Kutukan Rasputin
Genre: Historical Fiction | Jumlah kata: 1795 | created at -
An ingin mati sebagai pejuang. Tetapi di masa perang, perempuan sepertinya cuma bisa mengekori prajurit sambil membawa bendera palang merah dan perban. Kalau pun sempat berhasrat jadi petugas medis, hal itu sudah pasti pupus di perang Krimea sejak melihat seorang gadis bangsawan Inggris menasbihkan diri membantu korban luka-luka. Cih, sementang orang kaya semua memuja-mujanya.
Tidak seperti dirinya yang cuma anak buruh petani. Hidup seolah mengharuskan An untuk selalu merasa susah, kalau pun dia bahagia, itu pasti karena Rusia kalah perang dan harus berhenti menyerang tanah orang lain, sekarang! Sudah cukup masa paceklik yang membuat An sekeluarga mengulum rumput dan memakan keju busuk. Sementara bangsawan yang memiliki tanah berhektar-hektar, tidur bergelimang kehangatan sambil minum susu madu dan makan daging sapi muda berbalur rempah-rempah.
"Ini tidak adil!" An berorasi, di atas meja kayu lapuk yang terbenam kegelapan. Lilin cuma menerangi separuh atas tubuh An. Memperlihatkan bayang-bayang masam dan wajah ingin makan manusia. "Kakak-kakakku ke medan perang sebagai tentara. Diiming-imingi kehormatan setelah menang. Nyatanya mereka mati dan tidak pulang walau sudah menjadi mayat."
Ayah An—pria tua berjanggut putih datang mendekati meja—berusaha memenangkan anaknya yang bergejolak. "Yang penting mereka sudah berusaha demi kekaisaran."
"Itulah!" An meloncat turun, wajahnya semakin kaku dengan rahang mengeras. "Ayah Ibu sama saja, selalu pasrah merelakan harta, tenaga, dan keluarga untuk orang lain."
"Kita bisa apa?" tanya sang Ibu, gaun lusuhnya bertambal-tambal, dilapisi pula dengan selimut kumal yang rompal. Musim dingin mencekik sementara kelaparan menunggu bagiannya dengan sabar. Padahal An dengar sebulan lalu di Istana Musim Dingin Sankt Peterburg, para bangsawan berlomba-lomba memakai pakaian termahal dalam pesta dansa memeringati 290 Dinasi Romanov: kaftan berbrokat emas, sundress disulam batu mulia, kokoshnik tersemat di kepala berhiaskan perhiasan terbaik, dan topi bulu bergaya boyar.
Membayangkannya saja An semakin berang. Ia berharap Romanov sekeluarga dilanda kutukan karena bersenang-senang di atas penderitaan rakyat jelata. "Kita bisa melawan," tandas An.
Tetapi ibunya berpikir lain, "melawan hanya akan membuat kita dijatuhi hukuman. Kita bisa mati, An. Cukup anak laki-lakiku yang pergi, kamu jangan," tangisnya. An tidak peduli, tangan kapalannya meninju meja seolah memvonis jalan hidupnya sendiri.
"Aku yang akan mengejar kematianku, bukan sebaliknya."
****
Jadi An mendaftar palang merah dan pergi ke berbagai perang. Ia berangkat dengan truk kasar yang suara mesinnya memekakkan telinga. Bersama gadis-gadis lugu yang tampaknya jadi relawan karena janji manis pemerintah, atau mungkin bosan menggarap tanah. Di Krimea semangat medis An luntur. Di pelabuhan Baltik tempat orang-orang sipit dari negeri matahari terbit menghadang, Rusia kalah dan membuat Tsar Nikolay I terpaksa tidak mengadakan pesta dansa lagi seumur hidup.
Kekaisaran dilanda petaka, tetapi mereka masih kaya raya sementara buruh tertekan pajak dan harta mereka satu-satunya hanya tanah yang disewakan para bangsawan berabad-abad. An ingin mati bukan dalam keadaan miskin apalagi kalah, jadi dia keluar dari palang merah dan pergi mencari cara mati yang elegan: bunuh diri sambil meninggalkan teka-teki menuntun keberadaan mayatnya. Jadi An pergi ke Mokswa, kota kebudayaan yang konon menjadi pusat beradaban Rusia.
Di Moskwa terasa sepi dan mencekam. Perang membuat urat semua orang menegang, buruh pabrik dan petani sama saja susahnya. Bersepeda ke tempat kerja, bekerja belasan jam, dan diupah murah setelah mencetak ratusan roti dalam sehari. An bekerja di pabrik tekstil dan harus menjahit berlembar-lembar kain menjadi satu bagian. Sementara para perempuan datang dan pergi dengan berbagai alasan: dapat pekerjaan baru, menjadi istri yang baik, atau mati tertelan jarum jahit.
Demi menenangkan otak yang panas, An jalan-jalan di sepanjang sungai seberang gedung-gedung Kremlin yang megah. Pagar berupa dinding batu bata merah mengelilingi gedung berpucuk lancip dan berkubah. Salib berdiri tegak menantang langit, seakan tetap kokoh meski karat dan cuaca memakannya sedikit demi sedikit.
"Kalau di sini, aku bisa mati bosan," An kembali merenung. Jadi ia memutuskan pergi lagi ke Sankt Peterbug yang jaraknya tujuh ratus kilometer ke selatan. Tempat keluarga Romanov berkuasa setelah memindahkan ibu kota berkali-kali. An pun menumpang truk tentara, menjajakan roti atau tenaga kasar di ladang gandum. Dari musim panas ke musim salju, ia berkelana seorang diri menjajakan tenaga dan usia muda kepada mereka yang membutuhkan. Sampai akhirnya ia tiba di gerbang kota.
Sankt Peterbug tidak seaman kelihatannya. Pohon-pohon meranggas tertinggal ranting di atas kepala pria botak berkumis. Tentara lalu-lalang membawa senapan sambil sesekali menatap tajam warga kota yang berperang dengan benaknya sendiri. Istana Musim Dingin berdiri megah di tengah kota, dikelilingi lapangan luas dan rerumputan beku berwarna putih. An mendapati betapa cemerlangnya kilau lampu di dalam ruangan sana.
"Pendatang baru?" tanya seorang pemuda, rambutnya cokelat kayu ditutupi kupluk kumal yang entah warna aslinya abu-abu atau sebelumnya pernah hitam. Hidungnya bengkok dengan senyumam bergigi kuning yang manis. An seketika mengangguk membalas.
"Kita akan melakukan revolusi."
"Eh?"
Tepat setelah pertemuan pertamanya yang membingungkan, sekumpulan warga marah muncul dari balik sela-sela gedung sambil membawa senjata tajam dan senapan curian. Seluruh tentara bersiaga di depan istana. An terjebak, ia terdorong dan terlempar ke tepi kekisruhan sambil menutup kuping dan berlari. Telinganya pekak dihantam detus senapan, tubuhnya ngilu digebuk tubuh-tubuh haus peperangan. Berjam-jam kemudian kebakaran terjadi di halaman Istana Musim Dingin dengan puluhan orang tergeletak luka-luka juga mati.
Esoknya berita menyebar, kekisruhan tersebut memicu pergerakan dalam pemerintah. Rakyat sudah lelah dijajah bangsawan sementara kekaisaran sibuk berperang ke tepian. An yang tidak tahu apa-apa terpana pada beberapa orang yang menguasai kota di atas podium, berdiri memekikkan pidato pengobar semangat. Ada seorang bapak berkumis botak yang menyerukan "Kaum buruh, bersatulah!" sementara pemuda lain menggerakkan golongan yang lebih tenang untuk mengambil alih pemerintahan secara diskusi.
Pada akhirnya An yakin negara memang akan musnah lebih cepat. Mati dalam kekalahan bukan prioritasnya. Ia memutuskan pergi berkelana lagi ke kota yang lebih tenang.
****
Yekaterinburg, bertahun-tahun kemudian An mendapati orang salah menyebutnya sebagai Anastasia. Padahal ia tidak punya hubungan darah apa-apa dengan anak keempat mantan kaisar. Setelah Minggu Berdarah di depan Istana Musim Dingin, kekaisaran dipaksa turun untuk digantikan dengan konsep pemerintahan yang lebih modern: mengedepankan demokrasi. Karkensky menjadi pemimpin parlemen yang membawahi perwakilan rakyat dalam kumpulan dewan bersama bangsawan.
Sayangnya, pemerintahan tersebut berjalan lambat mengabulkan keinginan rakyat yang ingin punya tanah sendiri. Akhirnya Karkensky digulingkan Stalin, dan keluarga kerajaan harus mengungsi dari satu mansion ke mansion lain menyelamatkan diri.
Kabar di jalanan berkata, mereka menetap di gedung Ipatiev yang berdiri di tepi kota bekas seorang pemilik peternakan. Sebelumnya An bekerja di peternakan tersebut sebagai pemerah sapi dan pencukur bulu domba. Namun beberapa hari kemudian dia diundang ke gedung tersebut untuk jadi pelayan dapur yang menyiapkan roti berwijen hangat setiap hari.
Hari itulah ia bertemu keluarga kekaisaran untuk pertama kali, sengsara tetapi berusaha semangat. Mereka selalu berpelukan dan membisikkan kata-kata manis agar tidak risau akan kematian. Bungsu mereka, Aleksei selalu pucat dan tidak bisa terkena sinat matahari pagi. Kulitnya lebam-lebam, jatuh sedikit dan ia akan pendarahan lama sampai seluruh daya hidupnya semakin sedikit.
Meski demikian, Nikolay dan Alexandra tetap mencintai anak terakhir mereka penuh kasih. Sebab kelahiran Alexei sangat dinanti sebagai penerus tahta. Nikolay bahkan pernah pergi dari kota beberapa hari menenangkan diri setelah kelahiran Anastasia, karena mendapatkan bayi perempuan.
Sekarang kekaisaran itu sudah tidak ada lagi.
Tidak perlu ada yang dikecewakan. Nikolay menjaga anak dan istrinya agar tidak sembarang keluar rumah karena sehari sebelumnya, Anastasia tidak sengaja membuka jendela dan mendapat tembakan yang nyaris mengenai kepalanya.
"Mereka hampir membunuhku!" pekiknya.
Tetapi para tentara berkilah mereka hanya memberi peringatan pada Anastasia yang ingin kabur dari tahanan rumah. An marah, tetapi betapa pun berangnya, ia tidak bisa berbuat apa-apa dan tetap jadi pelayan patuh membersihkan kasur para putri dan memandikan Alexei.
Kadang kepala detasemen, Yakov Yurovsky datang memeriksa keadaan. Seluruh keluarga Tsar berkumpul dengan tampang murung. An tidak ingin muncul menyuguhkan apa-apa. Dan Anastasia memberi perlawanan kecil dengan menjulurkan lidah saat orang tua itu tidak melihat.
Esoknya seorang pendeta didatangkan. Dulu Alexandra bercerita bahwa mereka punya rahib sendiri bernanya Grigory Rasputin, seorang suci, darinya Tuhan memberi petunjuk pada keluarga mereka dan membantu Alexei melawan penyakitnya. Sayangnya, pengasuh jahat Sofia Ivanova, menuduhnya telah melakukan tindakan amoral kepada putri-putrinya. Padahal Grigory hanya masuk ke kamar tidur mereka dan memberi berkat.
Karenanya Nikolay mengusir Grigory dari Sankt Peterburg, dan konon ia menjadi orang terpandang di Yerussalem, tempat kelahiran Tuhan. Atau mungkin mati dibunuh demonstran.
"Ini kutukan. Semua bencana ini kutukan Grigory karena kami menghinanya dengan pengusiran," tangis Alexandra. Teh hangat dan selimut tenun tidak bisa menenangkannya. Pendeta baru hanya mampu memberi doa dan harapan-harapan palsu.
Tsar sekeluarga tahu akhir hidup mereka dan bersujud tersaruk-saruk. Bahkan Anastasia yang ceria, yang rambutnya pirang pekat seperti kebun stroberi di musim semi, jatuh berlutut menangisi kekalahan keluarganya. Tidak ada bait suci dari alkitab yang mampu membangkitkan mereka. Doa dan nyanyian pujian lenyap. An bahkan merasakan ruang peribadatan mereka sesunyi pemakaman yang ditinggalkan peziarahnya.
"An, kemari." Maria memanggil dari kamar tidur. Ia membuka peti pakaiannya dan memperlihatkan berlian, safir, ruby yang tersembunyi di balik baju-baju kumal. "Bantu aku menjahitkan ini ke korset."
An membantu melepas untaian rantai kalung dan pernak-pernik gaun. Bersama Olga, Tatiana, dan Maria: mereka menjahit ulang korset agar semua benda berharga tersebut berada di baliknya. Seakan ini satu-satunya harapan agar nanti, ketika mereka berhasil keluar, mereka masih punya harta untuk menyogok penjaga perbatasan dan pergi ke negeri asing.
Namun yang terjadi, An diusir dari rumah. Suatu pagi yang tenang di musim semi, seluruh tentara datang memberitahu bahwa keluarga Tsar akan pergi ke tempat persembunyian lain. Menghindari polisi rahasia dan tentara Bolshevik yang masih membenci mereka.
An berpisah, mendadak merasa kosong dan hampa. Pemandangan terakhir di gedung Ipatiev hanya satu keluarga yang digiring ke ruang bawah tanah dan wajah sendu Anastasia yang pedih menatapnya: seakan berkata, kami baik-baik saja.
****
Lain kali An akan berhati-hati ketika menginginkan sesuatu. Berita kematian keluarga Tsar merebak secepat api memakan jerami kering. Orang-orang berpesta pora, merayakan pemerintahan lama yang telah luluh lantak diganti ideologi baru.
An tidak ingin bahagia atau sedih untuk siapa-siapa. Ia pergi tanpa arah ke bar murah yang terbuat dari kayu lapuk, nyaris ambruk. Di dalamnya petani dan tentara mabuk air berwarna kuning jernih yang pahit dan nyaris setengik kencing kuda. Gadis itu menginginkan kedamaian. Tidak mau tenggelam dalam kesepian. Duduk bersebelahan dengan tentara sempoyongan yang tampak menyiksa diri ketimbang menikmati bir.
"Aku membunuh mereka ...," racaunya. "Aku membunuh yang perempuan. Kupikir mati ... peluruku ternyata memantul di dadanya ... korset ... dilapisi berlian seperti zirah ... pintar. Aku nyaris meninggalkannya hidup."
"Siapa?"
"Entahlah." Tentara itu mengambil gelas belingnya lagi, meneguk habis sampai tetes terakhir. Lantas menghantamkannya ke atas meja, menyesal. "Aku menusuknya ... menghantam kepala bagian belakang, ia mati-matian melindungi si kecil lemah penyakitan."
"Maria?"
Si tentara merenung, "rambutnya berwarna pirang stroberi."
An tersenyum. Bahkan dalam matinya Anastasia masih berjuang. Tidak seperti An yang sibuk kabur dari satu tempat ke tempat lain. Tanpa status ia aman, tanpa ideologi ia tidak dimusuhi siapa-siapa. Namun itu membuat kehidupannya tidak punya tujuan. Jadi An bangkit berdiri dan membayar minuman si tentara sebagai rasa terima kasih.
"Mau ke mana?"
"Menjemput kematianku sendiri."
[TAMAT]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top