Lima

Hari Minggu, dan aku terbangun karena pintu kamarku diketuk oleh seseorang. Huh? Siapa sih? Gak tahu apa ya hari Minggu tuh jadwalnya aku bangun siang?

Dengan malas, aku berjalan ke arah pintu, lalu membukanya. Begitu terbuka, semerbak aroma makanan menerobos masuk ke hidungku.

"Pagi, 302!" Aku bengong, ada seorang pria asing berdiri di hadapanku, dengan sebuah piring yang atasnya ditutup kertas tisu. Aku yakin, aroma enak makanan itu berasa dari piring ini.

Apaan nih?

"302?" Tanyaku bingung.

"Iya, kamar lo nomor 302 kan?"

"Oh iya, bener. Ada apaan nih? Tahu gak ini jam berapa?"

"Jam 8, waktu yang tepat buat sarapan."

"Ohhhh!"

"Ini, buat sarapan!" Pria ini mengulurkan piring di hadapannya, membuatku langsung fokus, melupakan ngantuk yang kurasakan.

"Buat sarapan? Lo siapa?" Tanyaku, gak mau langsung menerima, takut diracun, astaga.

"Oh iya, lupa kenalan. Gue Josh, penghuni baru kamar 304, kita tetangga. Semalem gue baru pindahan, jadi mau bagi-bagi makanan buat penghuni selantai, biar akrab." Jelasnya.

Dia kamar 304? Berarti persis di sebelahku dong, karena penomoran kamar di sini ganjil di sisi kiri, dan genap di sisi kanan. Aku memandanginya dengan sedikit mengangguk.

Dia tersenyum, dan aku pun langsung mengingat ngantukku yang sedikit tertunda.

"Ohhhh, oke Josh. Gue Aca, makasi makanannya." Kuambil alih piring di tangannya, kemudian menutup pintu tanpa berkata apa-apa lagi.

"Okeehh! Sama-sama, ramah sekali!" Terdengar seruan kesal dari luar. Bodo amat! Suruh siapa ganggu orang tidur sepagi ini?

Kuletakkan piring ini di meja, penasaran dengan apa yang diberikan pria asing tadi. Membuka tisu yang menutupinya, aku langsung menelan ludah ketika melihat dua tumpuk sandwich terhidang di piring.

Tergoda dengan makanan ini, aku menarik kursi, duduk sambil mengangkat satu kaki lalu mulai makan bahkan tanpa cuci muka dan gosok gigi dulu.

Ahhh, gila, ini dia beli sandwich di mana? Enak banget, sumpah! Isiannya tuna, ada telor oreknya juga, sayuran yang pas dan bikin fresh. Ditambah saus entah apa ini. Doooh! Surga!

Kayaknya, aku harus minta maaf ke cowok tadi karena bersikap tidak baik. Soalnya makanannya enak parahhh!

Menghabiskan satu tumpuk, aku menenggak segelas air putih, kemudian balik lagi ke kasur. Lanjut tidur boss, capek!

******
******

Seorang pria berdiri memandangi lukisan pemandangan yang menghiasi ruangan ini, bukan, ternyata ia tidak sedang memandangi lukisan itu, ia hanya sedang melamun dan matanya terarah ke sana.

Menit-menit berlalu, pria ini masih terpatung sendirian, entah apa yang ada di kepalanya sampai ia bisa terdiam untuk waktu yang cukup lama.

"Dek, yuk, kamu udah boleh masuk." Naomi, kakak perempuan dari lelaki ini menghampiri dari bagian dalam rumah.

Hari ini adalah hari pertemuan, di mana Nico dan keluarga berkunjung ke rumah calonnya, namun sedari tadi Nico tidak dipersilahkan masuk, katanya sih menunggu sesuatu.

Menggandeng lengan Naomi, Nico berjalan pelan menuju bagian dalam rumah. Perasaannya tegang, ia harus bertemu dengan wanita asing yang kelak akan menjadi pasangannya.

Pikirannya langsung terbang ke Natasha, atau Aca, mantan pacarnya yang sudah menemani dalam banyak macam ujian hidup. Nico sangat tahu, hal yang ia lakukan ini adalah pengkhianatan terhadap hubungannya dengan Aca.

"Selamat datang, Nico!" Pikiran Nico buyar, ia sudah disambut oleh keluarga sang wanita, sementara mata Nico mencari, mana wanita yang akan dijodohkan dengannya.

"Terima kasih, tante." Sahut Nico lembut.

"Sebentar lagi Nadya masuk sini." Ujar seseorang, membuat Nico mengangguk, lalu ia duduk di kursi yang sudah disediakan.

Hanya sekian menit menunggu, seorang wanita cantik masuk ke ruangan ini, terlihat anggun dalam balutan kebaya modern. Membuat Nico langsung tersenyum.

Nico hanya terlibat sedikit di obrolan ini, pamannya lah sebagai perwakilan keluarga yang banyak mengutarakan niat, dan lain sebagainya. Sementara Nico, tidak mendebat apapun. Ia hanya sedikit terkejut ketika mendengar tanggal pernikahan yang tak sampai dua bulan lagi.

Secepat itu? Batinnya.

Nico kembali sibuk dengan pikirannya, memikirkan Aca yang masih sangat disayanginya.

Acara pertemuan berjalan dengan baik. Nico dan Nadya sudah resmi bertunangan dan bertukar cincin.

Sesampainya di rumah, Nico hanya memandangi langit-lamgit kamarnya, ia bingung dengan perasannya sendiri, karena jauh di dalam lubuk hatinya, ia masih sangat mencintai Aca, namun ia juga tidak bisa jika harus melepas semuanya bahkan keluarganya demi Aca.

Memikirkan Aca, membuat Nico merindukan gadis itu, wanita yang sudah 3 tahun menemaninya dalam segala situasi. Aca ada saat Nico harus kehilangan Papanya, hal yang sama terjadi ketika Aca kehilangan Mamanya. Mereka saling mengisi, memberi semangat dan menjadi orang yang memastikan kalau hidup tetap akan baik-baik saja.

Sedih rasanya ketika menyadari Nico tak bisa bersama Aca lagi. Dan rasa bersalah pun muncul karena tahu Nico sendiri lah yang membuatnya tak bisa bersama Aca.

Terlihat Nico menarik napas panjang, ia bangkit dari kasurnya kemudian menyambar jaket yang tergantung di paku, lalu keluar dari kamar.

"Mau kemana Nic?" Tanya Bu Rosa, Mamanya Nico.

"Keluar bentar Ma, beli rokok."

"Yaudah, tutup lagi pagernya ya?"

Nico mengangguk, lalu ia mengambil kunci motor, dan melesat ke luar, mengendarai motornya cukup jauh dari rumah tempat tinggalnya itu.

Nico berhenti di sebuah kost-kostan, tempat yang selama dua tahun terakhir menjadi rumahnya. Ke sini lah tujuannya. Ia memarkirkan motornya, lalu naik ke lantai tiga, ke kamar nomor 302.

Mengetuk pintu beberapa kali sebelum akhirnya pintu itu terbuka, Nico langsung tersenyum melihat wajah wanita cantik yang ia sayangi ini. Dengan bergairah, Nico langsung mengecup bibir pink wanita itu, membuat Aca yang tidak siap terkaget namun tak sanggup juga dapat untuk menolak.

"Nic kamu apaan sih?" Aca yang sudah mendapatkan tenaganya kembali langsung mendorong Nico. Tapi Nico malah maju beberapa langkah, masuk ke kamar kost tersebut lalu menutup pintu di belakangnya. Aca mundur sedikit, heran dengan tingkah laku mantan pacarnya ini.

"Aku gak tahu Ca, bisa apa aku hidup tanpa kamu?" Ucap Nico lirih.

"Kamu Nic, yang milih ninggalin aku."

"Maaf," Nico kembali mendekat, kamun kali ini Aca tak sempat mundur, membuat Nico kembali menyerang bibirnya lagi.

Membalas ciuman Nico yang sangat ia rindukan, Aca terbawa suasana, ia mengalungkan tangannya ke leher Nico, membuat pria itu lamgsung menggendongnya dan membawanya ke kasur.

Saling melucuti pakaian masing-masing, Nico langsung memainkan payudara milik Aca ketika kaus oversize yang dikenakan Aca terlepas.

"Gosh! I miss these." Ucap Nico lalu memainkan payudara Aca dengan lidahnya.

Menikmati sentuhan Nico, Aca hanya bisa memejamkan mata sambil menjambak kecil rambut Nico.

Karena perasaan rindu sudah menggunung, tak lama waktu yang mereka butuhkan untuk pemanasan, hingga adegan utama dari pelepasan rindu kedua anak manusia ini pun terjadi begitu saja.

Nico yang sudah beberapa minggu tidak menyalurkan hasratnya, membuat ia tak bisa menahan klimaks, hingga adegan utama keduanya terjadi kurang dari tiga menit. Membuat Aca syok ketika Nico menyemprotkan cairannya di perut Aca.

"Sorry!" Ucap Nico ketika Aca memandangnya dengan tatapan kecewa. Ya, gadis itu belum merasakan klimaksnya malam ini.

Aca mendorong Nico, ia berlari ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya dari cairan Nico yang belepotan di tubuhnya.

Saat keluar dari kamar mandi, Aca terkejut melihat Nico sudah mengenakan kembali pakaiannya, membuat emosi gadis itu mendadak naik.

"Kamu mau pergi diem-diem lagi? Kaya pas aku sakit."

"Aku harus pulang Ca, Mama nyariin kalau aku gak pulang."

"Kamu tuh ke sini cuma buat buang sperma doang? Kamu anggep aku apa Nic? WC umum?"

"Gak gituuuu, Aca!" Nico menghampiri wanitanya, memeluk Aca yang masih telanjang tak tertutupi sehelai benang pun.

"Terus apa? Kamu ke sini buat apa?"

Nico tak menjawab pertanyaan Aca, ia hanya diam, memeluk Aca. Membuat Aca makin marah.

Didorongnya Nico menjauh, Aca lalu menarik selimut untuk menutupi tubuhnya, lalu ia berjalan menuju pintu, membuka daun pintu itu lebar-lebar.

"Pergi kamu sekarang! Udah kan? Kamu udah keluar kan? Apa lagi? Pulang sana!" Usir Aca dengan nada tinggi.

Tak berani menatap mata Aca, Nico hanya sanggup menunduk, kemudian berjalan keluar kamar. Lagi-lagi, ia menyesal sudah membuat Aca kecewa.

*********

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter

Ps: bingung nyari cast, coba saran dong saran heheheheh buat jadi Aca sm Nic

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top