting lagi. Diselingkuhi rasanya seperti penolakan terhalus, mengirisnya perlahan-lahan dan teramat dalam. Nana murung seharian. Ia pun bertanya langsung pada pacarnya, siapa gadis itu sebenarnya.
Lama tidak dijawab, dua jam kemudian ping berbunyi. "Cuma teman."
"Tadi aku lihat kamu jalan dengannya."
Lama tidak bersambut. Akhirnya Nana mengetik: "Mau putus?"
"Oke."
Selesai. Hubungan mereka kandas begitu saja. Saat itu juga Nana menghapus semua foto berdua mereka dari Facebook dan mengganti status menjadi lajang. Ia bukan lagi dimiliki dan memiliki siapa-siapa. Ia bebas, tapi kenapa terasa kebas?
Esoknya Ryan mendekat, cowok itu berusaha mengajaknya ngobrol dan bersedia disuruh beli apa saja di kantin dengan dalih "Aku mau jajan, gak nitip?"
Nana melihat Ryan masih mengharapkannya. Dan Nana sekarang butuh pengisi ruang hati sesegera mungkin, atau ia akan jadi zombi berjalan dan menjalani hari di kelas dengan semangat semu.
"Hei ..." Nana menarik seragam belakang Ryan. Cowok itu menoleh, kaget.
"Mau jadi pacarku?"
Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk kembali dekat. Sebagai pelampiasan, Nana hanya sayang sekadarnya. Tapi Ryan berbeda, cowok itu benar-benar menunjukkan geliatnya sebagai kekasih idaman. Ia senang membelikan Nana jajan, memberinya bunga dan cokelat di hari valentine, serta kejutan manis penuh lilin dan kue tart mini di kelas.
Nana berusaha menampik, ia tidak mau terrlalu berharap. Ryan tahu gadisnya tidak sesemangat ia dalam menjalani hubungan ini. Karenanya Ryan selalu berinisiatif, mengajaknya jalan, makan di kantin, sampai memintanya bergabung dalam kelompok KIR.
Nana merasa diistimewakan, pelan-pelan hatinya luluh. Dalam susah dan senang, dalam penelitian KIR dan mencari literatur di perpustakaan, mereka selalu berdua dan saling memberi semangat. Ryan memberinya aura positif, dan entah bagaimana, di bawah temaram cahaya matahari dari jendela perpus, Ryan nampak gagah saat mendoangakkan kepala dan satu tangannya terjulur ke atas menekuri satu per satu judul buku.
Seperti lukisan. Dan Nana hanyut dalam pemandangan itu sesaat.
Akhirnya, perjuangan tersebut terbayar dengan kemenangan gemilang. Karya Ilmiah mereka mendapat penghargaan sekolah. Nana dan Ryan dipanggil khusus saat upacara bendera untuk diberi piagam. Berdua, sama-sama di hadapan guru dan para murid, mereka saling bergandengan tangan dan tersenyum.
Seolah mengumumkan bahwa mereka telah—dan selamanya—akan saling memiliki dan membahagiakan. Sebuah ikrar tak terucap, tapi nyata berlatarbelangkang tepukan meriah anak kelas dan suitan nakal teman-teman dekat mereka.
Dan sekarang ...
... mereka masuk fase rawan. Ryan benar-benar mendiamkannya. Padahal kalo pun ada konflik, mereka cepat berbaikan, cepat telponan, dan saling memaafkan kembali. Lagipula, apa salahnya cemburu? Nana membenarkan dirinya. Ia masih linglung kenapa pacarnya diam-diam menyembunyikan perempuan tersebut—padahal dari postingan si cewek, mereka jelas kelihatan sangat akrab.
Nana tidak mau kejadian lalu terulang kembali.
Lantas, dalam demam cintanya, ia mendapati DM di Instagram: Hai, lagi galau?
Namanya Aji, dan Nana mengenalnya di dunia maya sebagai anak yang senang mengomentari instastory-nya. Termasuk story galaunya tentang hubungan. Cepat Nana membalas, lebih kilat lagi Aji memberi tanggapan.
"Kenapa?"
"Galau aja."
"Mau kubeliin makanan?"
"Gak ah, ngerepotin."
"Serius."
Nana tidak menjawab. Dan ternyata hal itu sia-sia karena sejurus kemudian, pesan lain masuk: aku bawa kebab, jemput depan rumah gih.
Nana tidak bisa menolak. Ia paling tidak bisa merasa jahat dan kasihan karena Aji telah capek-capek membelikannya makanan. Malu-malu, cowok itu menyodorkan kebab berbungkus kertas ke tangan Nana dan langsung pergi begitu saja.
"Makan ya, cepat baikan." Cowok itu melambaikan tangannya, amat manis bila dilihat langsung daripada menatap foto-foto Instagram-nya.
Itu hal terindah yang Nana dapatkan setelah beberapa bulan pacarnya sibuk di tanah orang dan ia mulai merasa kesepian. Diam-diam, Aji semakin rajin memberi DM ke Nana, lalu hubungan berlanjut ke Whatsapp.
Mereka semakin dekat, dalam artian nyambung, apalagi Aji orangnya perhatian dan romantis. Valentine kemarin Aji memberi kejutan dengan mengirimi Nana sebuket bunga dan cokelat. Hal yang tidak pernah didapatkannya semenjak dua tahun lalu, pacarnya merantau dan valentine hanya dirayakan dengan telpon berdua.
Tidak tidak tidak, Nana coba menghapus Aji dari pikirannya. Ia tidak boleh terpengaruh. Aji cuma nyari-nyari kesempatan, apalagi ia dan Ryan sedang konflik. Perang dingin terlama dengan rekor tidak berkomunikasi selama sepuluh hari!
Bagaimana kabar Ryan di sana? Nana kelimpungan. Ia takut Ryan jadi semakin dekat dengan si cewek-ngaku-cuma-teman. Tapi Nana gengsi menghubunginya duluan. Karena dialah yang pertama memutuskan untuk 'berhenti memberiku pesan'. Sekarang Nana menyesalinya, ia ingin Ryan ada di sisinya, mengoceh, menelpon berjam-jam. Apapun, bahkan gambar tangannya saja sudah mampu membuat Nana menangis haru sekarang.
"Hai, jalan yuk."
Aji mengirim pesan. Padahal Nana berharap mati-matian itu dari Ryan.
Kesal, dilatari niat pelampiasan. Nana mengiyakan dan ia berdandan cantik untuk cowok lain, cowok selain Ryan—pacar dua tahun sembilan bulannya.
Di kafe terapung mereka duduk berseberangan, saling memperhatikan. Aji orangnya malu-malu, dia selalu menunduk, dan bingung harus memulai percakapan dari mana. Mudah tersipu. Membuat Nana merasa dirinya masih memiliki pesona dan ia senang demikian. Mereka makan dalam hening, mengobrol tentang kampus, keluarga, dan kehidupan masing-masing.
Kadang saat sibuk mengunyah, Aji menatap Nana lamat-lamat seolah hendak menyesap setiap senti pemandangan indah tersebut pelan-pelan.
"Kok liatin?" Nana bertanya, risih.
"Habis, kamu cantik banget."
Nana melayang. Baru kali ini hatinya kembali meletup-letup dalam kembang api keriangan. Ia hampir goyah, hampir membiarkan tangan Aji menyentuh tangannya yang tergeletak di atas meja. Tapi Nana teringat Ryan, ia ingat masa-masa manis mereka selama dua tahun, meski diselingi duka. Kenangan akan kemenangan KIR begitu membekas hingga sanggup membuat Nana menarik tangannya dan pura-pura mengecek smartphone.
"Jadian yuk?" tanya Aji, lebih seperti tantangan. Seolah ini saatnya bagi Nana untuk balas dendam, untuk membuat Ryan panas dengan kemesraannya bersama laki-laki lain. Dan ...
"Maaf, aku udah punya pacar." Nana tidak mampu menyelingkuhi Ryan, sebenci apapun dia sekarang.
"Diam-diam aja." Aji ngotot. Nana tercenung. Tubuhnya membeku menunggu ucapan selanjutnya. "Pacaran kalau galau terus-terusan, mending dihindarin. Kamu selama beberapa hari ini gak ada yang bagus statusnya."
"Cuma galau biasa kok."
"Apanya yang biasa sampai berhari-hari?"
Iya, apa yang biasa dari masalah berlarut-larut ... Nana terdiam. Ia masih gamang antara ingin maju mencicipi api, atau mundur dan menyelamatkan diri.
"Aku gak papa."
"Kalo gak papa, kenapa mau jalan sama aku?"
"Karena ... aku ..." Nana tidak bisa melanjutkan kata-katanya, ia ingin berteriak bahwa ia butuh Ryan sekarang. Tapi tidak bisa, pacarnya sekarang jauh di Surabaya. Dan sedang dekat dengan seseorang.
Gelegak pedih itu kembali naik. Nana segera berkemas dan menyimpan smarthphone-nya ke dalam tas. "Aku mau pulang."
"Buru-buru amat."
"Kalau gak mau nganterin, aku pulang sendiri."
"Oke aku antar." Aji menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Menarik napas panjang dan mengembuskannya keras-keras. "Aku bayar dulu."
****
Nana langsung pergi dari boncengan motor Aji tanpa memberi salam apa-apa dan lari ke kamarnya. Tepat saat itu juga, Ryan menelpon. IYAA! Ini benar-benar Ryan! Nana hampir mengeluarkan air mata—terlambat, ia sudah menangis sekarang.
"Halo?"
"Kamu kenapa lama?"
"Na, kok suaranya sengau?"
"Pilek," jawab Nana, pura-pura kesal. Padahal ia tengah tersenyum lebar dan jingkrak-jingkrak ringan sambil melempar tubuh ke atas ranjang.
"Maaf ya, yang kemarin," Ryan memulai pidatonya, seolah sedang menghapalkan teks. Ia menarik napas kembali. "Aku salah. Aku gak jujur."
"Oke."
"Oke doang?"
Nana tidak tahu harus berkata apa lagi, semua amarahnya lenyap. Ia benar-benar rindu suara itu sekarang, suara pacarnya, yang selalu menemaninya dalam susah dan duka.
"Maaf gak ngubungin, aku takut ganggu kamu. Aku takut kamu bakal marah, dan kayaknya butuh waktu."
Bodoh! Nana berteriak tanpa suara, tapi seketika berganti kikik geli dan ia memeluk guling dengan gemas. "Aku udah baikan kok."
"Serius?"
"Hmm-mm."
"Syukurlah."
"Janji, jangan nyimpen rahasia macam-macam lagi!"
"Iya, iya." Ryan menyaut patuh, Nana bisa membayangkannya ngangguk-ngangguk di sana.
"Kamu udah makan belom?"
"Udah. Makan nasi sama ayam."
"PAP mukanya dong, tangan deh tangan."
"Kenapa sih, tumben?" Ryan terdengar menebak.
"Gak papa, pengen aja." Nana masih cekikian geli. "Aku sayang kamu."
"Sayang juga." Ryan menyisipkan banyak sekali emoji cinta, tapi Nana tahu, sebanyak apapun emoji tidak bisa mewakili jumlah cinta mereka sekarang.
[Tamat]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top