Empat
"Udah sembuh lo?" Tanya Atta ketika aku memberikan bahan presentasi untuknya.
"Udeh, makasi yaa boss!"
"Santai, eh tapi kok kemarin itu si Nico gak tahu lo sakit, dia balik ke rumah emaknya emang?"
"Gue sama dia putus Ta, gak tahu deh dia tinggal di mana, iya kali di rumah emaknya." Jawabku belaga santai.
"Demi apa lo putus?"
"Serius, gak bohong gue."
"Kenapa? Ada cewek lain? Tapi dia masih care banget keliatannya, pas gue bilang lo sakit aja dia panik Ca."
"Iya, dia ke kostan kok balik kantor, tapi yaudah, gak ada yang berubah, kita tetep putus." Suaraku sedikit bergetar mengucapkan kalimat barusan.
"Gara-gara apa?" Tanya Atta.
"Ada lah, urusan keluarga." Hanya itu jawabanku.
"Terus kita sama anak-anak makan siang gimana dong? Padahal kan kalian yang menyatukan kantor ini sama kantor seberang."
"Ya lo kalau mau makan siang bareng anak-anak ke sana yaudah, gak apa."
"Terus lo?"
"Gue ke atas aja," Atas yang kumaksud adalah cafetaria kantor ini yang berada di lantai 18, emang sih makanannya kurang enak dan gak banyak pilihan, mahal pula, tapi ya gimana lagi?
"Gak asik lo!" Seru Atta, aku hanya mengangguk, kemudian obrolan curhat-curhatanku berakhir, Atta bertanya banyak soal materi presentasi yang kubuatkan untuknya besok.
"Eh bentar, balik lagi ke elo, apa jangan-jangan lo sakit kemarin tuh bukan allergi?"
"Bawel lo, ini catet dulu!" Seruku.
"Ehh songong, berani lo bohong sama gue Ca? Astaga, kurang baik apa gue sebagai temen lo? Hah?"
"Kenapa nih?" Fadli, kepala departemen sebelah datang bergabung masuk ke ruangan Atta yang pintunya memang terbuka.
"Ini, si Aca, putus sama Nico, gilak ya?"
"Hah? Serius Ca?" Tanya Fadli kaget. Mungkin ia kaget karena Nico gak bilang kali ya? Karena setahuku Nico ya paling deket sama Fadli.
"Naah sama, ekspresi kaget gue juga begitu!" Seru Atta.
"Kalian udah dong! Jangan gue yang dicecer pertanyaan, capek sumpah!" Aku berdiri, meninggalkan ruangan Atta lalu kembali ke mejaku. Dari pada aku ladenin mereka terus nanti nangis lagi, ya mending aku kerja.
Mengerjakan semua kerjaanku yang tertumpuk karena 2 hari bolos, aku pusing banget, mana ada kerjaan yang deadline-nya kemaren pula, ini sih aku harus ke Pak Isa deh buat minta maaf.
Setelah mengurus kerjaan yang terlambat, aku ngacir ke toilet karena sudah jam makan siang. Aku males, karena tadi udah lihat gerak-gerik Atta, dia pasti tuh mau ngajak bareng sedangkan aku udah gak mood makan bareng seperti biasanya.
Selesai urusan kamar mandi, aku buru-buru jalan menuju lift, biar bisa makan di atas karena udah laper banget, aslinya deh. Tadi pagi aku gak sempet sarapan.
Cafetaria kantor nih punya plus minus, plusnya tempatnya bagus, meskipun ada di lantai atas tapi terdapat taman yang bikin mata jadi seger, lalu ada tempat yang indoor dan outdoor untuk para perokok, enak deh pokoknya. Sedangkan minusnya yang tadi kubilang.
"Bu, soto betawinya satu yaa!" Aku memesan makanan untuk siang ini.
"Minumnya?"
"Es teh manis aja."
Karena ini sistemnya gak dianter, jadi aku menunggu makanannya selesai disiapkan baru deh mencari meja.
Tertarik dengan taman di luar, aku akhirnya memutuskan makan di bagian outdoor. Biarin deh nyatu sama para perokok, toh ada hijau-hijauan jadi asap beracun rokoknya langsung dimakan sama pepohonan.
Memilih meja dengan yang agak di pojok persis di sebelah taman, aku mulai menyantap makan siangku sambil meratapi nasib.
Gosh! Biasanya aku makan bareng-bareng, sambil ngobrolin bola lah, gosip selebriti lah, gosip atasan lah, apa aja deh. Eh sekarang, aku sendirian duduk di pojokan gak punya temen.
Sebegininya ternyata ya dampak putusnya hubunganku dengan Nico. Sementara Nico sendiri sepertinya sudah bulat dengan keputusannya. Kemarin lusa, ia bahkan pergi ketika aku tertidur. Membuatku terbangun tengah malam dalam keadaan dingin dan sendirian.
Aku menelan makananku, sambil menguatkan diri kalau aku bisa. Yeah, aku pasti mampu melewati ujian yang satu ini. Aku pernah melalui sakit yang lebih parah dari ini. Saat aku kehilangan Mama, satu-satunya orang tua yang ku miliki.
"Mbak, boleh sharing, yang lain penuh!" Aku tersadar, ada seorang pria berdiri di depan mejaku, membawa nampan.
"Oh iya Mas, silahkan." Kataku setelah melirik meja sekitar dan mengetahui kalau meja lain penuh.
"Makasi Mbak!" Ia segera duduk, lalu mulai menyantap makanannya tanpa banyak bicara.
Aku menunduk, memandangi soto yang sudah setengah ini lalu lanjut memakannya.
"Mbaknya dari lantai berapa?" Tanya mas di hadapanku ini tiba-tiba.
"Ehh, saya dari lantai 15, Mas."
"Ohh, pantes gak pernah liat, beda kantor ternyata kita."
Aku hanya tersenyum. Nah, jadi bangunan gedung tempatku bekerja ini memang terdiri dari beberapa perusahaan. Satu perusahaan ada yang menempati dua lantai, satu lantai atau tiga lantai, tergantung besarnya perusahaan tersebut. Perusahaan ku sendiri ada 3 lantai, dari 15-17. Lalu lantai 18 dikhususkan untuk cafetaria, nah mulai dari lantai 19 sampai 25 tuh eksklusif para bos-bos deh isinya, perusahaannya aja udah yang ngeri banget aku.
"Duluan, Mas." Kataku ketika aku selesai makan.
"Duluan?" Ujarnya, membuatku gak jadi berdiri.
"Eh? Iya, saya duluan, udah selesai makannya." Kataku.
"Iya tahu mbaknya udah selesai, terus kenapa bilang duluan? Nanti saya harus nyusul mbaknya gitu?"
Aku bingung. Ini orang gak kenal basa-basi apa gimana sih?
"Engga Mas, gak usah nyusul. Saya cuma basa-basi aja, buat balik lagi ke lantai 15."
"Ohh, okay, silahkan." Katanya, lalu aku tersenyum kecil, sedikit mengangguk kemudian bangkit, membawa nampan kotor untuk diletakkan di rak khusus yang tersedia.
Turun tiga lantai, aku kembali ke mejaku, dan menemukan sebuah lunch box di meja, kuambil post-it yang tertempel di atasnya.
Sorry karena yang tadi kelewatan dan gak mikirin perasaan lo.
-Atta-
Aku tersenyum, lalu duduk dan membuka kotak tersebut. Aku tersenyum memandangi satu porsi pempek yang ada di dalamnya, masih hangat.
Kubawa kotak ini ke ruangannya Atta, mengetuk dua kali pintunya sebelum membukanya.
"Ta?"
"Hehehe, udah lo terima?"
Aku mengangguk, lalu berjalan mendekat, duduk di kursi seberangnya.
"Kenyang gue, tadi di atas makan soto."
"Kok lo gak ajak sih? Gue itu order tahu, gue gak ikut Fadli sama Rina ke cafe."
"Lha? Suruh siapa?"
"Gak enak sama lo."
"Udah gak apa, gue yang putus kan gak bikin lo sama yang lain berhenti temenan."
"Tapi kan gue kenal mereka semua gara-gara lo."
"Emm, iya juga sih, tapi yaudah lah, kan udah jadi temen lo juga."
"Emmm, liat nanti deh, kalau lo biasa aja baru gue makan sama mereka lagi."
"Gue biasa aja, Atta!!" Seruku meyakinkannya.
"Iya iya, gue percaya."
"Tadi gue di atas semeja sama cowok ganteng,"
"Kok bisa?"
"Ya bisa, penuh di atas terus dia minta sharing table. Yaudin."
"Heran deh gue, di atas kan makananya kureeng yaa, tapi rame mulu. Pake dukun kali ya?"
"Sembarangan aja lu! Ya mungkin orang-orang pada males ke luar? Jauh? Atau bisa jadi sekadar ngeceng cari cowo, soalnya tadi gue liat-liat pada cakep-cakep Ta! Hemm, jadi sebel gue sama cowok tadi!"
"Apa sih lo? Gak jelas!"
"Iya, niatnya gue pengin santai dulu tadi, abis makan duduk-duduk manja nikmatin taman, liat jalanan tengah hari bolong, eh gara-gara dia makannya lama, gue gak enak duduk di sana, yaudah gue turun."
"Drama ya lo, masalah duduk doang!"
"Yee gue kan baru putus Ta, boleh kali gue lirik-lirik." Kataku membela diri,
"Nikmatin dulu masa-masa single, baru juga jomblo 2 hari lu. Kaya gue nih, enak kan hidupnya? Yang jadi beban pikiran cuma kerjaan."
"Hoh, dari gue masuk kantor ini, lo jomblo dan gak ada tuh lo punya pacar Ta. Lo kayaknya lupa ya rasanya pacaran kek apa?"
"Bangke emang lu!"
Aku tertawa.
"Single tuh puas-puasin cari gebetan, banyak sekalian, biar bisa milih. Jangan fokus di satu orang lah, pusing lu yang ada. Mending pusing karena banyak daripada pusing terus cuma atu. Jadi pusing lo gak sia-sia. 3 tahun lo sama si Nico, 3 tahun peluang lo ketemu jodoh lo terhambat."
Aku yang tadinya nyengir langsung cemberut. Kenapa sih Atta pake bawa-bawa nama Nico segala? Kan hati aku mendadak jadi pedih mendengar nama itu.
"Kelewatan lagi ya gue? Kudu pesen pempek lagi gak ini?" Ujarnya tak enak, tapi nada suaranya becanda.
"Sialan lu!"
"Udah sana balik kerja! Gue kudu siapin diri buat presentasi besok, lo temenin gue ya Ca?"
Aku mengangguk.
"Yaudah gue pamit ya? Makasih pempek-nya, mayan malem gue gak usah beli makanan."
"Yoooo!"
Hanya itu sahutan dari Atta, jadi aku berdiri, berjalan meninggalkan ruangannya untuk kembali ke mejaku.
Menarik napas perlahan. Aku tersenyum pada diriku sendiri. Tadi, aku bisa makan siang sendirian, biarpun agak ngenes, tapi ya aku bisa. Jadi, aku pasti bisa juga melewati semua ujian ini.
Pasti!
Yok, bisa yok Ca!
*****
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top