Dua puluh empat
Hari ini aku tegang, asli seharian di kantor aku gak fokus. Arya ngajak makan siang aja gak aku ladenin. Takut ngerasa bersalah gitu karena malem ini aku bakal melakukan tindakan nista.
Well, nista menurutku. Mungkin menurut sebagain orang lain biasa-biasa aja.
Ketika jam pulang kantor, aku gak langsung pulang, takut, jadi mendadak sok sibuk beresin meja aja gitu.
Tadi pagi, Josh udah kabarin aku, katanya semua udah siap, jam 9 malam nanti di kamarnya dia.
Aku tegang, tapi penasaran juga. Dilema lah pokoknya. Tapinya takut, tapinya pengin nyoba. Gitu lah.
Karena udah gak tahu harus ngapain lagi, aku akhirnya turun, tapi singgah dulu di kedai kopi deket kantor buat tenangin jantung.
Setelah membeli kopi dan kue, akhirnya kuberanikan diri pulang ke kostan. Seperti biasa, langsung mandi. Asli aku mandi super bersih sih ini, luluran segala lagi, terus keramas sampe dua kali. Lalu, karena meminta Josh dan sepupunya cukuran, jadi aku juga cukuran meskipun minggu kemarin aku abis ke salon buat waxing, yaudah lah ya, memastikan beneran udah mulus.
Setelah mandi, aku memakan cheesecake yang kubeli tadi di kedai kopi. Sengaja gak makan berat biar perut gak terlalu penuh. Biar gak sesek sendiri nanti berhubung aku akan melakukan dengan dua cowok sekaligus.
Selesai makan, aku mengeringkan rambut dengan hairdryer, terus dandan sedikit biar napsuin, hahahaha gila bener deh aku.
Pukul 8 malam lebih lima belas menit, aku keluar kamar, mengambil kunci kamar Josh dari pot kemudian masuk.
Kamar Josh, tumben-tumbenan jadi super rapi, terus wangi. AC-nya dia biarkan menyala jadi pas masuk langsung sejuk banget.
Aku duduk di sofa milik Josh, mengigiti kukuku yang pendek-pendek ini.
Gosh, sumpah ini sih tegangnya lebih-lebih dari pertama kali mau coba ML, sumpah!
Jantungku makin gak karuan saat pintu kamar terbuka, Josh sudah pulang.
"Lo mau gue mandi dulu?"
Aku mengangguk, kaya gak bisa bersuara aja gitu.
"Okay, gue mandi cepet deh! Lo tungguin yaa, sepupu gue bentar lagi dateng, entar lo bukain aja pintunya, tadi dia kabarin kalau udah deket." Ujar Josh. Lagi-lagi aku mengangguk.
Josh masuk ke kamar mandi, dan aku makin-makin tegangnya. Aku memikirkan apakah persiapanku buat threesome sudah beneran lengkap semua?
Aku me-list segala yang sudah kulakukan; luluran, cukuran, bersihin anus, pakai parfum, dandan, keringin rambut, pake daleman sexy. Udah tuh... apa lagi ya?
Pintu kamar mandi terbuka, Josh beneran express banget mandinya, sepupunya sendiri bahkan belum datang.
Setelah Josh berpakaian ia membuka kulkas, mengeluarkan tiga botol minuman. Aku langsung mengambil satu, menenggaknya sedikit agar tubuhku yang tegang ini rileks.
Gosh! Bentar lagi dieksekusi nih aku.
"Lo mau ada musik?" Tanya Josh, ia seperti ingin membuatku santai.
"Boleh,"
"Apaan?" Josh langsung menyambungkan ponselnya dengan speaker aktif.
"Apa ya? John Mayer deh!"
Kemudian salah satu lagu John Mayer terputar, dan itu membuatku cukup tenang.
Semenit kemudian, terdengar pintu kamar Josh diketuk, dan jantungku kembali jumpalitan.
Duh Gusti!
Josh bangkit dari sofa, berjalan menuju pintu dan begitu pintu terbuka, aku langsung lemes....
Sumpah demi apapun, aku mau ngilang. Tolong!
"Aca??!!!"
Aku gak menjawab, yakin sekali kalau wajahku super merah.
"Oh shit!" Makiku.
"Kenapa sih? Kalian kenal?" Tanya Josh bingung.
"Josh, it's shark! Okay? It's shark!" Seruku, lalu bangkit dari sofa, berjalan ke arah luar, menerobos Josh dan Arya yang masih berdiri di depan pintu.
Kubuka pintu kamarku, membantingnya keras-keras dan tak lupa, menguncinya.
Gilak!
Mo meninggal aja bisa gak sih?
******
Dua hari aku gak masuk kantor, aku mengungsi ke rumah Nathan. Badanku kaya remuk aja gitu. Untung lah di kantor gak ada rapat penting, jadi pura-pura izin sakit juga gak dosa-dosa banget.
Dua hari ini aku bener-bener memikirkan hidupku, apakah aku salah langkah atau apa, kenapa posisi hidupku sekarang begini? Ya Tuhan, aku malu.
"Ca? Lo ada masalah apa sih?" Tanya Nathan, warungnya sudah tutup, ini sudah pukul setengah dua belas malam, istri dan anaknya sudah tidur. Aku tahu Nathan juga sudah mengantuk, dia cuma formalitas aja nemenin aku yang bengong di teras rumahnya.
"Gak ada masalah apa-apa, gue lagi gak enak badan aja, males di kostan sendiri, makanya ke sini." Kataku beralasan.
"Bener? Gak ada yang lo tutupin kan? Kalau lo mau cerita, ya cerita aja Ca, gue mungkin bukan pemberi solusi yang baik, tapi yaahh, gue dengerin kok semua masalah lo."
"Gue gak ada masalah Than!" Kataku kekeuh, karena ini terlalu aib untuk diceritakan.
"Yaudah, lo mau gue bikinin teh anget?"
"Boleh Than!"
Nathan masuk ke dalam rumah, hanya sesaat sebelum akhirnya ia kembali dengan tangan berisi secangkir teh hangat.
"Lo gak minum?"
"Udah ngantuk gue, lo gue tinggal ya?"
"Pantes bikinin teh, biar gantiin lo nemenin gue nih ceritanya?"
Nathan tertawa.
"Yaudah sana tidur lo!"
"Jangan lupa kunci pintu ya Ca nanti?"
"Siap!"
"Jangan begadang, katanya gak enak badan!"
Aku mengangguk.
Nathan meninggalkanku sendirian, kuambil cangkir berisi teh ini, menggenggamnya dengan dua tangan agar telapak tanganku hangat. Lalu, meniupnya sedikit sebelum menyesapnya.
Selama dua hari ini, aku selalu terbayang kejadian di kamar Josh. Di kepalaku jelas sekali tergambar wajah kaget Arya dan tampang bingungnya Josh. Sumpah, aku malu. Udah berasa gak punya harga diri sih aku nih.
Ya ampun... mendadak aku jadi kangen Nico. Kangen kehidupanku dulu sama dia, di mana kami berdua lurus-lurus aja hidupnya. Gak ribet. Gak ada tuh friend with benefit, apalagi sampe threesome.
Hidupku bersama Nico dulu adem ayem, dan aku merindukan itu semua. Tapi... aku sadar, udah gak akan bisa aku sama Nico.
Well, aku cuma kangen momennya, bukan orangnya. Itu sih lebih tepatnya.
Menarik napas panjang, kuhabiskan teh hangat ini, membuat perutku nyaman.
Makin malam, udara makin dingin, jadi aku pun memutuskan masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk ke kamar, aku mengunci pintu depan dulu, memeriksa jendela dan lain sebagainya. Setelah itu, baru aku masuk ke kamar ke dua. Kamar kosong yang oleh Aini digelar bedcover agar tidurku lumayan nyaman.
Merebahkan diri, pikiranku kembali lagi memutar momen di kamarnya Josh, dan entah kenapa kali ini aku rasanya ingin menangis.
Air mata mengalir begitu saja dan kubiarkan diriku menangis seada-adanya. Terisak sendirian menatapi nasib yang jadi begini.
Mungkin benar kata Atta... pilihanku gak terbatas di dua cowok itu. Mungkin emang jodohku belum ada aja kali ya sekarang. Tapi.... kapan dong?
***
Setelah izin dua hari dan libur weekend dua hari, akhirnya aku kembali ke kantor, tidak dengan semangat baru tapi yaa.... lumayan lah aku bisa melanjutkan hidup.
Di meja kerjaku sudah banyak menumpuk tugas yang menuntut aku selesaikan. Baru lima menit duduk, sudah ada Fadlan yang datang menggangu.
"Pagi Bu Aca!"
"Masuk aja Pak Fadlan!" Seruku, ia langsung masuk, di tangannya terdapat dua jenis map yang warnanya berbeda.
"Soal yang diminta Pak Puji ya?" Kataku langsung.
"Iya Bu, ini monggo, dicek dulu aja, mungkin ada revisi atau apa."
Kuterima dua map yang diberikan Fadlan ini, memeriksanya satu per satu sedetail mungkin, lalu membubuhkan post-it di beberapa tempat yang menurutku agak kurang, dengan pensil kutulis apa yang seharusnya diganti.
"Udah oke sih Pak Fadlan, cuma ada beberapa yang kurang pas dan hasilnya malah bikin rancu, atau itu memang sengaja biar klien gak terlalu memanfaatkan kita?"
"Eh? Gak boleh rancu harusnya Bu, harus sejelas mungkin."
"Okee, berarti coba deh baca lagi terus tanya yang lain bener gak itu rancu, dan notes dari saya udah tepat belum untuk mengganti kalimat sebelumnya." Kuberikan kembali map ini.
"Baik Bu Aca, makasi banyak ya!" Ujarnya tersenyum, sambil memeriksa catatan kecil yang kutulis.
"Sama-sama Pak Fadlan!"
"Ternyata Pak Atta gak sembarangan ya milih Bu Aca yang gantiin dia."
"Pardon?" Aku gak nyangka Fadlan tiba-tiba bilang begitu.
"Iya, maaf ya Bu. Awalnya saya dan beberapa anak-anak kira, Bu Aca kepilih buat gantiin Pak Atta cuma karena kedekatan kalian... tapi liat gini, ternyata Bu Aca emang pantes ada di ruangan ini dan duduk di kursi itu."
Aku diam, hanya bisa tersenyum karena gak tahu harus menanggapi apa. Di kantorku ini, memang keitung jari karyawan cewek yang punya jabatan. Meskipun banyak mempekerjakan karyawan wanita, namun kesenjangan masih sangat terasa. Salah satunya... ya dari gaji yang Atta bilang dulu. Posisi sama, job-desc sama, tapi gaji antara pegawai cewek sama cowok suka dibedain. Kesetaraan gender hanya tampak di luar saja, gak sampe ke dalem-dalemnya.
"Maaf ya Bu! Saya permisi!" Ucap Fadlan ketika aku tak juga merespon, ia pamit, keluar dari ruanganku, membuat aku memikirkan sesuatu.
Yeah, aku mungkin bisa dibilang gagal soal urusan cinta-cintaan. Tapi... aku masih punya kerjaan ini, kerjaan yang mampu kulakukan setiap tugasnya dengan baik. I'm still worthy.
Yaudah, fokusin aja dulu sekarang di sini. Urusan cinta nanti aja. Aku kudu membenahi hidup, sekali lagi.
********
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Ps: draf cerita ini sudah selesai kutulis, tebak-tebakan yuks Aca bakal jadi sama sapose~ dan tebak juga sampe chapter berapa hahaha~
Gak berhadiah sih, seru2an aja yaaak 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top