Tiga puluh
Aku sudah pindahan, Arya tadinya mencegah, katanya biar aja aku di apartemennya, tapi... perjanjian tetap perjanjian. Kan dari awal juga bilangnya aku tinggal bareng dia cuma sampai rumahku terisi.
Arya terima, karena memang itu yang kami sepakati. Dan, saat ini kami tengah berada di rumahku.
"Enak juga ternyata ya rumah begini, tapi jauh Ca."
"Iyaa bener sih jauh. Ya mau gimana lagi? Sama Nathan dibeliinnya di sini." Kataku.
"Gak apa sih, dia bagus juga milih di sini. Kalau pembangunan tol udah selesai sih jadi gak jauh-jauh banget kan? Malah strategis lokasinya."
"Hemm!" Hanya itu balasanku.
Saat ini aku sedang memasak, buat makan aku dan Arya. Malam ini aku masak cumi item gitu, Arya ternyata doyan banget cumi, apalagi yang masih ada telurnya.
"Arr, aku mau berhenti les masak ah." Kataku.
"Eh kenapa? Emang bisa berhenti ya? Bukannya udah langsung 3 bulan tuh?"
"Capek juga kalau dipikir-pikir, sabtu malem aku daripada les masak mending istirahat, chill sama kamu gitu." Kataku beralasan. Aslinya sih, aku udah gak betah karena Josh yang suka gak jelas kalau lagi les.
Aku pengin ngadu ke Arya, cuma... Josh kan sepupunya, nanti mereka berantem. Dan lagi, aku gak mau Arya mikir aku ada apa-apa sama Josh.
Huh!
"Yaudah kalau kamu mau gitu, bilang aja sama Josh."
"Gak usah lah, tiba-tiba gak dateng aja."
Masak selesai, di meja sudah terhidang cumi item yang Arya request dan telur dadar sebagai lauk tambahan. Bingung abisnya aku masak apalagi. Best deh buat buk-ibuk yang kalau masak buat di rumah lauknya ada banyak.
Makan bersama, Arya bahas rencana pergi ke Afrika dengan Jeremy, katanya sih ada yang perlu dibahas gitu di sana. Ia berangkat sebulan lagi.
"Kamu bisa cuti gak? Kalau bisa ikut aja!"
"Gak apa, kamu berangkat aja, kamu lagian emang gak bosen ketemu aku terus?" Tanyaku.
"Kamu bosen?" Ia balik bertanya.
"Engga sih, cuma yaaa... kamu juga pasti butuh lah, keluar sendiri atau sama cowok-cowok doang, berkehidupan sosial gitu. Kita kan pacaran gak otomatis memiliki hidup satu sama lain," Jelasku.
"Ohh iya ngerti, santai sih. Temenku juga gak banyak, jadi yaudah laah~"
Aku mengangguk, kami lanjut makan dan aku seneng banget dong, Arya makannya nambah, katanya cumi item bikinanku enak.
"Josh minta alamat kamu, aku kasih gak apa ya?"
"Eh? Buat apa?"
"Katanya mau kasih hadiah pindahan."
Aku diam. Heran juga. Ngapain ngasih hadiah pindahan?
"Udah, aku aja yang cuci, kamu kan udah masak!" Ujar Arya ketika aku membereskan meja saat kami selesai makan.
"Bareng aja." Kataku.
Akhirnya Arya yang mencuci sedangkan aku yang membilas dan menyusun kembali perabotan ke tempatnya.
Aku dan Arya kekenyangan, kami berdua rebahan di sofa ruang tamu. Terlalu capek kalau harus naik ke ruang keluarga atas. Jadi ya beginilah. Aku sambil baca buku penunjang kuliahku, Arya sambil main game.
Sedang asik membaca, bunyi bel tiba-tiba bergema di seluruh ruangan. Anjir. Ternyata berisik juga nih belku.
Aku bangkit, berjalan menuju pintu lalu membukanya. Dan ternyata Josh yang datang, dia membawa sebuah kotak dibungkus kado yang lumayan besar.
"Masuk Josh! Sayang, ada Josh!" Aku memanggil Arya, ia hanya mendongkak sedikit karena fokus sama gamenya.
"Gue gak tahu lo ada di sini!" Seru Josh, langsung duduk di sofa.
"Lo minta alamat, gue kira mau kirim barang," Sahut Arya.
"Nih Ca! Selamat ya rumah baru!" Ujar Josh, memberikanmu bungkusan yang ia bawa.
"Makasi Josh, boleh gue buka?"
"Ya buka aja."
Kuletakkan kado itu di meja, lalu merobek kertas yang menutupinya. Aku seneng sama apa yang Josh kasih.
"Thank you Josh! Kebeneran banget gue belum punya oven!" Seruku senang. Josh memberiku satu buah oven listrik.
"Yep, anytime! Sekarang lo kalo mau bikin banana bread di situ, jangan di rice cooker lagi!" Ledeknya.
Aku nyengir, mengenang masa-masa dulu, enjoy banget kayanya hidup.
"Dahh, dari mana lo?" Arya selesai dengan gamenya, ia meletakkan ponsel di meja.
"Abis ketemu Rara, dia sama Sam pindah ke Jepang katanya, dan belum tahu Jo dibawa apa gak."
"Gilak! Udah Jo sama lo aja!" Seru Arya.
"Pengennya juga gitu. Tapi itu anak kan masih kecil dan dari lahir lebih banyak sama Rara dibanding sama gue. Kasihan juga kalau gue pisahin. Gue seneng... mana tahu batin anak gue, hayo?"
Aku dan Arya mengangguk mengerti.
"Lagian juga, kalau Jo sama gue, gue gak bisa 24 jam sama dia dan full ngurus kan,"
"Ya itu kan makanya ada yang namanya baby sitter!" Ujar Arya.
"Tahu, gimana yaa, gue masih bingung deh."
Aku bangkit dari sofa, berjalan menuju dapur. Kasian si Josh, dateng kaga disuguhin minum.
Mengambil pitcher air putih, tiga gelas kosong, aku juga menyambar toples berisi cookies dari meja makan.
"Nih Josh, minum dulu." Kataku, menuangkan air ke gelas-gelas yang ku bawa
"Thanks Ca!" Serunya, kemudian menyesap air tersebut.
"Udah makan belom lu? Tadi Aca masak cumi item, enak deh! Kaya bikinan Oma pas kita kecil!"
"Asli?" Tanya Josh.
"Mau makan Josh?" Tawarku.
"Boleh deh, gue laper!"
Kami bertiga pun pindah ke meja makan, menemani Josh makan malem biar gak sendirian banget.
"Gimana? Enak kan?" Tanya Arya ketika Josh menyuap.
"Lo bener, kaya bikinan Oma. Jadi kangen gue!"
"Doain sana kalau kangen! Samperin makamnya."
"Nanti lah itu, lo juga jarang kan?"
"Heheheheheh!"
Aku tersenyum, mereka berdua nih beneran yang akrab ternyata yaa. Baik juga hubungannya gak ada yang ribut gitu.
"Resto lo di Bali gimana?" Tanya Arya.
"Udah 80% sih, tinggal soft opening sebenernya, tapi waktu gue sama Adam belum ada yang cocok, jadi masih begitu deh."
"Entar lo tinggal di Bali?" Tanyaku.
"Gak, gue pasti full ngurus yang Jakarta. Makanya ini ribet bolak-balik Bali, biar pas udah beres bisa ditinggal." Jelas Josh.
Aku mengangguk. Kemudian, ponsel Arya di meja berdering.
"Bokap lo nelfon gue Josh!" Seru Arya.
"Ya angkat lah!"
"Bentar yaa!" Arya mengambil ponselnya, berjalan ke arah luar, sementara aku dan Josh langsung hening.
Biar gak canggung, aku membuka kardus oven yang sudah dipindahkan Arya ke meja dapur, Josh menghentikan makannya, mendekat untuk membantuku mengeluarkan oven ini. Ukurannya standar gak kecil tapi gak yang gede banget juga. Pas buat dapurku.
"Lo lanjut makan aja sih,"
"Oke!" Josh kembali ke meja makan,
"Sebelum dipake panasin dulu, baru deh pake seperti biasa." Jelasnya.
"Oke, makasi ya!"
"Sip! Ngerti kan? Tinggal liat aja petunjuknya, api atas-bawah, suhu panas berapa, timer maksimal cuma satu jam, jadi kalau mau manggang yang lebih, ya nanti di-set ulang."
"Okay Josh, got it!"
"Gimana lo sama Arya? Udah mau nikah?" Tanyanya sambil mengunyah.
"Hoh?"
"Kenapa lu kaget? Setahu gue Arya tuh pengin buru-buru nikah deh, masa dia gak ngomong ke elu?"
"Eh? Ngomong kok... cuma yaa... gak tahu deh!"
"Sana nikah, bikin anak yang banyak!"
"Ya, gampang lah itu."
Kemudian Arya kembali, duduk di posisi awal, di samping Josh.
"Dipercepat ke Afrika, dua minggu lagi."
"Lha? Semua dokumen udah beres?" Tanyaku.
"Aman itu sih. Josh, nyokap lo selesai jabatannya, mungkin 6 bulan lagi balik ke Indo."
"Bagus lah, udah waktunya pensiun bokap-nyokap tuh. Udah punya rumah juga buat hari tua."
Josh sudah selesai makan, dia inisiatif cuci piring sendiri. Pinter!
"Ehh? Di mana? Gak di jakarta yaa?" Tanya Arya.
"Gak, bokap-nyokap kalau pensiun mau tinggal di NZ katanya. Kita semua setuju, lebih adem juga kan. Kalau pada kangen biar anak-cucunya aja yang main ke sana, pusing di Jakarta."
"Keren, boleh tuh gitu pas udah tua, biar gak stress ya, di sana kan alamnya bagus banget."
"Banget!"
Kami lanjut mengobrol di ruang makan ini, sampai akhirnya Josh pamit pulang, tadinya Arya juga mau balik, tapi gak jadi karena aku maunya dia nginep malem ini.
Rumah sudah terkunci, mobil Arya sudah parkir di tempatnya. Kami juga sudah naik ke atas, ke kamarku.
"Pulang dari Afrika, kita liburan yuk?" Ajak Arya, aku yang baru saja selesai rutinitas skincare, bergabung dengannya, masuk ke dalam selimut.
"Ke mana?" Tanyaku, mendekat ke Arya kemudian memeluknya.
"Bebas, kamu maunya ke mana?"
"Gak tahu nih bisa cuti apa engga."
"Dua hari aja, Kamis-Jumat, biar sekalian lanjut weekend jadi liburan lumayan lama, kamu cuti cuma bentar."
"Boleh deh, yang deket aja tapi ya?"
"Oke! Apa dong? Bali? Sumba? Sumbawa? Apa ke pulau Kei?"
"Bali aja." Kataku.
"Sip, urus ya cutinya? Biar aku pulang kita bisa kabur dikit lah dari Ibukota."
"Sip sayaang!"
"Udah, tidur yuk! Ngantuk!" Arya lalu menarik tali dari lampu yang ada di dekatnya, membuat ruang kamar gelap total, hanya ada sedikit cahaya dari luar.
Aku mempererat pelukanku, kemudian memejamkan mata. Yeah, kalau dipikir, seumur hidup sama Arya begini, kayaknya aku bisa. Dia bisa bikin aku bahagia, dan itu cukup!
*******
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Ps: mid season dulu yaaa~~
Sampai ketemu di bulan Ramadhan 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top