Sembilan belas
Aku terbangun, meraih ponsel dari atas kepala kasur, kulihat jamnya, masih pukul 4 subuh. Aku berguling ke samping, dan aku kaget saat tanganku menyentuh tubuh seseorang, Josh.
Doh, gini nih, kelamaan tidur sendiri jadi seenaknya di atas kasur. Untung Josh gak kebangun perutnya kepukul dikit. Aku tidak berbalik memunggunginya, karena badanku pegal menghadap kiri, jadi aku tetap pada posisiku saat ini, miring kanan menghadap Josh, bersyukur karena bantal yang membatasi kami masih ada di tengah-tengah.
Kembali memejamkan mata, aku melanjutkan tidurku yang terputus barusan.
Aku kesal karena tidak bisa terlelap, jadi aku pun turun dari kasur, menuju kamar mandi kemudian berganti pakaian dengan baju olahraga yang kubawa. Kuputuskan aku akan berjoging saja.
Keluar kamar, aku berlari sambil menggengam ponselku, agar ia bisa mengukur sudah seberapa jauh aku berlari dan berapa banyak kalori yang terbuang.
Sekian menit berlari, aku merasa sudah cukup jauh, kuputuskan untuk duduk di bawah pohon.
Tuhan, Aca goblok banget ya? Kok bisa-bisanya gak bawa minum?
Kesal sendiri, aku menarik napas panjang berulang kali, menikmati setiap tarikan udara segar yang masuk ke paru-paru.
Melihat jam, ternyata sudah pukul 5 pagi, dan tahu apa? Di hadapanku, matahari malu-malu lahir dari rahim cakrawala, menebarkan sinarnya sehingga sebagian daerah yang terjangkau mataku mulai terang.
God, this is so beautifull!
Aku mengusap wajahku yang berkeringat, agar pandanganku jelas ke ujung sana. Benar-benar menjadi saksi pergerakan matahari naik inchi demi inchi.
Ketika sinar matahari mulai menerobos ke setiap belahan bumi, aku bangkit dari dudukku, berlari kembali ke arah kamar.
Membuka pintu kamar, aku syok!
"Aaaaaaaaa!" Jeritku, kemudian menutup mataku dengan kedua tangan.
"Lu, apa sih??!" Josh menarikku, ia baru saja keluar dari kamar mandi, berjalan telanjang tanpa tertutup kain apapun.
"Lo udah bisa buka mata, btw!" Seru Josh karena aku masih menutup mata.
Melepaskan tanganku secara perlahan, aku melirik Josh yang kini tertutup handuk hanya di bagian bawah.
"Lo... sok seksi banget sihh, PD gitu jalan-jalan telanjang!" Omelku sambil berjalan ke meja, mengambil botol air mineral yang tersedia. Aku haus, sumpah!
"Yee, mana gue tahu lo tiba-tiba masuk kamar?"
"Ya lo kan di kamar ini gak sendiri, harusnya jaga-jaga dong!"
"Speak to yourself! Lo aja semalem tidur gak pake bra! Lo kira gue apaan? Patung ukir? Gak protes kan gue?!" Josh balik mengomeliku, membuatku diam.
Aku duduk di kursi, tidak melanjutkan perdebatan kami karena... buat apa dilanjut? Satu sama kan? Udah berarti.
"Gue keluar, siapin breakfast!" Seru Josh kemudian terdengar pintu kamar terbuka kalau ditutup kembali.
Gosh! Aku nih ada di situasi apa sih sebenernya? Berantem saling nyalahin dan cari pembenaran macem orang yang punya hubungan aja. Harusnya... kami kan bisa sama-sama cuek ya?
***
Pak Lutfi datang, menjemputku untuk sarapan tapi aku beralasan tidak enak badan,
"Padahal keluar aja Nona, biar badannya enak kalau ketemu udara segar, positive vibes, makanan enak." Ujar Pak Lutfi.
"Lemes saya Pak, saya di kamar aja."
"Yaudah Nona, nanti saya bawakan sarapan ya? Nona ada menu khusus yang ingin di-request? Biar nanti saya sampaikan ke Chef-nya."
"Gak usah Pak, apa aja yang ada."
"Oh iya, pukul 9 nanti kita mau ke air terjun, kalau Nona sudah mendingan dan tertarik untuk ikut, Nona bisa telefon resepsionis dan saya akan langsung menjemput."
"Makasi banyak Pak Lutfi, saya langsung telefon kalau sudah enakan." Kataku.
Pak Lutfi lalu pamit, berjanji akan kembali dengan makanan untukku sarapan.
Sebenernya aku bohong, aku lagi males bergaul sama Milly dan keluarganya, plus malu juga kalau nanti ketemu Josh.
Sia-sia banget nih aku, ke tempat begini cuma ngurung diri di kamar doang. Parah.
Baru beberapa menit, pintu kamar diketuk. Aku langsung membukanya karena yakin kalau itu Pak Lutfi yang datang mengantar makanan.
"Lo ngapain?" Bukan pak Lutfi, tapi Josh yang datang dengan senampan makanan yang ditutup dengan tutup kaca, memperlihatkan isi di dalamnya.
"Udah kelar gue masaknya, bisa dilanjut sama Edo Ijul, lo sakit apa?" Tanyanya, ia langsung masuk, meletakkan nampan berwarna emas tersebut di atas meja ruang tamu. Yeah, anggep aja ruang tamu ya? Kamar ini luas soalnya. Dan ini sepaket sofa dan meja dekat kasur yang terpisah oleh kabinet... kita anggep aja ruang tamu.
"Gak enak badan doang," Jawabku singkat, ini Pak Lutfi ngadu ke dia gitu maksudnya? Kok ya dia tahu aku alesan sakit.
"Yaudah, makan gih, kalau gak enak badan, gak usah mandi nanti."
"Gue udah mandi, sorry!"
"Lo keringetan kaya tadi terus langsung mandi? Ya pantes gak enak badan."
"Josh jangan ngomel, please! Gue lagi males dengernya."
"Yaudah, lo kenapa?" Tanyanya lembut.
"Kapan kita balik? Gue Senin kerja."
"Nanti siang beres gue masak,"
"Okay, gue nunggu di sini aja sampe siang." Kataku, kemudian beranjak ke kasur, tak lupa menyambar ponsel dari meja supaya sambil bisa main game.
Aku diam saja ketika Josh ikut bergabung di kasur, fokus pada permainanku.
"Lo demam gak?" Tanyanya, membuatku terkaget karena ia langsung menempelkan tangan di keningku, sedikit mengusap rambutku yang menghalangi.
"Engga Josh, cuma gak enak badan aja."
"Mau pijet? Ada noh fasilitasnya, bisa dipanggil juga kalau mau."
"Gak usah,"
"Yaudah, gue tidur ya, kalau bisa bangunin gue jam 11 ya? Gue masih kurang tidur nih,"
"Okay!"
"Eh iya, sarapan lo! Itu yang di meja makan Ca!"
"Iya gampang,"
Josh kemudian merebahkan diri, tak lama setelah itu kudengar suara dengkuran halus, well, bukan dengkuran sih ini lebih ke napas berat lewat mulut aja gitu.
Setelah melihat Josh pulas, aku beranjak dari kasur, menuju sofa untuk sarapan.
Makanan yang dibawa Josh banyak banget, jadi aku cicip aja masing-masing secuil dan sulit memutuskan yang mana paling enak, enak semua, gila! Josh nih chef apa sih sebenernya? Kek semua makanan bisa gitu dia masak, heran!
Setelah makan, aku nongkrong di sofa yang dekat jendela, melihat pemandangan luar dari dalam kamar. Well, di sini juga pemandangannya udah cukup bagus, kebayang kan di luar kaya apa? Gosh! Someday deh, kalau aku udah tajir, aku balik ke sini.
Tanpa sengaja, aku menguap, jadilah aku kembali ke kasur. Di kasur, aku malah gak tidur, aku hanya memandangi Josh yang terlelap.
Aku memikirkan omonganku semalam, soal aku butuh pacar. Yeah, terbiasa bersama seseorang lalu jadi single gini tuh bukan hal yang mudah. Misal, biasa kalau pakai baju yang ada ritsleting di belakang bisa minta tolong tarikin, sekarang harus tarik sendiri, susah pula. Dulu... kalau pakai sepatu kets pasti diiketin talinya biar kuat, sekarang iket sendiri, terus setiap sepuluh langkah harus iket ulang karena iketannya copot dan aku gak bisa iket tali yang bener.
Dan masih banyak hal lagi, kaya... gosh aku bosen masturbasi, mana kadang gak nemu lagi bokep yang bagus sampe akhirnya gak mood.
Berat banget jadi single tuh!
Kupandangi lagi orang yang sedang tertidur di hadapanku ini.
Asli sih, Josh baik. Dan dia beneran tepat janji anaknya, terus baik banget, gak bohong. Tapi... Meskipun potensial jadi pacar, dan harus kuakui aku emang tertarik sama dia. Josh kayaknya bukan tipe orang yang bisa diajak pacaran, dia anaknya yang nyebelin, bebas begitu. Liat aja FWB-annya aja ada 2.
Diam sejenak, aku memikirkan sesuatu.
Kalau sama Josh, mungkin aku masih tetep harus tarik ritsleting dan iket tali sepatu sendiri. Tapi... aku gak harus self service kan? Dia menawarkan aku jadi FWB-an juga, yang artinya... bisa laaah~
"Josh!" Aku mengulurkan tangan, mengguncang tubuhnya.
"Hemm? Apa sih?" Sahutnya tapi tak bangun sepenuhnya.
"Ada yang mau gue omongin Josh!"
"Yauda apa? Bilang aja, ganggu banget sih lo!"
"Gue mau Josh! Yok! Kita FWB-an." Kataku langsung.
"Hah?!" Josh langsung terbangun sepenuhnya, matanya terlihat bersemangat.
"Lo denger omongan gue, gue gak mau ulang 2 kali." Kataku, jadi malu gini kampret.
"Sekarang jam berapa?" Tanyanya, gak nyambung sumpah, aku ngomong apa, dia malah tanya jam. Ku lirik jam di ponselku kemudian memberitahunya.
"Jam 10 lewat 15,"
"Yaah, cuma 45 menit, mau?"
"Hah?" Syok aku, maksudnya apa? Mau langsung main gitu? Ah gilaaaaaaa!
"Lo kenapa mukanya kaget begitu?" Tanya Josh, aku cuma bisa geleng-geleng kepala karena gak percaya aja gitu.
Shit! Aku emang udah gila kayaknya.
"Mau gak? Kalau mau gue cuci muka nih!" Ucap Josh.
Aku menelan ludah, bingung harus jawab apaan. Ya... aku mau sihh, tapi... langsung aja gitu? Dan ini tuh udah siang, udah kaga morning sex juga itungannya. Doooh!
"Ca?" Josh seperti menuntut jawaban.
"Lo mau?" Aku balik bertanya.
"Lo gila? Dari semalem gue nahan diri buat gak nyerang lo!"
Aku tersenyum mendengar itu. Kalimat itu juga bikin aku tahu, Josh emang bener-bener membuktikan ucapannya.
"Jangan senyum lu kampret, mau gak? Kalau gak gue tidur lagi."
"Emmmm, pengin sih, tapi kurang mood, ya masa mulainya langsung aja gitu? Gak gimana-gimana dulu?" Tanyaku.
"Emang lo maunya gimana? Kalau FWB ya emang gitu kali Ca,"
Aku menelan ludah.
"Yaudah ayok!" Kataku, biarin deh udah, lagian kasian kamar bagus begini kalau gak dipakai ML. Sayang gitu rasanya.
Josh langsung terlihat bersemangat, ia turun dari kasur kemudian lari ke kamar mandi.
Gosh!
Semoga, keputusanku ini tidak akan kusesali di kemudian hari. Amin!
********
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxo
****
Mampir akun Dreame aku yuk!
Ada 7 cerita yang sudah ku pindah ke sana.
It's free to read
****
Ada juga nih yang Available di Google Play Book
Bisa langsung cuss yaaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top