Dua puluh tujuh
Ponselku berdering ketika aku sedang berjalan ke ruangan, baru selesai rapat. Nama Nathan muncul di layar.
"Yoo, kenapa Than?" Tanyaku.
"Bisa ke rumah?"
"Kapan?"
"Malem ini, besok, lusa? Bebas sih."
"Malem ini gue ada les nari, besok paling ya?"
"Yaudah okay, janji ya?"
"Ya gak janji juga, mana tau besok gue ada kerjaan dadakan?"
"Yaudah kabarin kalau emang bisa berangkat ke sini, oke?"
"Ada apa sih?"
"Udah lah sini aja pokoknya."
"Yaudah kalo gitu, kalo gak penting-penting amat sih gak gue prioritaskan!"
"Gitu banget lo sama abang sendiri."
"Bodo!"
"Yaudah bye!"
Aku terus berjalan menuju ruanganku, dan begitu membuka pintunya, syok dong aku liat ada Arya duduk di sofa.
"Heh? Ngapain di sini?" Tanyaku kaget, asli ini jantung gak pake aba-aba langsung dangdutan.
Arya berdiri ketika ia melihatku.
"Tadi aku ke sini katanya kamu lagi rapat, eh disuruh tunggu sama yang namanya Fadlan, jadi yaudah, aku nunggu."
"Yaudah, duduk aja." Kataku santai, udah mulai bisa mengontrol diri.
"Tutup pintunya Ca, biar yang lain gak kepo."
Aku yang memang belum duduk pun akhirnya mengarah ke pintu, lalu menutupnya. Setelah itu aku ke arah mejaku dulu, menukar heels yang kupakai dengan flat-shoes.
"Kenapa?" Tanyaku sok gak punya dosa.
"Kamu gak mau bales chat aku, gak angkat telefon juga."
"Aku gak tahu Arr,"
"Kayaknya kita sama-sama udah tahu kaya apa kehidupan satu sama lain." Ujar Arya sok tahu.
Apa? Dia berasa langsung tahu kehidupanku kaya gimana? Cuma gara-gara momen mau threesome tapi gak jadi? Dih!
"Aku ke kamu tetep sama Ca, tetep suka. Tetep pengin jalin hubungan serius, kalau emang bisa dan kamu mau."
Aku syok denger itu. Asli nih Arya? Gila juga dia.
"Aku jujur ya? Aku sama Josh emang sama-sama bandel. Kalau Josh karena emang gak mau punya hubungan serius lagi, kalau aku ya emang masih nyari yang sreg."
"Aku... aku gak tahu Ar mauku apaan sekarang." Kataku.
"Boleh gak sih aku ajak kamu pacaran? Terus kita sama-sama declare kalau kita serius, gak nyari orang lain lagi, dan gak mau nyoba apa lagi. Komit di hubungan yang tertutup cuma antara kamu dan aku?"
"Hah?" Aku melongo dengernya. Anjir, pacaran aja belum udah bawa-bawa komitmen.
"Kita udah sama-sama dewasa Ca, mau nyari apa lagi sih?"
"Iya sih, kamu bener... tapi..." Aku gak sanggup ngomong, sumpah.
"Yang kemarin-kemarin anggep aja gak pernah kejadian Ca. Kita fokus jalanin yang ke arah serius aja. Yang kemarin itu ya permainan, anggep aja begitu, jadi ya gak beneran. Main doang."
Kenapa Arya bisa ngomong santai begini? Gosh, coba kasih aku petunjuk dong wahai kanebo kering yang kusembah? Jangan bikin aku beralih ke kerang ajaib nih!
"Aku, aku nggak tahu Ar, mau gak dianggep pun kan udah kejadian, nempel gitu di otak."
"Anggep aja mimpi buruk."
Heu, bisa gitu ya?
"Mimpi buruk sama masa lalu tuh sama Ca, cuma bisa dikenang aja kan? Gak pengin kejadian lagi."
Aku masih diam.
"Kamu mau gak?" Tanya Arya.
"Aku... aku gak tahu Ar, sumpah."
"Mau nyoba hubungan serius sama aku?"
"Aku harus jawab sekarang?" Tanyaku, asli kalau Arya minta jawaban sekarang sih aku gak bisa. Aku belum dapet petunjuk dari kerang ajaib. Aku harus rapat dulu sama SpongeBob dan Patrick!
"Aku sih ngarepnya kamu langsung kasih jawaban, biar gak ada lagi yang ganjel di hati Ca."
Aku menelan ludah.
"Besok ya? Gimana?"
Arya tersenyum ia pun akhirnya mengangguk. Aku sedikit lega, seenggaknya aku gak ditodong jawaban sekarang banget. Pusing asli!
"Yaudah, aku balik lagi ke atas ya?"
"Kamu ke sini cuma mau bilang itu aja?"
"Hemm! Aku pengin clear antara kita Ca, gak enak didiemin terus sama kamu,"
"Okay, sorry!"
"Gak apa, aku balik ya?"
"Sip!"
"Pulang janjian di lobby yuk? Bareng?"
"Oke!"
Arya tersenyum, lalu ia pun keluar dari ruanganku, menutup kembali pintunya padahal sebenernya gak perlu.
Gosh! Kasih jawaban apa aku besok?
*********
****
Aku sudah punya jawaban, karena menginginkan masa depan yang jelas, aku akan memutuskan kalau aku mau pacaran sama Arya. Memulai hubungan yang serius dengannya.
Saat kuberitahu hal ini, Arya senang tentu saja. Ia merasa mendapatkan kesempatan kesekian dariku. Dan, aku juga berterima kasih padanya yang masih mau denganku meskipun ada kejadian yang sedikit gak enak.
"Pulangnya bareng lagi ya?"
"Eh? Gak usah, hari ini aku mau ke rumah Abang."
"Aku anter ke sana, mau?"
"Gak usah, jauh rumahnya,"
"Bener?"
"Iya, aku naik taksi aja."
"Okay kalau gitu."
Senyum tak pernah berhenti mengembang dari wajah Arya sejak kubilang aku mau berpacaran dengannya. Asli, Arya nih jadi kaya ABG kasmaran begitu deh.
"Yaudah balik lagi ke kantor yuk?" Ajakku, karena siang ini kami makan di luar.
"Okeee, yok!"
Sepanjang jalan nih, meskipun lagi nyetir, Arya megangin tangan aku mulu, takut aku kabur kali ya? Buseet dah, ini tangan lepas kalau dia mindahin gigi doang, sumpah.
"Bye! See you tomorrow!" Serunya ketika aku keluar dari lift.
"Bye!"
Di ruangan, aku senyum-senyum sendiri. Anjir lah, kenapa aku jadi ketularan Arya gini sih? Tuhan!
*********
"Ikut gue yuk?" Ajak Nathan.
"Kemana?"
"Udah ikut aja."
"Istri sama anak lo?" Tanyaku.
"Aini tahu gue mau keluar sama lo."
"Emm yaudah oke!"
Aku naik ke mobil pick-up milik Nathan, yap, dia emang ambil cicilan mobil pick-up double cabin gini. Katanya biar bisa dipake jalan sama keluarga, plus buat belanja ke pasar. Aku sih senang-senang aja, toh bermanfaat buat kehidupannya dia dan memudahkan juga.
Nathan membawaku ke arah Bogor, dan ya.. benar, dia mengajakku kembali ke kota kelahiran kami berdua. Tempat di mana kami menghabiskan masa kecil dan remaja.
Lalu, Nathan mengarahkan mobilnya ke pinggiran kota, kemudian masuk ke gapura apa tau dehh gak jelas, udah malem soalnya, gelap.
Ternyata ini tuh perumahan, Nathan lalu berhenti di sebuah rumah, dan ia pun mengajakku turun.
"Gimana?" Tanya Nathan sambil menunjuk sebuah rumah yang gelap, gak ada lampu yang menyala. Gak kaya rumah lain.
"Maksudnya?"
"Aini bilang, lo gak mau duit pinjeman itu kita balikin. Terus dia ide ini, beliin lo rumah pake duit lo itu. So, ini rumah lo dek! DP sama cicilan beberapa bulan udah gue bayarin, sisanya lo ya?"
"Hah?" Asli dong aku syok, gila... gak kebayang aku bisa punya rumah. Selama ini pewe aja udah tinggal di kost-kostan.
"Yap, beberapa bulan lagi juga lo ulang tahun kan? Maap ya? Kado ulang tahun dari kita pake duit lo sendiri."
"Seriusnya ini Than?" Tanyaku.
"Serius! Masuk yuk, lo liat deh dalemnya."
Dari luar aku sih suka, ini rumahnya dua lantai, sederetan sama semua bangunannya. Tipe yang gak ada pager gitu. Di depan ada taman seuprit, sisanya tempat parkir mobil. Agak naik sedikit teras yang ukurannya mungkin hanya satu kali tiga meter.
Nathan membuka pintu rumah dengan kunci ditangannya, lalu ketika masuk aroma rumah yang baru dicat langsung menyerbak. Menyalakan lampu, aku langsung suka sama rumah ini.
Begitu masuk ada ruangan panjang, lalu ada tangga yang membatasi ruangan ini dan dapur yang terlihat lengkap dan lumayan luas.
Well, ruangan ini bisa dipakai jadi ruang tamu, terus dapur bisa nyatu sama ruang makan, asal desainnya nanti bener dan dapat pembatas yang tepat, pasti jadi kece.
Berjalan lebih jauh ke dalam, di lantai satu ada kamar ternyata, dekat dapur posisinya, lalu ada kamar mandi. Masih di dekat dapur, ada pintu ke luar, ke sisa halaman belakang yang kecil banget, kayanya space kecil ini tuh buat sirkulasi udara kali ya?
"Naik ya?"
Aku mengangguk, kemudian kami naik ke lantai dua, ketika Nathan menyalakan lampunya, lagi-lagi terlihat ruangan kosong.
Em, yang ini cocok nih buat ruang keluarga. Taro sofa yang nyaman, taro TV yang gede sama meja kayu gitu. Kece deh.
Di atas ada dua kamar dan satu balkon seadanya. Masuk ke kamar terdekat, aku bisa lihat ukuran kamarnya lumayan. Muat deh masuk kasur queen-size, lemari sama meja. Di ruangan ini juga ada pintu lain. Asumsi ku, kamar mandi.
Kamar satunya ukurannya sama, cuma gak ada kamar mandi. Berarti rumah ini kamar mandinya cuma dua. Di kamar utama dan di bawah. Oke deh cukup. Aku suka sama rumahnya.
"Gimana? Oke kan?"
"Oke Than, oke banget!"
"Gue udah urus pembayaran, tanda terima ada, tapi belum ngurus surat kepemilikan, biar nanti bareng sama lo dan rumahnya langsung atas nama lo. Kalau gue urusin lo gak ada, ribet, entar rumahnya jadi atas nama gue."
"Makasih ya Than, gue gak kepikir loh punya rumah."
"Sama-sama, ini duit lo juga kok!"
"Emang warung lo selaku itu ya Than? Ampe bisa ambil mobil, ambil rumah ini? Uang tabungan lo aman kan?" Tanyaku.
"Aman, semoga sih stabil gini terus. Warung rame banget Ca, asli, sehari kotor tuh bisa sampe 20 juta,"
"Waaah?"
"Kotor yaa itu."
"Ya tahu, tapi kalau lo dapet 10% aja sehari bisa sampe 2 juta dong? Edan! Sebulan bisa dapet 60 jutaan lu? Matik! Gue buka warung aja apa ya? Capek juga kerja nine to five begini gue!"
"Hahahahah lucu ah lo!" Nathan malah ngetawain.
Aku dan Nathan diam, kami asik nangkring di balkon memandangi pemandangan yang gak bagus-bagus amat. Karena gelap dan... jejeran rumah doang pemandangannya, setipe semua pula.
"Makasih ya Ca, lo udah bantu gue di saat keluarga gue terpuruk, tanpa pamrih, tanpa jaminan apa-apa lo ngasih kita duit segede itu."
"Kita kakak adek kali Than, udah seharusnya gue bantuin lo."
"Tapi gue gak ada pas lo down, pas Mama pergi. Itu dosa gue yang gak akan pernah bisa gue tebus kayaknya."
"Yaudah Than, apa yang udah lewat yaudah, biarin aja. Gak bisa juga kita ubah masa lalu."
"Thanks Ca!" Seru Nathan lagi, kali ini sambil merangkul bahuku, membawaku mendekat kepadanya.
"Yeah, sama-sama!" Sahutku sambil menepuk tangan Nathan yang ada di pundakku.
Aku tersenyum, senang karena hidupku mulai membaik. Ya, semoga bisa seterusnya begini.
*******
TBC
Thanks for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top