Hitam
Genre: Drama-Romance | Jumlah kata: 1503 | created at -
Hitam.
Warna yang melambangkan duka. pada sebuah pemakaman di musim hujan. Berderet-deret orang menunduk—seakan-akan—sedih pada pusara kakekku. Ada yang terisak, ada yang hanya memasang wajah datar, sisanya bosan tak berkesudahan. Bahkan ada yang mengecek arlojinya secara berkala: tidak sabaran mendengar ocehan pemuka agama yang memimpin acara berdoa.
Tanah yang lembek, gerimis yang turun, dan di antara payung-payung yang sewarna pakaian para hadirin—hitam pekat penuh keanggunan, kutemukan dirimu terselip di antara wajah-wajah tua bau tanah.
Seila.
Ingatanku kembali ke hari kita masihlah sepasang bocah, ingusan, selalu penasaran, dan sering kena omelan. Kerap kulihat kau selalu memakai pakaian berwarna hitam—kalau bukan gelap. Yang dengan alasan klise kau menjelaskan, "Aku suka hitam biar gak cepat kotor."
Namun semakin besar, kau pun beranjak menjadi remaja tanggung yang manis. Sisa-sisa keluguanmu luntur, tergantikan obrolan seputar cowok dan gosip anak-anak cewek.
Tapi masih, hitam itu terus melekat tanpa ampun ke tubuhmu. Mulai dari tas, bando, aksesoris, celak, sampai ke sepasang bola matamu yang dalam—seolah menarikku ke palung tak berujung.
Semakin lama, kau pun tumbuh menjadi gadis yang cantik. Pernah suatu kali aku memergokimu sedang sendirian di galeri sekolah. Sedang sibuk mencampur adukkan warna di atas pet, mengambil kuas, lalu beranjak dan—DOR! Kau terpekik kaget, pet di tanganmu hampir jatuh. Dengan kesal kau memukul tanganku, mengeluh jantungmu mau copot. Kupikir yang jantungnya terancam lepas adalah punyaku. Apalagi melihat senyum sebalmu yang imut itu.
Seperti biasa kau mendekam di dalam ruang galeri sejak kelas XI. Kau ketagihan dengan seni. Ini semua karena sebuah lukisan yang dihadiahkan Papamu sebagai penyesak dinding kamar—menurutku. Namun bagimu, lukisan itu adalah anugerah, cinta juga kasih sayang (sumpah aku tidak mengerti di bagian mananya).
Lukisan itu dilukis di atas kanvas berwarna hitam. Menggunakan cat-cat berwarna putih dan kadang suram, kau melihatnya sebagai sebuah gambar yang melambangkan sesuatu. Seekor kupu-kupu cantik di tengah nuansa hitam. Kadang kau menatap lukisan itu lamat-lamat, jelas pikiranmu terlempar ke beberapa tahun silam.
Sudah menjadi rahasia keluargamu dan diriku bahwa Mamamu adalah bekas seorang pelacur. Dahulu, wanita itu selalu membiarkan kumbang-kumbang bejat mengisap manis harumnya. Sampai suatu hari, ia bertemu dengan Papamu. Lantas keduanya saling jatuh cinta dalam hubungan aneh penuh pertentangan.
Awalnya, Papamu enggan menikah dan memiliki hubungan yang serius. Ia takut akan segala konsekuensi yang ditanggungnya kelak. Namun Mamamu adalah wanita dewasa yang baik hati. Dengan gigih ia membujuk Papamu dan berjanji, semua akan baik-baik saja asal mereka selalu bersama.
Sampai akhirnya, kupu-kupu itu mekar dan menjelma sosok wanita anggun nan mempesona di hari pernikahannya. Apa yang dahulu berupa suram, gelap, dan tanpa masa depan. Kini menjadi cerah dan penuh harapan.
Sejak tahu hal itu kau mulai mengagumi Mamamu, selain warna hitam, kau sangat menyukai sifat teguh yang dimilikinya. Bahkan sampai wanita itu terbaring lemah di rumah sakit karena kanker rahim, Mamamu tetap tersenyum dan tidak menampakkan sakit sedikit pun.
Hingga akhirnya sebuah pemakaman terjadi. Kau melihat orang-orang memakai pakaian serba hitam, membawa karangan bunga berwarna putih, dan meletakkannya di dekat kuburan sang Mama. Menurutmu, wajah duka, warna hitam, dan jejeran putih bunga-bunga kematian adalah perpaduan antik yang hanya kau ingat dalam sosok Mamamu. Wanita cantik di tengah kelamnya kehidupan malam. Layaknya kupu-kupu di tengah nuansa gelap.
"Karena dari kegelapan rahim, manusia lahir. Dari lautan terdalam, ikan-ikan bermunculan. Dan dari gelapnya tanah, kecambah tumbuh dan membesar. Lihat, bukankah semua kehidupan diawali dari warna hitam?" jelasmu, saat menyapukan kuas dengan lembut di atas kanvas sewarna kau ucap. "Bahkan saat mati pun, makhluk hidup kembali ke rangkulan kegelapan."
Aku hanya bisa terdiam mendengarmu. Angguk-angguk, kemudian mengambil secolek cat putih dan mengoleskannya cepat ke pipimu. Kau pun marah, lalu balas dendam dengan mengotori wajahku menggunakan kuas. Perang cat tak terelakaan, kotor baju kami karenanya. Kau mengerang kesal. Aku tertawa-tawa, bahagia dengan pipi cembungmu. Bikin gemas. Lalu melayanglah sebuah sapuan merah ke jidatku.
Masih dendam rupanya. Sekarang kau yang balas tertawa.
Kemudian kami sadar sunyi telah merangkul suasana. Entah sejak kapan, jarak di antara kami semakin tipis. Kami terdiam, saling tatap dan terus begitu sampai beberapa saat. Baru kali ini jantungku berdegup sangat kencang.
Inilah saatnya.
Kukepalkan tanganku, meremas ketakutan sekuat-kuatnya. Kudekatkan wajahku, merasakan napas kami yang menyatu. Lamat-lamat, hidung kami bertaut. Panas di udara seolah berpusat pada diriku. Kemudian ...
... kau menjauh.
Kau menatapku takut, kaget sekaligus aneh. Tidak pernah kulihat hitam matamu begitu bulat, menganga lebar seolah meneriakkan sesuatu yang tak bersuara. Pet di tanganmu bergetar. Kau memalingkan wajah. Lantas berkata bahwa sebaiknya hubungan kita tetaplah seperti ini. Sahabat selamanya.
Duniaku langsung tertutup selubung hitam yang pekat.
****
"Hai," sapaku. Kau menatapku sesaat, kemudian diam dan akhirnya menganga nyaris teriak. Jika saja ini bukan acara pemakaman, tentu kau sudah bersorak. Percakapan basa-basi terlontar, sudah hampir sepuluh tahun kami berpisah. Saling tanya bagaimana kabar.
Kau pun menghela napas, berkata bahwa nasibmu beginilah adanya. Semua terjadi saat acara kelulusan. Di hari pesta perpisahan, lukisan-lukisan berkanvas hitammu menghiasi ruang pertemuan. Banyak yang berminat, sampai akhirnya seorang bapak-bapak menawarkan beasiswa seni untukmu.
Kau senang bukan kepalang. Lompat-lompat sambil memamerkan amplop putih kepadaku. Kesal rasanya mengetahui kau akan pergi jauh, bahkan Papamu juga begitu.
Tapi kau bersikeras. Bertekad menjadi perempuan yang mandiri. Papamu pun menyerah, ingat bahwa keteguhan ibunya telah mengalir ke dalam darah anaknya. Aku pun sama, tak mampu lagi membujuk apalagi memaksamu untuk tetap tinggal di sini.
Lantas di hari keberangkatan, aku dan Papamu mengantarmu ke bandara.
Langit mendung dan menjurus ke gelap. Padahal masih pagi, tapi rasa-rasanya seperti malam yang diterangi sepuluh bulan. Papamu yang sedang menyetir terus menyerangmu dengan rentetan nasihat dan petuah. Jangan ini, jangan itu, dan jangan ini-itu.
"Iya, Pa!" balasmu kesal di akhir setiap nasihat. Cemberut mewarnai pipimu yang cembung.
Aku hanya terkekeh pahit, ingat bahwa hanya di hari ini aku bisa bersamamu. Entah kapan kita bertemu lagi. Aku sendiri sebenarnya ingin mengikuti jejakmu, tapi apa daya, aku tak memiliki bakat yang cukup untuk dibeasiswakan.
Sampai di bandara, kau beranjak turun duluan dengan tidak sabaran. Langsung meluncur ke bagasi belakang dan mengambil koper hitam besarmu. Sekilas, orang-orang yang melihatmu akan berpikir kau sedang pergi ke tempat duka. Serba hitam. Dress, sepatu, bletzer, gelang, dan lain-lainnya. Bahkan celak matamu lebih pekat dengan sapuan maskara yang sama. Seolah kau adalah malaikat maut yang menggiring seseorang ke kematian terindahnya.
Aku terkagum saat mendapati sosokmu naik ke atas tangga. Memandangiku yang berada di bawah. Cantik sekali. Tersenyum, seolah kepergianmu bukanlah hal yang pantas disesali.
Pesawat yang menjemputmu akan tiba beberapa menit lagi. Inilah saatnya. Kugenggam tanganmu setelah kau menangis sesenggukan dalam pelukan Papamu. Mengajakmu ke tempat yang lebih sunyi. Mengaku, bahwa aku mencintaimu.
Kau tersenyum, lalu air matamu jatuh semakin deras. Kau segera mengelap ingusmu dengan punggung tangan. Celak itu hampir luntur, tapi kau berjuang sekuat tenaga agar tidak rusak. Lalu kau memelukku erat, seperti kakak kepada adiknya.
Begitu pula perasaanmu padaku sebenarnya. Aku pun menerima, mengaku kalah pada perasaan bertepuk sebelah tangan.
Akhirnya bel tanda pesawatmu tiba berbunyi. Kau menarik kembali semua kesedihanmu dengan susah payah. Berusaha tegar dan kuat. Ini bukan perpisahan yang lama, katamu. Jadi tidak boleh ada kata selamat tinggal.
"Karena selamat tinggal hanya untuk perpisahan selamanya."
Mendung semakin gelap. Awan tebal tak henti-hentinya berkumpul dan menutupi cerah langit. Pesawatmu lepas landas. Dalam bayanganku, kau sedang melamba-lambai di dalam sana.
Perjalanan pulang, aku berpikir, mungkin ini cuma sesaat. Mungkin waktu belum menyadarkan hatimu yang sebenarnya.
Setelah mengantarku, Papamu tiba-tiba memberikanku sebuah papan persegi panjang yang dibungkus kertas koran. Katanya, itu hadiah perpisahanmu untukku. Kau tidak sanggup memberikannya langsung kepadaku karena takut akan sedih.
Sampai di kamar, kubuka bungkusannya. Sebuah lukisan berkanvas hitam. Denganmu dan aku di dalamnya. Hei! Rasanya aku pernah meilhat pose ini. Kita berdua, memakai setelan resmi dan saling berdiri bersisian. Kau memakai gaun warna hitam, sedangkan aku memakai setelan tuxedo warna putih. Gambar yang seingatanku hanya terjadi saat acara perpisahan beberapa bulan lalu.
Guratan lukisanmu sangat halus, meski gaunmu nampak tenggelam dalam kanvas warna hitam, wajahmu masih saja cantik dan memukau. Seolah hitam takkan pernah menyamarkan pesonamu.
Aku semakin jatuh cinta.
Kemudian teleponku berdering.
"Halo." Itu suara Papamu.
"Ya, om?"
"Pesawat yang ditumpangi Seila ..." jeda sejenak, suara Papamu kalut, berantakan juga hancur. Kata-kata selanjutnya terdengar kabur dan buyar. Hanya kata "jatuh" yang sempat kutangkap sebelum menutup telepon dengan gemetar.
Untuk kedua kalinya, aku tenggelam ke dalam lautan hitam yang lebih pekat. Aku berdiri gamang dengan tubuh menggigil dan dada yang hampir meledak. Tenggorokanku sakit, terganjal pil pahit yang besarnya mungkin sekepalan tangan. Bersandar pada dinding, aku menatap kembali ke lukisan buatanmu.
Saat itulah tangisku pecah seketika.
Pemakamanmu dilaksanakan. Tanpa perintah, orang-orang memakai pakaian berwarna hitam, warna favoritmu. Tanah yang becek karena hujan, tak menyurutkan niatku untuk mengantarmu ke pembaringan selamanya.
Dalam kepalaku berputar-putar ingatan tentang kita, masa kecilmu yang ingusan, aksesoris serba hitam, lukisan berkanvas hitam, gaun hitam perpisahan, dan pakaian terakhir yang kau kenakan di bandara. Hitam adalah warnamu, yang kemudian pergi naik ke atas tangga bersama senyum yang tak patut disesali. Sampai akhirnya hitam merenggut dan mendekapmu selamanya.
"Bahkan saat mati pun, makhluk hidup kembali ke rangkulan kegelapan."
[Tamat]
Catatan Pengarang:
- Cerpen ini pernah dipublikasikan di media GoGirl Magazine dengan judul 'Hitam yang Memelukmu'.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top