Tiga puluh tiga

Begitu sampai di villa, aku langsung mengemas semua barangku, mengeluarkan barang milik Arya dari koper. Berantakan? Bodo amat!

Setelah semua barangku rapi, aku memesan taksi untuk membawaku pergi dari tempat ini.

Sebelum keluar, kuambil kotak berwarna tosca dari nakas kecil di samping kasur. Melepas cincin dari jari manisku, kuletakkan kembali cincin itu di dalam kemudian melempar kotak tersebut ke atas kasur.

Taksiku sudah sampai, aku langsung menarik koper keluar. Supir taksi membantuku mengangkat koper ini. Memasukannya ke bagasi.

"Ke bandara ya mbak." Si pak supir memastikan.

"Iya Pak, makasi!"

Baru saja mobil berjalan 10 menit, ponselku langsung berdering, nama kontak Arya muncul di layar dan aku langsung me-reject panggilannya, karena aku sedang memesan tiket untuk kembali pulang ke Jakarta.

Tiket yang kudapatkan pas, waktunya hanya satu setengah jam dari sekarang jadi harusnya aku masih keburu untuk check-in.

"Makasi Pak." Kataku ketika driver ini membantuku menurunkan koper.

"Sama-sama Mbak, safe flight yaa!"

Aku tersenyum manis, mengangguk kemudian masuk ke Bandara.

Sudah di ruang tunggu, aku yang sedari tadi marah kini emosinya mulai mereda, dan aku gak kuat menahan diri untuk gak nangis.

Yeah, setelah emosiku reda, bisa kurasakan kalau hatiku sakit. Arya bilang gitu ke Josh seolah-olah aku makhluk gak berperasaan yang mau sama siapa aja yang bersedia nikahin aku. Aku emang mau nikah, tapi kan gak gini.

Dan Josh, dia juga gak bilang apa-apa kan? Aku tahu dari awal aku gak akan pernah sama Josh. Dari pertama, aku sadar kalau punya perasaan ke dia itu sama saja melukai diri sendiri. Makanya aku memilih Arya. Karena aku tahu, cowok kaya Josh gak akan menjanjikan masa depan, gak peduli sebesar apa rasa cinta yang kita kasih ke dia.

Aku mengusap air mataku, lalu berdiri karena panggilan untuk penumpang tujuan jakarta sudah terdengar.

Di pesawat, aku kembali menangis, hatiku masih terasa sakit mengingat omongan Arya yang menganggap remeh hubungan yang kami jalani ini. Seperti semua yang kami jalani itu gak ada artinya.

Begitu turun dari pesawat, mataku sembab. Aku sama sekali tidak memikirkan penampilan sekarang, aku langsung keluar menarik koperku. Mencari taksi yang bisa mengantarku.

"Aca?" Aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil, dan ketika melihat si pemilik suara... aku heran kenapa aku sudah tidak hapal dengan suaranya lagi.

Aku tersenyum kepadanya, berjalan mendekat dan tanpa berpikir panjang, aku memeluknya seerat yang kubisa. Lalu aku menangis kembali, membayangkan mudahnya ketika hidup bersamanya.

"Hey, kamu kenapa Ca?" Tanya Nico ketika aku menangis sampai sesenggukan.

Berusaha menguasai diri, aku melepas pelukan ini, mengusap air mataku. Lalu, mataku jatuh ke tangan seorang perempuan yang mengait di tangan Nico, yang membuatnya tidak membalas pelukanku tadi.

Aku tersenyum kecil ke wanita ini, merasa sedikit bersalah.

"Maaf yaa!" Kataku tulus, kemudian berbalik, mencari taksi mana saja yang bisa membawaku segera pergi dari sini.

Aku minta diantar ke apartment Arya, aku ingin mengambil barang-barang ku di tempatnya. Syukurlah, aku memiliki akses masuk ke tempat itu.

"Siang, Non Aca udah pulang? Bapak mana Non?" Tanya Mbak Lina yang sedang bebersih,

"Masih di Bali, mbak, ada acara tambahan dia." Kataku pelan kemudian masuk ke kamar.

Kuambil semua barangku yang ada di kamar ini, tak peduli itu membuat kamar Arya berantakan. Lalu, aku menuju walk-in closet Arya, mengangkut semua baju dan sepatuku dari sana, lagi... membuat tempat rapi itu berantakan.

"Non Aca mau kemana?" Tanya Mbak Lina ketika aku keluar dengan dua koper.

"Saya udah gak sama Arya lagi, Mbak. Makasi ya buat selama ini, udah sering masakin makanan enak, suka pijitin kaki saya, makasi banget!" Aku melepas pegangan koperku untuk memeluk singkat mbak Lina.

"Bener Non? Non gak sama bapak lagi?"

Aku mengangguk.

"Tapi kan Non sama Bapak tuh cocok lohh,"

Aku tersenyum, kemudian pamit dan pergi meninggalkan tempat yang sudah menjadi rumah kedua bagiku ini.

Aku kembali menangis di sepanjang perjalanan menuju rumahku. Hatiku seperti tidak bisa pulih, ia tetap nyeri. Dan mataku juga seperti ingin menangis terus.

Gosh! Kenapa aku harus mengalami ini sih?

Sepertinya aku menjalani hidupku dengan baik, tapi kenapa hidup terus mempermainkanku?

Begitu sampai di rumah, aku langsung membawa masuk koperku, mengunci pintunya agar tidak diganggu siapapun.

Di kamar, aku langsung merebahkan diri, menarik selimut sampai menutup kepala dan menangis kembali. Kali ini aku tak menahan isakan tangisku, aku menangis sejadi-jadinya karena rasa sakit yang terasa seperti meremas jantungku berkali-kali.

Tangisku mereda, tapi rasa sakit itu masih ada. Aku turun ke bawah karena merasa lapar, lalu mengambil apel dari kulkas untuk kumakan.

Di dapur, aku hanya bisa bengong memikirkan nasib hidupku yang begini. Mungkin benar yang kuucapkan dulu, kalau aku gak pernah beruntung soal cinta.

*******
****

"Bu? Ada pak Arya!" Ucap Ayu ketika masuk ke ruanganku. Sekarang, aku selalu menutup ruang kerjaku, tak ingin ada gangguan datang tiba-tiba.

"Bilang saya sibuk, gak bisa diganggu."

"Saya disogok Bu!" Ayu memperlihatkan lima lembar uang seratus dollar.

"Ambil aja, tapi bilang saya sibuk. Kamu kalau sampe biarin dia masuk, saya bikin laporan jelek ke HRD!" Ancamku.

"Oke Bu, oke!" Ayu bergegas keluar, tak lupa menutup kembali pintu ruanganku.

Yeah, aku tahu Arya mencariku, ribuan panggilan masuk ke ponselku sampai akhirnya kuputuskan untuk memblokir nomornya karena apa yang ia lakukan itu sangat menganggu. Aku sampai gak bisa kerja gara-gara panggilan masuknya itu. Beberapa kali ia bahkan ke rumah, tapi kuabaikan dengan sengaja sampai akhirnya tetangga risih dan mengusirnya.

Aku sudah tak ingin melibatkan hidupku dengan Arya, dan Josh. Dua bersaudara itu udah kaya jurang kematian buatku sekarang. Datang ke mereka sama aja aku bunuh diri.

Walaupun yaaah, aku tahu Josh gak sepenuhnya salah. Kalau sama dia emang aku yang kebaperan gak jelas. Dari awal Josh sudah menegaskan hubungan kami. Dan ketika itu berakhir pun dia tetap baik, tetap sebagai tetangga dan seorang teman.

Tapi tetep, aku udah gak mau ada mereka di hidupku. Biarin aja kaya gini.

**

Sekarang, setiap berangkat atau pulang kerja aku jadi lebih lama di jalan karena rumahku memang jauh dari tempatku kerja, tapi... masih bisaku jabanin karena hanya memakan waktu, gak terlalu menguras energi. Jadi masih bisa ditolerir.

Seperti hari-hari biasanya, begitu sampai rumah aku langsung mandi, beres mandi santai-santai di ruang keluarga di lantai 2 sambil nonton kalau lagi gak banyak kerjaan. Kalau banyak kerjaan? Ya begini. Duduk di karpet ruang keluarga sambil fokus di depan laptop.

Sesekali aku melirik ponselku, mengecek sudah berada di mana abang ojol yang membawa pesanan makan malamku. Aku udah laper banget sumpah!

Malam ini aku ada kerjaan, tapi gak banyak sih, cuma ada beberapa yang harus diselesaikan sebelum rapat besok pagi. Sisanya, aku di depan laptop ya buat kerjain tugas kuliah. Aku bersyukur S2 tuh gak se-ribet S1. Dateng ke kampus tuh cuma pas dosen mau kasih materi, sisanya tugas dan lainnya ya dilakukan secara online. Benar-benar memudahkanku.

Bel rumah berbunyi menggema di seluruh ruangan, kutinggalkan laptopku, turun ke lantai bawah sambil bawa duit tentu saja buat bayar abang ojol, soalnya aku belum isi saldo uang elektronik nih, gak ada pulsa. Hahahah!

Begitu aku membuka pintu, aku kaget karena yang datang bukang abang ojol, tapi Arya.

"Kamu ngapain?" Tanyaku, jantungku langsung berdetak tak karuan.

"Aku mau minta maaf, kita perlu ngobrol Ca." Ucapnya, bersamaan dengan itu, abang ojek datang.

"Mbak Natasha?"

"Iya Bang!" Sahutku, mengabaikan Arya yang berdiri di depan pintu rumah.

Aku berjalan ke teras, mengambil pesanan makananku sekaligus membayar abang ini.

"Kembalinya mbak?"

"Gak usah Bang, makasi ya!"

"Iya mbak, makasi juga ya!"

Aku mengangguk kemudian berbalik, saat akan masuk rumah, tanganku ditahan oleh Arya. Aku menghela napas berat.

"Apa lagi?"

"Kita perlu ngomong Ca,"

"Yaudah masuk, ngapain berdiri di situ terus nyegah-nyegah orang masuk?!"

"Oh okay, sorry!" Arya melepaskan tangannya, jadi aku masuk ke dalam rumah.

Kurasakan ia membuntutiku, terdengar juga suara pintu yang ditutup. Aku langsung menuju dapur, memindahkan capcay goreng yang kupesan dari plastiknya ke mangkok kaca, setelah itu menarik kursi dan mulai makan di meja makan.

"Kamu ngapain di situ?" Tanyaku ketika Arya hanya berdiri di dekat tangga.

"Aku mau minta maaf, tapi aku gak tahu harus ngomong gimana," Arya mendekat, menarik kursi di seberangku lalu duduk.

Aku belum niat meresponnya, jadi aku hanya diam sambil memakan semua sayuran dan protein tambahan yang ada di capcay ini.

"Aku salah, aku tahu, I realize that I step too far this time. Kamu sama Josh sama-sama udah dewasa dan tahu apa yang dijalani masing-masing."

Aku hanya mengangguk, aku udah bosen nangis-nangis minggu kemarin, jadi kali ini... aku akan bersikap sebiasa mungkin. Mati rasa kalau perlu.

"Here!" Aku menoleh, Arya mengeluarkan kotak kecil berwarna tosca, meletakkannya di atas meja.

"It's yours! Aku beli ini buat kamu Ca, dan kamu udah bilang iya, kan?"

"Sikap kamu waktu itu udah batalin semuanya yaa, semuanya!"

"Can we push the pause button? Jeda sebentar dan pikir ulang semuanya? Aku tahu aku salah dan aku minta maaf untuk itu. Bisa gak kita mundur dikit, anggep itu gak ada dan jalanin lagi semua dengan baik."

Yee dasar bekicot! Dikira ini film apa pake pause segala terus mau di-rewind, sarap!

"The step that you take in Bali... it's a step you can't take back, Arr!" Kataku, udah kaya judul lagu aja.

Selesai makan, aku langsung mencuci piring biar gak ada barang kotor di dapur, setelah itu, tanpa banyak bicara aku naik ke atas, melanjutkan tugas kuliahku.

Tak berapa lama, aku mendengar suara seseorang menaiki tangga, Arya... siapa lagi? Kudiamkan ia saat duduk di sampingku, di karpet, bukannya duduk di sofa.

"Aku harus apa biar kamu maafin aku?"

"Sekalipun aku maafin, kita gak bisa balik lagi!" Seruku dengan nada sinis.

"Why? We already know each other, Ca. I love you!"

"Kalau kamu sayang sama aku, kamu gak akan ngoper aku ke Josh, aku manusia Ar, aku bukan barang yang bisa kamu mainin seenaknya. Aku juga bisa ambil keputusan. Kamu udah bilang gitu di Bali, aku gak terima itu, ya respon aku... aku mundur!"

"Ca, kita bisa lupain kejadian di Bali dan tetep jalan terus!"

"Engga!" Aku langsung menghadap ke arahnya sekarang, emosiku baru saja naik mendengar kalimatnya barusan.

"Kamu gak bisa hidup kaya gitu... waktu kamu minta kita gak pernah bahas rencana threesome-nya Josh, aku masih oke, karena itu emang gak kejadian! Kalau sekarang gak bisa Ar! Itu kejadian! Itu keluar dari mulut kamu secara sadar! Terus kamu mau anggep apa itu? Mimpi buruk juga? Hah? Engga, gak bisa! Kita ngalamin kejadian itu senyata aku ngomong sama kamu sekarang! Itu kejadian! Bukan mimpi, apalagi film sampai kita harus pause dulu lah apa lah semua istilah kamu itu!" Seruku berapi-api dan Arya hanya diam.

"Kamu udah ambil keputusan itu, you said that.. you let the dice roll, and this is what happened! Didn't expect it? Then you have to think twice before you risking your relationship that way!" Tandasku kemudian berbalik kembali menghadapi laptop.

Astaga, tugas kuliah aja ini bikin palaku mumet, eh si Arya segala ngajak ribut bawa-bawa ikan paus! Huh!

*******

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo

Ps: selamat datang Ramadhan, selamat berpuasa yaa untuk yang menjalankannya 🤗 aku minta maaf juga untuk seluruh pembaca ku karena memberikan kalian asupan dosa lewat tulisan 18+ku ini huhu, semoga Ramadhan kali ini kita semua enjoy ya meskipun gak boleh mudik, hiks~

Sending virtual hugs to all of u guys, love u so much much much much 🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top