Dua puluh lima

Aku masih mengabaikan semua text dan telepon dari Arya. Bahkan, aku langsung menghapus setiap pesan yang masuk darinya. Gak kuat aku baca.... apapun yang dia kirimkan itu.

Sekarang, tinggal di kostan jadi agak kurang nyaman. Aku berasa kucing-kucingan sama tetangga sebelah. Mau keluar kamar aja kudu intip kiri kanan dulu, biar gak papasan sama Josh!

Ribet lah idupku sekarang.

Sabtu pagi, aku bahkan menunda pergi ke Laundry karena tahu Josh pasti berangkat pagi. Jadi aku memilih agak siangan membawa tumpukan baju kotorku yang sudah menumpuk selama dua minggu.

Kebayang kan banyaknya kaya apa? Ini kalau aku gak ke laundry, bisa-bisa senin aku bugil ke kantor karena kehabisan baju.

Sabtu pagii kugunakan untuk bebersih kamar, nyapu, pel, lap jendela balkon, apa aja deh, biar berasa hidupku nih berguna yaa!

Pukul 11 siang, aku baru keluar kamar, menarik-narik tas berisi baju kotor turun ke lantai satu. Karena bajunya banyak, aku memutuskan naik ojek pangkalan, bukannya berjalan kaki seperti biasanya.

Urusan laundry kelar. Sekarang urusan perut. Laper banget aku, belum sarapan dari pagi karena di kostan gak ada apa-apa. Dan, memang sudah jadwalnya aku belanja bulanan.

Kalap belanja karena berasa butuh ini-itu, aku bahkan sampai minta bantuan Mang Cahya untuk membawa barang-barangku ke lantai tiga.

"Masa kemaren-kemaren si Bang Josh kira neng Aca pindah!" Ujar Mang Cahya ketika kami mengangkut barang.

"Eh? Kenapa mikir pindah?"

"Ya gak tahu neng, tapi dia teh kaya yang kepo pisan gitu. Mang Cahya mah gak mau ikut campur yaa, cuma mau nasehatin, kalau sama tetangga mah jangan ribut-ribut Neng. Mang Cahya juga bilang gitu kok ke Josh, eh dianya malah melengos, teu sopan pisan."

"Hahaha udah biarin aja Mang, gak ada apa-apa kok, emang semingguan kemaren gak ketemu, makanya kali dia nyari. Kan dia biasanya suka ketok kamar pinjem atau minta apa gitu." Jelasku.

"Oh yaudah atuh, syukur kalau emang gak ribut mah. Neng Aca jangan pindah ya!"

"Belom kepikiran pindah sih Mang, nyari kostan kan susah yaa, cocok-cocokan terus udah enak di sini. Ada dapurnya, mandi ada air angetnya, enak lah!"

"Iya Mang Cahya juga seneng Neng Aca tinggal di sini, kirain waktu itu pas Nico pindah, Neng Aca ikutan."

Aku diam, sumpah... Nico tuh sekarang kaya cerita dari kehidupan sebelumnya gitu. Dan ada orang yang tahu aku dan Nico pernah bersama tuh agak gimana yaa... nyes hatiku.

"Tadi Mang Cahya bilang saya jangan pindah, kenapa gitu?" Aku mengalihkan pembicaraan biar gak bahas Nico lagi.

"Neng Aca baik, tiap minggu suka ngasih duit jajan buat Mang Cahya hehehe."

"Lha itu kan karena Mang Cahya tiap minggu angkatin galon saya ke atas, hehehe."

Kami sampai di lantai tiga, sudah di depan kamarku. Kuturunkan barang-barang ini karena harus mengambil kunci dari dalam tas.

"Dibawa masuk neng?" Tanya Mang Cahya ketika pintu terbuka.

"Iya Mang, punten." Kataku, Mang Cahya membuka sendalnya, kemudian masuk ke dalam kamarku dan meletakkan barang belanjaan di depan kulkas.

"Makasi ya mang!" Ucapku sambil memberikan salam tempel.

"Iya Neng sama-sama, ditinggal ya!"

Aku mengangguk, Mang Cahya keluar sambil menutup pintu.

Aku sendiri melemparkan tas ke kasur, mengganti celana jeans yang kupakai dengan celana katun pendek. Setelahnya baru aku membongkar semua belanjaanku. Memasukan buah ke kulkas kecuali pisang dan jeruk, kusimpan di piring lalu diletakkan di meja makan.

Kurapihkan barang-barang yang harus masuk kulkas seperti telur, sosis, nugget, daging giling, dan beberapa jenis sayuran.

Urusan kulkas selesai, sekarang yang masuk ke kitchen set, gula, teh celup, kopi instan, bumbu masak dan aku baru saja beli berbagai macam rempah seperti parsley kering, oregano, kayu manis bubuk, pala bubuk, karena sebelumnya aku gak punya yang gituan.

Asik membereskan barang, kudengar pintu kamarku diketuk. Aku berjalan santai ke pintu dan sedikit menahan napas melihat Josh di depanku. Dan.. dia gak sendiri, ada anak kecil manis dalam gendongannya, cantik banget.

"Gue tahu lo lagi menghindar dari gue, but I really really need your help!" Ucapnya terdengar sungguh-sungguh.

"Apaan?" Tanyaku.

"Lo bisa gantiin popok?"

"Hah?"

Josh melirik ke anak kecil dalam gendongannya, usianya mungkin baru satu tahun.

"Dia poop?" Tanyaku.

"Kayaknya, gue gak bisa gantinya. Her mom is not around."

"Masuk!"

Untung aku pernah beberapa kali gantiin pokoknya Ivanka, jadi terlatih lah aku, hehehe.

Aku mengulurkan tangan pada anak ini dan ia tersenyum lalu mencondongkan tubuhnya ke arahku. Menggendong anak lucu ini, Josh meletakkan tas yang ia gendong di kursi dandanku.

"Nih, kayaknya sih peralatannya ada di sini."

"Coba bukain, terus cari baju ganti sama diapers."

"Doh, gue gak paham!" Serunya.

Kuberikan anak kecil ini ke Josh tapi eh bocahnya malah gak mau, jadi aku menggendongnya dengan sebelah tangan, lalu tangan kananku mencari barang-barang.

"Dia udah mandi?"

"Belum,"

"Yaudah sekalian aja." Aku mengambil pouch yang tadi kulihat berisi peralatan mandi bayi. Lalu menarik handuk, kain, baju dan diapers.

"Umur berapa Josh?" Tanyaku.

"Setahun lebih... emmm setahun 6 bulan sih kayaknya."

Aku mengangguk. Lalu anak ini minta turun, dan ia berlari kesana-sini ketika kuturunkan.

"Et et et, don't mess up Aunty Aca's room, okay?!" Josh mengejarnya, menahannya tepat sebelum anak kecil ini menarik taplak mejaku.

Bukan takut berantakan sih aku, lebih ngeri ni bocah ketiban pisang sama jeruk.

"Jagain bentar Josh, gue siapin airnya dulu."

Aku ke kamar mandi, agak sedikit bersyukur punya ember bekas cat yang bisa menampung air lumayan banyak, memang biasa kupakai buat rendeman kaki kalau seharian pakai heels. Kutadahi air panas yang mengalir dari kran, lalu saat sudah seperempat, aku memutar keran ke arah berlawanan biar air biasa yang keluar.

Setelah merasa hangatnya pas untuk anak kecil, aku keluar, menghampiri Josh yang sedang di balkon, menggendong anak kecil ini sambil menunjuk beberapa gedung tinggi yang terlihat dari sini.

"Sini yuk!" Kataku.

"Fyi, ni bocah kurang paham bahasa Indonesia!"

Aku mengangguk.

"Yuk! Shower with Aunty Aca ya?" Ujar Josh pada anak kecil ini dan iya mengatakan ya ya ya dengan nada gemas.

Menggendong anak ini, aku melepaskan bajunya tepat di pintu kamar mandi, dan Josh benar, dia poop. Untung sudah kusiapkan plastik untuk sampah diapers-nya.

"Sini, gue buang ke luar biar kamar lo gak bau!" Josh mengambil sampah itu dan berjalan ke arah luar.

Aku masuk ke kamar mandi, cebokin ni bocah dulu baru deh mandi, dan tahu apa? Dia minta masuk ke ember. Yaudah lah yaa, memudahkan, gak takut kepleset juga pas lagi disabunin.

"Anak gue napa jadi masuk ember begitu?" Aku menoleh, Josh sudah kembali dan bersandar di ambang pintu kamar mandi.

Apa tadi dia bilang? Anaknya? Anak kecil ini anaknya?

Berpaling dari Josh, kuselesaikan acara mandi ini, dan agak drama, karena dia gak mau keluar, gak mau udahan mandinya, maunya main air.

Ya berkat bujuk rayu Josh, akhirnya kami keluar juga dari kamar mandi.

Pengalamanku, Ivanka ganti baju ya dikasur, dialas kain gitu... lha ini anaknya udah bisa jalan, baru ditaro langsung mau loncat dari kasur. Edyan!

Perjuangan ya ternyata gantiin baju anak umur segini. Tapi akhirnya beres juga, ni anak udah makin cantik dan wangi. Sekarang lagi asik main sama botol minyak telon dan beberapa bungkus camilanku di karpet.

"Anak lo Josh?" Aku berusaha bertanya sesantai mungkin. Bersyukur juga sempet les akting, jadi aku paham gimana menahan ekspresi dan menjaga ekspresi tersebut.

"Yap!" Jawab Josh sambil tersenyum kecil, jadi aku hanya mengangguk. Lalu bermain dengan anak ini, namanya Joana, dipanggilnya Jo.

"Ty, ty!" Serunya sambil menepuk wajahku, aku melirik ke arah Josh, butuh translate karena gak ngerti bahasa bayi.

"Aunty beauty katanya!" Ujar Josh sambil tersenyum.

"Emang ya anak kecil tuh jujur banget!" Kataku, "Makasi yaa, kamu juga cantik banget!" Lanjutku kepada anak kecil ini, tapi dicuekin,

"Dia gak paham lo ngomong apa, dari bayi dijejelin youtube luar mulu sama emaknya." Sahut Josh.

Aku diam, tak menyahut. Lalu, tiba-tiba terdengar suara alarm, aku panik dong anjir, ngeri kalau itu bom, abis suaranya dari dalem tas. Dan ternyata, itu alarm makannya ni bocah.

Aku menyuapi anak ini, soalnya Josh bilang dia gak bisa. Yaudah lah ya, untung si Joana ini mamnya pinter, gak kaya keponakanku yang lagi gak mau makan apa-apa karena tumbuh gigi.

"Dia abis makan biasanya tidur Ca."

"Ada gendongan?"

"Gendongan yang bentuknya gimana sih?"

"Lo bikinin susu aja deh, gue gak yakin ni bocah mau digendong kain juga." Kataku.

"Okay!"

Aku menggendong Joana, membawanya ke balkon, seperti tadi, melihat gedung-gedung tinggi.

Asli, di mataku, hampir dua tahun lebih tinggal di sini, semua pemandangan ini biasa aja. Tapi sekarang, sambil gendong bocah, kok ya semuanya jadi terlihat menarik ya?

"Jo, yuk! Milk time!" Ujar Josh, ia mendatangi kami sambil mengocok pelan botol susu.

"Sambil tiduran aja kali ya?" Tanyaku.

"Yaudah gitu aja."

Kuambil botol dari Josh dan masuk ke dalam kamar, membaringkan Joana di kasur kemudian memberinya botol susu. Dia pinter, udah bisa pegang sendiri. Dan dia minum sambil melintir-mlintir rambutku.

Ketika susu akan habis, Joana sudah terlelap, tapi mulutnya masih auto ngisep gitu, jadi kupegangi botolnya sampai habis.

Setelah ia tidur, aku menarik selimutku, lalu mengambil bantal untuk membuat benteng biar ini anak gak jatoh.

"Thanks ya Ca!" Ucap Josh ketika aku turun dari kasur, duduk di karpet.

"Lo gak pernah cerita lo udah punya anak?"

"It's a long-long-long-long story."

Aku mengangguk kecil, jadi gak minat kepo, karena... mungkin itu ceritanya yang amat sangat pribadi makanya gak pernah dia ceritakan.

"Lo ada minum Ca?"

"Aer galon?"

"Ya paham lah maksud gue,"

"Ada, sisa sebotol lagi kayaknya, mau?"

"Boleh!"

"Gak terlalu siang? Masih jam 5 sore,"

"Gak apa deh, gue pengin cerita soalnya!" Seru Josh.

Aku mengangguk, kemudian berdiri, menuju lemari tempatku menyimpan minuman. Lalu, mengeluarkan es batu dari kulkas, menampungnya di dalam mangkok.

Kembali ke karpet, Josh langsung menyendok es, lalu menuangkan minum ke dua gelas yang kusediakan.

Shot pertama langsung ia habiskan, seperti akan mengambil ancang-ancang untuk bercerita.

Di sampingnya, aku menyesap sedikit minumanku, mempersiapkan diri mendengar apapun yang akan dia ceritakan.

********

TBC

Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo

Ps: double up karena seneng di chapter sebelumnya pada rame komen. Jadi aku baik hati dan update lagi hahahaha gampang net gue disenengin~~

***

Iklan yaak

Mampir akun dreame aku yuk gengss
Ada 7 cerita di sana yang bisa kalian baca secara gratis~
Kalau mampir jgn lupa follow dan love ceritanya yaa xx

***

Yang mau baca e-book cerita-cerita ini juga langsung aja ya ke Google Play Book~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top