Tujuh belas

Sebelum Atta ke Australia, tentu saja aku mau merayakan kepergiannya, aku dan rekan-rekan se-departemen membuat acara farewell party buat Atta, di salah satu resto yang ada di mall.

Acara farewell party untuk Atta berjalan lancar, ia banyak dapat kado dan juga kenang-kenangan dari kami semua.

"Abis ini, kita mabuk ya Ca?" Bisik Atta.

"Siap!" Hanya itu balasanku.

Fadlan, selaku bendahara acara party ini sedang mengurus pembayaran dan lain sebagainya. Sedangkan teman-teman yang lain sudah pulang.

"Caw nih kita?"

"Bye-bye dulu dong ke Fadlan." Kataku.

"Oh iya, yuk!"

Setelah berpamitan, aku dan Atta berjalan menuju parkiran. Saat berjalan sambil melihat kiri-kanan, mataku menangkap sosok yang kukenal.

Arya, sedang berjalan bergandengan tangan dengan perempuan lain, terlihat mesra. Dan... bukan, perempuan itu bukan Jess.

"Ta, liat deh, arah jam 2." Kataku.

"Hah? Siapa tuh?"

"Itu Arya, yang gue ceritain suka makan bareng sama gue, yang gue kira gue sama dia PDKT-an."

"Digelendotin cewek gitu sih dia?" Ujar Atta.

"Tahu tuh, padahal gue kira dia oke loh, udah ampe nanya kriteria cowok lagi."

"Ah elah, yang udah lamaran aja bisa gagal apalagi yang baru PDKT? Daah kita minum aja!"

Aku mengangguk.

Ya ampun, padahal aku sama Arya masih rajin chat-chatan lohh. Bahkan siang tadi aja aku sempet bilang kalau aku ada acara sama anak-anak kantor, dan dia bilang kalau Sabtu ini ia akan diam di apartemennya, membaca buku yang belum ia selesaikan.

Tahunya apa? Tukang ngibul dasar!

"Lo tahu Ca apa yang gue liat sekarang?" Tanya Atta tiba-tiba, ia sudah menghabiskan 3 gelas minuman.

"Apa? Cewek? Yang mana?" Tanyaku.

"Bukan! Ini tentang lo!"

"Gue kenapa?"

"Yeah, dari mata gue, yang gue liat lo sekarang glowing Ca!"

"Emmm, skincare gue emang baru!"

"Bukan itu, dodol ihh!"

"Terus apa? Lo nih yaa, mabuk ngomongnya jadi gak jelas."

"Lo sejak pisah dari Nico, lo makin bersinar Ca, bagus tuhh, artinya dia bukan orang yang tepat di hidup lo! Yang gue liat, lo sekarang jadi banyak eksplor, lo masak, lo akting! Keren Ca, bahkan... lo sekarang udah bisa di posisi gue.

"Nikmatin itu, pertahanin, dan... kalau nanti ada orang baru, harus yang bikin lo jadi tambah bersinar, bukannya menghambat lo ini itu ya Ca? Lo harus tetep bertumbuh, begitupun pasangan lo nanti, oke?"

Aku diam sejenak, Atta bener juga, sejak aku pisah sama Nico, banyak hal baik terjadi di hidupku.

"Cowok yang tadi digelendotin cewek, bye, hempas aja Ca, you deserve better!"

"Thank you Ta! Drinks on me tonight!" Ucapku sebagai bentuk terima kasih, dan Atta pun langsung memanggil bartender, memesan lebih banyak minuman.

****

Hubunganku dengan Arya menjauh. Aku sudah sangat jarang ke atas untuk makan siang. Pertama karena aku malas, kedua karena aku ingin mengasah kemampuan memasakku, percuma dong les masak tapi gak pernah masak? Jadi ya aku sering bawa bekal ke kantor. Dan lagi... apa tuh yang Atta bilang kasih kerjaan ke orang, tetep aja ujung-ujungnya aku semua yang harus cek.

Aku gak pernah sadar sebelumnya kalau ternyata kerjaan Atta tuh banyak banget. Sekarang? Aku deh yang merasakan itu semua. Pantes aja Atta anaknya doyan clubbing, mungkin itu salah satu cara dia menenangkan ketegangan soal kerjaan.

Sedang asik makan sambil mengecek kerjaan, ponselku berbunyi, nama Arya muncul di layar.

Aku diam sejenak, bingung harus angkat panggilan itu apa engga.

Menarik napas, aku pun mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo?"

"Aca?"

"Yap, kenapa Arr?"

"Kok kamu udah jarang makan di cafe lagi? Udah seminggu full aku makan sendiri. Kamu juga gak ngabarin aku apapun. Gak bales chat, gak telefon." Ujarnya.

"Aku sibuk, maaf." Hanya itu alasanku. Sebenarnya aku malas. Sejak melihat Arya bersama wanita lain di mall waktu itu, aku merasa perlu mundur. Udah gak ada waktu buatku merasakan sakit hati yang lain.

"Aku turun ke lantai 15 ya, boleh?"

"Ngapain?"

"Aku punya sesuatu buat kamu."

"Emmm, yaudah boleh deh, sini aja."

Panggilan terputus, aku langsung merapikan mejaku yang sedikit berantakan ini. Menumpuk berkas-berkas yang sudah selesai kuurus lalu meletakkannya di atas printer, dan berkas yang belum tersentuh, kuletakkan di atas CPU komputer.

Hanya selang 5 menit dari ditutupnya telepon, kulihat Arya berdiri di depan pintu ruangan ku yang memang terbuka.

"Ayok masuk!" Seruku, ia tersenyum lalu melangkahkan kaki ke dalam, dan... ia juga menutup pintu ruanganku. Lha?

"Boleh gak sih bilang kangen?" Tanyanya,

"Duduk dulu, Arr." Aku berdiri, mempersilakan Arya duduk di sofa dan aku pun duduk di seberangnya.

"Nihh!" Arya memberikan bingkisan yang ia pegang.

"Apa nih?"

"Coklat, sama lain-lain laah, Mamaku baru pulang dari Swiss."

Aku mengangguk.

"Makasih,"

Kini giliran Arya yang mengangguk.

"Kamu puasa apa gimana? Kok gak pernah naik ke atas buat makan?" Tanyanya.

"Sorry, aku bawa bekel jadi makannya di sini deh, sambil ngecek kerjaan."

"Kalau waktu istirahat, ya harus istirahat Ca. Jangan korupsi waktu istirahat kamu untuk kerjaan,"

"Okee, okeee!" Kataku sambil mengangguk.

"Jangan terlalu kerja keras Ca, nanti orang liatnya kamu gak punya kehidupan lain selain kerja."

"Iyaaaaa!"

Mulai kesel nih aku. Iya sih aku tahu yang dia omongin itu bener, cuma nada suaranya itu loh, kayak yang ngedikte banget. Aku tahu, dia kerjanya di kantor yang oke, posisi dia juga mungkin gak main-main. Tapi kan gak bisa bikin dia jadi asal ceramahin ini itu. Apalagi aku yang baru ada di posisi ini, merasa harus menunjukan kalau aku mampu mengendalikan semua kerjaan.

"Eh iya, minggu lalu aku liat kamu di mall," Kataku dengan nada santai, kepalang kesel, udah lah langsung aja semprot.

"Di mall? Di mall mana? Kapan?" Tanyanya, agak sedikit panik.

"Minggu lalu, pas farewell party-nya Atta, kamu keluar dari tempat makan steak." Jelasku, membuat Arya diam lalu tersenyum tipis.

"Sorry," Ucap Arya pelan. Kutatap ia lekat-lekat, dan bisa menemukan perbedaan kalau wajahnya sedikit memerah, sepertinya ia malu.

"Gak usah bilang sorry, Arr. Kamu mau jalan sama siapapun hak kamu,"

"Yeah, tapi kan ini tuh itungannya aku lagi deketin kamu Ca."

Aku tersenyum kecil.

"Kita bisa dekat sebagai teman." Kataku, yeah, aku sudah kehilangan Atta, aku butuh teman lainnya nih.

Arya menggeleng, lagi-lagi ia tersenyum kecil.

"Tapi ya aku kan maunya lebih dari temen, Ca."

Aku menelan ludah, to the point amat ya ni cowok? Kepepet kali ya? Ketauan jalan sama cewek jadi defensif pura-pura suka beneran sama aku biar aku lupa dia jalan sama orang.

"Aku baru putus Arr, aku gimana yaa... kadang masih suka kepikiran mantan. Maaf. Lagi, aku belum tertarik juga untuk hubungan yang menye-menye."

"Kalau aku serius gimana?" Again, pasti dia defensif biar tetep keliatan cowok baik-baik.

"Itu malah bikin aku takut, kita baru kenal,"

"Jadi?"

"Ya gak tahu, mungkin emang kita perlu jarak."

"Sepi dong aku gak ada temen makan siang?"

Aku menarik napas panjang sebelum mengangguk.

"Sorry," Kataku. Kali ini giliran Arya yang mengangguk.

"Tapi aku gak becanda ya Ca, aku emang pengin deket sama kamu, lebih dari temen. Nyaman ngobrol sama kamu tuh, nyambung."

Lha, bukannya semua orang tuh kalau diajak ngobrol nyambung ya? Kapan pernah nemu nanya ke orang 'Kamu kerja di mana?' terus dijawab 'Kiko, enak tauu!' gak ada kan? Pasti jawab yang nyambung kan?

"Yaudah, aku balik ke atas ya, jam istirahat udah mau kelar, gak enak ganggu kamu yang lagi sibuk." Ujarnya, seperti menyindir.

"Oke, Arr. Thank you!" Kataku, ia tersenyum, bangkit dari sofa kemudian keluar dari ruanganku.

Gilak sih gilak!

Baru saja aku menolak cowok potensial, gilak, kapan lagi nemu yang begitu? Tapi ahhh... gak mau aku, dia bohong, dia bilang baca buku di apartemen, taunya apa? Jalan sama cewek lain. Males aku sama tukang bual begitu. Huh!

Tapi.... ah udah lah nanti dulu aja.

******

Selesai mengantar laundry, aku kembali ke kostan, jalan kaki, biar bisa sekalian beli zuppa soup yang jualan dekat sini.

Asik berjalan, aku kaget karena tiba-tiba diklakson mobil, astaga.... padahal aku jalannya dipinggir loh yaa!

Begitu menoleh, mendadak murka aku liat kalau itu mobilnya Josh.

"Yang punya negara lo? Klakson-klakson orang seenak udel begitu?!" Seruku ketika kaca mobil terbuka, memperlihatkan Josh yang tertawa kecil.

"Hahah, ngapain sih lo? Jalan di pinggiran bawa-bawa jinjingan gitu?"

"Ya kalau jalan di tengah udah bukan diklakson lagi, tapi dilindes!"

"Marah mulu lo, ayok sini bareng!"

Karena males jalan, yaudah aku naik, kayaknya nih yaa Josh tuh tercipta buat jadi tetangga yang jadi musuh gitu deh di hidupku. Kesel banget sumpah!

"Dari mana?" Tanya Josh ketika aku sudah masuk. Ia langsung menjalankan mobilnya.

"Laundry, sekalian beli makan sebelum berangkat les! Lo kok gak di resto? Mau jemput gue ya?"

"Dihhh, sok iye lo! Kaga baca email emang lu? Hari ini les libur, gue ada kerjaan dadakan."

"Waah, emang iya?" Kuambil ponselku dari sling-bag kecil yang kupakai, dan benar saja, ada pemberitahuan sesuai yang Josh bilang tadi.

"Ada kan?"

"Iya ada! Emang lo mau ke mana?"

"Sumbawa, ada artis liburan di sana sama keluarganya, pengin gue yang masak."

"Widiwwww!"

Mobil berhenti, kami sudah sampai di kostan, jadi langsung saja aku turun, begitu juga dengan Josh.

"Jadi, weekend lo ngapain dong nih?" Tanya Josh.

"Emmm, gak tahu, gue sih kemaren kepikiran les balet, tapi.... gak deh!"

"Kaya bocah PAUD aja lu,"

"Jihh, ada tahu buat dewasa!"

"Yaa, yaa, yaa terserah!"

"Gue galau antara balet atau Pole-dance,"

"Nah itu aja tuh, kan lo jadi bisa sekalian buat latihan striptease kalo punya pacar!"

Aku diam, kami sekarang sedang ada di tangga lantai dua, pengin banget aku jorongin Josh ke bawah.

"Bener-bener lu ya!" Seruku marah, tapi itu malah membuat Josh tertawa.

"Gini deh, dari pada weekend ini lo gabut, mending ikut gue aja, gue masak lo liburan dah tuh di Sumbawa."

Aku melihat Josh dengan tatapan tak percaya. Anjir lah, bisa begitu?

"Kenapa lu? Kaya liat setan!"

"Elu setannya!" Kutinggalkan ia, lanjut naik tangga ke lantai tiga. Tapi tak berapa lama, Josh sudah menyusulku, kami berjalan sejajar lagi.

"Ayok mau gak? Lo tuh ya marah-marah mulu tahu Ca, kaga ada santai-santainya. Lo butuh liburan, atau ML tiga malem full!"

"Emmm!" Kucubit pinggangnya, kesel banget sumpah.

"Sakit elaaah!" Hanya itu responnya, tapi dia kaya gak keliatan sakit sih.

Sampai di depan kamar, Josh menahan tanganku, membuat kekesalan ku makin memuncak.

"Apa lagi?"

"Yok! Ikut gue, gratis Ca tenang aja, gue dapet slot buat 4 orang, yang ikut gue masak cuma 2, lo bisa isi satu lagi."

"Lo serius?" Tanyaku lagi.

"Absolutely! 100% serious!"

"Gue di sana gak harus bantuin lo masak kan?"

"Iyaa, lagian kalau lo ikutan, bukan bantuin itu namanya, bikin pusing!"

Kucubit ia lagi, kali ini perutnya, dan ia mengaduh yang beneran, bukan dibuat-buat kaya tadi, membuatku tersenyum senang.

"So?"

"Yaudah deh gue ikut!"

"Good! Mana KTP lo?"

"Hah? Buat apa?"

"Pesen tiket pesawat elah, lu kira kita ke sana naik baling-baling bambu!"

Emmmm, pengin banget nyiram zuppa soup di tanganku ini ke Josh. Tapi... sayang. Sayang zuppanya, bukan dia.

Membuka tas, kuambil dompet lalu mengeluarkan KTP milikku.

Josh menerimanya, mengeluarkan ponsel lalu memfoto KTP-ku.

"Jangan disalahgunakan itu ya! Gue laporin polisi lu!"

"Ehh? KTP lo kok domisilinya Bogor?"

"Bawel lo! Udah kan?"

"Heheh, iya udah, packing ya! Bentar lagi kita berangkat!"

"Hah?!!!"

"Gak usah hah-heh-hoh lo! Udeh nurut aja, bye!" Seru Josh dan ia pun masuk ke kamarnya.

Sumpah, kayaknya salah banget nih aku ikut liburan bareng Josh. Bukan liburan takutnya malah jadi becanda.

Tapi.... aku memang butuh sihhh keluar sejenak dari Ibu Kota yang kejam ini. Dah yuk ah, semoga baik-baik saja. Amin!

******

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top