Sepuluh
Aku begadang malam ini, memesan berbagai makanan untuk menemani, Nathan menceritakan padaku tentang keluarganya. Tentang istrinya, Aini. Dan tentang Ivanka, anak perempuannya yang berumur 7 bulan.
"Lo ketemu dia, terus tiga bulan kemudian nikah? Kok bisa?"
"Kalau lo ketemu jodoh lo, Ca. Pasti lo gak bakal nanya begitu deh. Kayak, lo tahu orang ini yang bakal ada di samping lo saat semua indra di tubuh lo menurun fungsinya." Jawab Nathan.
"Terus kenapa lo kesini? Bukannya di rumah sama istri lo!" Seruku.
Nathan langsung diam, ia menenggak banyak-banyak cola yang tersedia.
"Gue sebenernya malu Ca ke sini, kaya gue dateng ke lo pas butuh bantuan. Tapi... kalau gue gak kesini, gue makin merasa bersalah sama lo."
"Udah, cerita lo kenapa?"
Nathan kemudian membuka ceritanya, perihal ia yang ditipu oleh rekan bisnisnya hingga kini ia tak memiliki apa-apa lagi. Bahkan tabungan pun kosong. Nathan bertengkar dengan istrinya, tentu saja soal uang. Soal besok mau makan apa, soal popok anak dan lain sebagainya.
"Lo sekarang nih mau pulang apa mau nginep?" Tanyaku, aku melirik jam, sudah hampir setengah dua dini hari.
Nathan tak menjawab.
"Lo balik aja ya? Biar istri lo gak mikir jelek lo ninggalin dia. Gue ada cash tapi gak seberapa, bawa aja dulu sama lo. Nanti weekend, kita ketemu lagi, oke?"
"Gue gak enak sama lo, Ca. Gue ke sini bukan buat minta uang. Gue pengin ketemu adik gue, pengin cerita sama lo."
"Dan dua hal itu udah lo lakuin kan? Yaudah, waktunya lo balik ke istri sama anak lo. Nanti weekend kita ketemu." Ulangku.
Kutarik tas dari kursi, kemudian sedikit miris melihat visa yang kuambil tadi siang. Sepertinya aku harus merelakan dia dulu.
Semua cash yang ada di dompet, kukeluarkan, menyisakan selembar uang lima puluh ribu untuk peganganku.
"Nih ada 700, lo bawa aja, cukup kan buat sampe weekend?"
"Ca?"
"Udah gak apa, Than."
"Gue janji, bakal gue ganti."
"Gak usah, buat anak lo! Buat ponakan gue, masa gue itung-itungan?"
Nathan tersenyum, kemudian ia pun pamit pulang. Sebelum pulang, Nathan memelukku erat sekali sambil berbisik.
"Maaf, baru muncul sekarang. Maaf banget Ca! Dan makasih buat bantuan lo ini."
"Sama-sama Than, dan gue harap, lo beneran udah berubah." Kataku sambil mengurai pelukan ini. Nathan mengangguk, kemudian ia pun keluar dari kamarku.
Sepeninggalnya Nathan, aku merasa sedih, tapi di sisi lain, aku juga merasa hatiku terisi oleh sesuatu. Kekosongan yang selama ini kurasakan mendadak hilang. Ada hal baru kini yang mengisi.
Dan semoga, ini adalah hal yang baik, agar hatiku terus terisi oleh kebaikan. Amin.
*********
"Kalau boleh tahu, Mas Arya dari lantai berapa?" Tanyaku, ini kali ketiga aku sharing table sama Arya, dan rasanya agak aneh aja kalau kami hanya diam.
"Saya dari lantai 20," Jawabnya. Aku mengangguk. Wadaw juga nih.
Tapi, kok orang kaya dia mau ya makan bareng-bareng di sini? Mana makanannya kureng juga kan yaa. Gak spesial.
"Mbak Aca dari lantai 15, kan?"
"Eh? Kok tahu?"
"Kan waktu itu sempet nanya,"
Oh iya, aku aja nih ke-GRan. Kukira dia nyari tahu soal aku. Heheheh!
"Makannya sendirian aja Mas, temennya mana?"
"Lha? Kamu juga sendiri?"
"Temen saya pada ke seberang, males." Jawabku, lalu ia pun tersenyum.
Kami diam beberapa saat, karena Arya gak ada inisiatif menjawab pertanyaanku tadi, jadi aku pun pamit turun kembali ke lantaiku.
Sesampainya di meja, aku membuka email, memutuskan untuk membalas email-email yang masuk agar tidak ada pesan yang menumpuk. Lalu, aku dapat email pemberitahuan, mengenai jadwal les masak yang akan di mulai minggu depan.
Ya Tuhan, gak sabar banget ini aku, huhuhuhu!
Sedang asik mengkhayal kalau aku bakal jadi profesional chef, eh ponselku berdering, nama Nathan muncul di layar.
"Hallo, Than?"
"Malem ini jadi ke rumah?"
"Jadi, tapi balik dulu, mandi dulu, oke? Share lokasi lo aja Than."
"Oke, Aini masak nih buat lo,"
"Wihh mantap, okee kalau beres kerja gue langsung balik ya Than, terus ke rumah lo!"
"Siap, ditunggu ya Ca!"
Panggilan terputus. Dan entah kenapa, senyumku jadi mendadak mengembang.
Ya, malam ini aku akan mampir ke rumah Nathan, akan berkenalan dengan istri dan anaknya. Aku semangat tentu saja, aku bahkan sudah beli beberapa mainan untuk keponakanku itu.
Begitu waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, aku langsung bergegas memesan ojek online, lalu turun ke bawah.
Saat masuk lift, aku tersenyum, ada Arya di antara beberapa orang yang ada di dalam lift ini. Super banget nih, bukannya orang-orang dari lantai atas punya lift sendiri ya? Gak nyampur sama yang kupakai ini.
"Pulang, Mbak Aca?" Aku menoleh, lalu mengangguk. Gak enak juga kalau ngobrol di lift yang penuh gini.
Begitu pintu lift terbuka di lantai dasar, semua orang langsung keluar, termasuk aku dan Arya.
"Pulangnya ke arah mana?" Tanya Arya ramah,
"Aduh, Mas, nanti ya ngobrolnya, saya udah ditunggu ojek, bye!" Aku yang memang buru-buru langsung berlari meninggalkan Arya, menghampiri tukang ojek ku yang sudah menunggu sedari tadi.
********
Rumah Nathan tampak nyaman. Gak besar, tapi cukup.
"Natasha, salam kenal yaa! Nathan udah banyak cerita soal kamu!" Aini, wanita kalem ini memelukku dengan pelukan hangat.
"Maaf ya baru kenalan. Panggil Aca aja." Kataku.
"Jangan minta maaf, kan Nathan yang salah,"
Kemudian, aku menyapa gadis mungil yang sedang duduk di high-chair, untuk ukuran anak 7 bulan, rambutnya Ivanka lebat, terlihat agak bergelombang juga, sepertiku dan Nathan.
"Cantik banget anak lo, Kak!" Seruku.
"Ayok, makan dulu yuk? Aca belum makan kan?" Ajak Aini.
Aku mengangguk dan kami pun makan dalam diam. Di tengah makan malam, Ivanka ngamuk, kata Aini sih ngantuk, jadi ia pun pamit masuk kamar untuk menyusui Aini.
"Ini rumah punya lo Than? Apa ngontrak?" Tanyaku.
"Beli Ca, masih cicil."
"Berapa tahun?" Tanyaku.
"Yah, empat tahun lagi kelar."
"Lo ada duit buat bayar cicilan? Minggu depan udah bulan baru loh,"
"Gue lagi galau, gue pengin buka usaha tapi gak ada modal. Kalau kerja sama orang, kok kayanya bukan gue banget gitu."
Yeah, aku tahu itu, dari lulus SMK, Nathan gak pernah kerja sama orang. Dia tipe anak yang usaha sendiri gitu. Dari jualan pulsa, ke jualan sembako, sampe jualan mobil, dan terakhir dia punya showroom setahuku. Tapi karena musibah ini, pasti showroomnya sudah tidak ada.
"Maaf ya, ditinggal." Aini bergabung kembali dengan kami.
"Udah tidur?" Tanyaku.
"Udah, Ca."
Aku mengangguk.
"Kalau usaha, lo mau usaha apa Than?" Tanyaku.
"Gak tahu, paling buka bengkel mobil aja kali ya? Gue punya kenalan banyak, bisa sih buat tarik pelanggan." Jawabnya.
"Jangan di bisnis itu lagi lah, Bang." Sahut Aini.
Nah, daritadi aku mengamati Aini. Dia bukan perempuan manis yang nurut apa kata cowok sih menurutku. Dia walaupun kalem, tapi kaya punya prinsip. Dan, dia gak takut untuk mengeluarkan pendapatnya.
"Saran kamu apa?" Aku bertanya ke Aini.
"Buka warung aja, di depan rumah, kan garasi rumah gak kepakai, kita gak punya mobil. Aku sih maunya warung sembako, kalau kulihat, di sini warung agak jauh, jadi peluangnya ada. Lagi, jual sembako itu gak bakal rugi kayaknya, pasti ada aja orang yang butuh." Jelas Aini, aku mengangguk. Aku suka idenya.
"Gue setuju tuh sama Aini." Kataku.
"Tapi kalau gitu, gue bakal di rumah aja dong? Gak kerja beneran?"
"Heh, jangan banyak gaya lu!" Seruku. Nathan lalu mengangguk.
"Lagian, rencana ini gak bakal terlaksana, Ca." Ujar Aini.
"Kenapa?" Tanyaku.
"Ya, uang tabungan Abang habis, uang tabunganku juga cukup buat biaya sehari-hari, yang gak tahu sampai kapan, mungkin minggu ini atau minggu depan atau bulan depan bakal habis. Antara aku, atau Bang Nathan, harus ada yang kerja."
"Gue mau modalin kalian, tapi gue setuju sama rencananya Aini." Kataku dan dua orang di depanku ini melotot.
"Gue gak mau repotin elo, Ca!"
"Sama sekali gak repot,"
"Kamu bener Ca?" Tanya Aini. Aku mengangguk.
"Tapi aku gak bisa kasih banyak, tabunganku emang gak seberapa, dan aku juga harus simpen untuk dana daruratku, jadi buat modal kalian buka warung, aku paling cuma bisa kasih 100 juta." Kataku. Bye-bye liburan ke Asia Timur dan keliling Eropa. Batinku.
"Astaga Aca, itu cukup kok! Cukup banget!" Ujar Aini.
"Kurang kalau menurutku, kalian duitnya jangan langsung dibelanjain semua. Beli bahan-bahan pokok dulu aja, terus jangan lupa, pasang tralis, buat jaga-jaga, nanti kalau udah balik modal terus dapet untung, baru belanja lain-lainnya, biar warungnya makin lengkap. Jangan dulu deh jualan sayur, riskan busuk. Yang bisa disimpen aja." Kataku.
Aini dan Nathan mengangguk.
"Elo ya Than yang jaga warungnya! Lo kerja! Istri lo biarin dalem rumah, jagain anak lo!"
"Iya Ca!"
"Aku boleh tahu, kok Aca kayaknya galak banget sama Bang Nathan?" Tanya Aini.
"Abisnya dulu dia tuh kalau usaha cuma semangat awal doang, sisanya dia tinggal. Apalagi kalau udah dapet untung, foya-foya idupnya. Nanti kalau miskin, baru usaha lagi." Kataku.
"Aku bisa jamin, sekarang Bang Nathan gak begitu." Ada ketulusan dalam suaranya Aini, membuat aku mengangguk, percaya padanya.
"Okee, aku percayain ini ke kamu ya Aini, tapi tetep harus Nathan yang ke pasar belanja, kamu boleh bantu-bantu tapi Nathan yang utama."
"Iya Ca!" Seru Nathan dengan nada meyakinkan.
"Kita janji, secepatnya kita bakal ganti uang kamu." Ujar Aini.
"Jangan pikirin itu dulu, kalian kembangin dulu aja nanti ya? Kalau ada lebih simpen buat tabungan sekolahnya Ivanka, buat dana darurat kalian. Kalau masih ada lebih lagi, baru simpen buat ganti duit gue." Kataku.
Keduanya mengangguk, begitu pun denganku.
Yaudah, gak apa deh gak jadi liburan. Bantuin Nathan dan keluarganya lebih penting saat ini. Gak mungkin aku tega, biarin anak kecil lucu yang sekarang lagi tidur itu hidupnya luntang-lantung, padahal Aunty-nya masih mampu.
Bye, bye liburan. Mungkin tahun depan kali ya?
Di-pending dulu deh ini rencanaku memulihkan hatiku yang luka.
Huh!
*******
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top