Tiga
Kamarku terlihat seperti kapal pecah, dan wajahku pun sama berantakannya. Aku tak percaya, Nico tega melakukan ini padaku. Hanya demi warisan!!
Padahal, selama ini Nico selalu jadi orang yang percaya diri menurutku. Ia tak pernah merasa terintimidasi gajiku lebih besar darinya, ia juga selalu mengatakan bahwa ia akan bekerja lebih giat agar kami bisa hidup lebih enak.
Tapi... gara-gara warisan doang dia berpaling. Padahal materi adalah hal yang bisa dicari berdua seiring dengan berjalannya hidup ini.
Kenapa Nico jadi cowok males yang begitu? Yang mengandalkan warisan lalu meninggalkan aku?
Atau aku tak cukup berharga untuk ia perjuangkan?
Goshhh!
Hampir 24 jam aku tak tidur dan aku bingung alasan apa yang kupakai agar pagi ini aku tak perlu berangkat ke kantor. Aku gak siap!
Teman kantorku kenal akrab dengan Nico, karena kami selalu rutin makan siang bersama di salah satu cafe dekat kantorku dan kantornya Nico.
Shit!
Bagaimana aku meneruskan hidup jika selama ini Nico selalu terlibat di dalamnya dan kini ia tiba-tiba pergi?
Mengambil ponsel, kutelefon atasanku. Untunglah tak lama menunggu panggilan itu langsung dijawab.
"Hoy, kenapa Ca?" Atta, atasanku yang juga teman nongkrong makan siang.
"Gue hari ini izin sakit ya Ta?"
"Heh? Ini video call, kok gelap sih?"
"Hah? Video call?" Aku memundurkan ponselku, dan langsung terlihat wajah Atta dan wajahku yang berantakan.
"Woy? Mata lo bengkak begitu, kenapa lu Ca?" Seru Atta, nada suaranya panik.
"Allergi, Ta. Gak tahu nih kayaknya semalem gue makan yang ada kedele-nya." Jawabku berbohong.
"Yaudah, sana ke dokter!"
"Gue ada kok obatnya, tapi ya gue gak bisa ke kantor."
"Yaudah gak apa, gampang, dua hari aja ya? Gue punya banyak stok surat palsu nih, gue bikinin ya?"
"Lo terbaik sihh Ta!"
"Oke oke, cepet sembuh lo Ca!"
"Thank you Tta!" Memutus panggilan, aku lega karena bisa menghindar sesaat dari keriuhan masalah kantor.
Tapi untuk seterusnya bagaimana? Aku gak tahu bagaimana menjalani hidupku kedepannya. Gosh!
******
Pintu kamarku diketuk, tapi aku tak beranjak sedikitpun dari kasur. Aku lelah dan sedang tidak ingin menerima tamu, entah siapapun itu. Lagi pula, aku gak pernah punya tamu. Kostan ini terlalu privat untukku dan Nico, tidak ada teman kami yang pernah datang.
Ketukan dipintu tak berhenti meskipun aku tidak menyahut, lalu aku menoleh ketika anak kuncinya terputar dari luar dan sebuah siluet yang sudah ku hafal terlihat berdiri di depan pintu.
"Ca kamu kenapa?" Suaranya masih terdengar menenangkan, namun entah kenapa hatiku makin sakit mendengarnya, apalagi melihatnya mendekat dan wajahnya langsung terlihat jelas oleh mataku.
"Ngapain lo ke sini?"
"Pas makan siang Atta bilang kamu sakit, makanya balik kerja aku langsung ke sini."
"Ngapain lo masih kerja? Bukannya lo udah boleh ngurusin bisnis bokap lo?"
"Aku boleh ngurus kalau udah resmi nikah, Ca. Makanya aku masih kerja."
"Pergi lo!" Usirku, tapi Nico bergeming. Ia tetap berdiri di tempatnya, memandangku yang tiduran di kasur ini dengan tatapan prihatin.
"Kamu kenapa? Sakit apa?"
"Pergi lo!"
Tidak menyahut, kudiamkan ia yang entah sedang apa. Aku sedikit bangkit, bersandar di kepala kasur dan melihat Nico sedang merapikan pecahan piring yang berserakan di lantai, bekas kemarin.
"Kamu kenapa sih? Bisa-bisanya kamar seberantakan ini, padahal kamu anaknya kan rapi banget."
Aku diam tak menjawab. Sinting kali ya Nico nanya begitu?
Kubiarkan ia bebenah kamar sementara aku kembali rebahan, menutup diri dengan selimut sampai atas kepala. Biarin, sekali-kali Nico yang jadi babu.
Aku sedikit terlonjak ketika kasur yang kutiduri ini bergoyang, lalu terasa elusan lembut di kakiku, membuatku refleks menarik kaki dan menekuknya.
"Ca? Kamu kenapa? Sakit apa? Itu kakinya dingin banget loh,"
"Pergi sana lo!"
"Ca, jangan gini dong, kamu tahu gak kenapa aku ke sini?"
Aku diam, merasa tak perlu menjawab apalagi bertanya alasannya.
"Karena aku sayang sama kamu Ca, aku panik pas denger Atta cerita kalau kamu sakit. Jangan jutekin aku dong, please!"
Aku menelan ludah, tiba-tiba merasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokanku.
"Ca, kalau bisa milih, aku juga maunya sama kamu. Aku sayang Ca sama kamu,"
"Kamu SANGAT bisa milih, Nic!" Sahutku pelan, dan menekankan kata sangat, menyadarkannya.
"Aku butuh Ca usaha Papaku, buat ngembangin skill aku juga kan? Kamu tahu, udah tiga tahun ini jabatanku itu-itu aja, gaji naik pun gak signifikan. Aku gak bisa bilang engga untuk ngurus usaha Papa, Ca."
Aku diam. Yeah, itu keputusannya yang artinya dia sudah menentukan pilihan. Bohong kalau dia bilang dia gak punya pilihan.
"Aku sayang Ca sama kamu," Ujar Nico terdengar sangat tulus. Lalu, perlahan selimut yang menutupi tubuhku ditarik, tapi aku membuang muka, tak ingin menatapnya.
"Maafin aku, Ca." Ucapnya sambil mengelus tanganku. Membuatku membuang napas panjang, lalu sedikit bangkit untuk bersandar, Nico langsung mendekatkan diri.
"Maaf!" Ia meraih kedua tanganku, mengecupnya. Kutarik tangan kananku lalu menamparnya sekencang yang aku bisa, membuat Nico refleks mengaduh.
"Boleh Ca, kamu boleh tampar aku sepuasnya,"
Plakkk!!
Kuulangi lagi, dengan tamparan yang mungkin lebih kencang.
"Maaf, Ca. Maaf kalau kita berakhir kaya gini." Tiba-tiba saja ia memelukku, membuat air mataku mengalir begitu saja.
"Aku sayang Nic sama kamu," Entah kenapa ucapan bodoh itu keluar dari mulutku.
"Sama Ca, sama. Aku juga sayang sama kamu, banget."
"Terus kenapa gini?"
Nico tak membalas ucapanku. Ia masih memelukku erat, membuat isakan tangisku makin kencang.
"Aku kira... kita bakal bisa sama-sama terus, sampe tua. Kaya yang kamu janjiin pas Mama meninggal."
"Maaf yaaa karena gak bisa nepatin janji itu, maaf banget."
"Cuma kamu Nic yang aku punya sejak Mama meninggal."
"Maaf,"
Pelan, kulepas pelukan ini, dan Nico langsung mengusap air mataku. Terlihat matanya juga sedikit merah. Mungkin kami berdua merasakan hal yang sama, mungkin.
Mendekat, Nico menempelkan bibirnya dengan lembut ke bibirku, membuatku terpejam, lalu terasa ia melumat bibirku dengan lidahnya.
Ciuman Nico bisa dibilang sangat lembut, membuatku meresapi sentuhannya ini, kupeluk ia erat, memastikan tak ada jarak di antara tubuh kami.
Aku mulai membalas ciuman Nico, dan ia pun memainkan lidahnya membuatku mendesah karena menikmati ciuman ini.
Pelan, Nico mendorongku untuk merebahkan diri di atas kasur. Dan aku pun pasrah, aku memang menginginkannya. Siapa tahu, dengan ini, Nico tidak jadi pergi. Siapa tahu, dengan ini ia sadar kalau sudah lama kami selalu bersama membagi kasih.
Yeah, semoga saja.
********
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Ps: mohon maklum atas kegoblokan kelakuan Aca, dia lagi rentan. Orang yang lagi vurnerable kan emang gitu, gampang banget luluhnya~
Pss: mau pakai cast gak hayoo?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top