Dua
"Naah itu Mbak, punggung kadang suka tiba-tiba sakit," Kataku ketika Mbak Yayu menekankan ibu jarinya ke bagian sakit di punggungku.
"Masuk angin Neng, jangan keseringan begadang, jangan terlalu capek juga."
"Ya kan kerja Mbak, pasti capek."
"Iyaa sih bener, tapi kalau ada waktu istirahat dipake istirahat Neng, jangan yang main-main malah makin capek. Kasian badannya."
"Yee itu kan re-charge energi Mbak, biar gak strees."
"Iya sih bener," Ulang Mbak Yayu
Pijatan Mbak Yayu makin lama makin enak, punggungku yang tadinya ditekan terasa sakit sekarang lumayan sakitnya berkurang. Dan begitu Mbak Yayu mengurut bagian belakang leher, aku langsung bersendawa keras sekali.
"Naah kan, anginnya keluar."
Aku nyengir, bener-bener deh, pijetan Mbak Yayu tuh emang mantap.
"Neng itunya mau dinaikin gak?"
Nah, salah satu nilai plus pijet di Mbak Yayu, katanya dia tuh bisa naikin peranakan yang turun. Aku gak tahu sih yaa ini beneran apa engga, tapi yaa layak aja dicoba.
"Boleh Mbak,"
Aku langsung berbalik, membiarkan Mbak Yayu menyentuh bagian sensitifku.
"Kalau Neng Aca kapan mau nikah?" Tanyanya, sambil mengerjakan sesuatu di bawah sana membuatku agak sedikit menegangkan tubuh.
"Aduhh, kalau itu sih nanti aja eheheh saya masih 26, Mbak."
"Ya ampun Neng, Mbak Yayu waktu umur 26 udah punya anak 3."
"Waduhhh!" Hanya itu sahutanku. Yaa siapa sih ya yang gak mau nikah? Mau aku tuh nikah, tapi yaa... gak tahu lah, aku sama Nico belum ada obrolan ke sana, meskipun kami sudah pacaran selama 3 tahun, dan resmi tinggal bersama selama 2 tahun.
Emm, mungkin kami nyaman seperti ini, sehingga tidak memikirkan rencana pernikahan.
"Yang cepet Neng, kan cewek tuh masa suburnya di umur 20-an, kalau udah di atas kepala 3 kan suka agak rawan buat yang hamil anak pertama."
"Iya Mbak, iya, nanti Mbak Yayu saya undang pas nikah yaa?"
"Janji ya Neng?"
"Iya Mbak janji!"
Kegiatan pijat sudah selesai. Ku bungkus tubuhku dengan kain, lalu mengambil dompet. Memberikan dua lembar uang seratus ribu ke Mbak Yayu.
"Ini ya Mbak,"
"Makasih Neng,"
"Ini buat ongkos," Kuberikan lagi selembar uang dua puluh ribu.
"Makasih banyak Neng, kalau mau pijet atau si Aa-nya mau pijet, boleh telepon aja ya Neng,"
"Siap, Mbak."
Begitu Mbak Yayu pulang, aku langsung mengunci pintu dan berjalan menuju kamar mandi, berniat membersihkan seluruh tubuh dari campuran minyak urut dan lotion yang digunakan untuk memijat tubuhku tadi.
Menikmati waktu mandi, aku bahkan mencukur seluruh rambut liar yang tumbuh di tempat yang tak kuinginkan. Gosh, kacau nih kalau rambutnya tumbuh lagi jelek dan agak kasar, biasanya aku ke salon untuk dicabut, tapi gak tahu deh, hari ini pengin bersihin diri sendiri tanpa bantuan orang lain.
Enak banget emang merawat diri tuh. Ada kepuasan sendiri. Mantap.
*******
Sudah pukul 10 malam dan Nico belum juga pulang. Aku jadi khawatir karena tadi pagi kan dia bilangnya bakal pulang, gak nginep. Lha ini? Makan malamnya yang tadi kupesankan bahkan sudah dingin.
Sambil menonton film yang ditayangkan oleh salah satu saluran TV, aku sesekali melirik ke arah pintu. Berharap anak kuncinya berputar dan Nico pulang.
Duh, kenapa ya? Kok hatiku nih jadi gak karu-karuan?
Hampir pukul sebelas malam, ketika aku sudah setengah tidur, terdengar pintu dibuka, membuat mataku langsung terbuka.
"Sayaang?"
"Kamu belum tidur Yaang?" Tanya Nico.
"Kamu gak kabarin, kan aku khawatir, kenapa gak bilang kalau pulangnya malem?"
"HP-ku mati, di rumah Mama mati listrik tadi, Mama sendiri jadi ya kutemenin dulu sampe Kak Naomi pulang. Eh pas dia pulang, pas listrik nyala. Yaudah deh aku balik."
"Ohh, udah makan? Aku udah siapin tuuh,"
"Udah tadi makan bareng sama Mama,"
"Yaudah, bisa tolong simpen ke kulkas gak? Aku udah ngantuk."
"Iya siap, kamu tidur aja, aku mau mandi dulu baru tidur."
"Okay!" Sahutku, lalu kembali merebahkan diri di kasur.
Memeluk guling, aku menarik selimutku lebih tinggi lagi agar menutupi seluruh badan kecuali kepala.
Kemudian, terdengar suara Nico yang sedang beberes area dapur. Memfokuskan diri, aku pun langsung terlelap. Nyenyak nih pasti aku. Abis dipijet, mandi pakai air hangat, makan enak.
Luar biasa!
***********
***********
***********
Ruang kamar berukuran lima kali enam meter ini sudah lumayan terang. Dua orang yang menjadi penghuni kamar ini juga ada di dalamnya, hanya saja yang wanita masih tertidur padahal waktu sudah menunjukan pukul 10 pagi.
Sementara itu, yang pria terlihat kalut, ia seperti gelisah dan hanya bisa memandangi wanita yang tertidur itu.
Kepalanya seperti penuh dengan pikiran-pikiran liar. Membuatnya yang sedang duduk di atas kasur itu terlihat seperti sebuah patung yang sedang berfikir. Bukan manusia.
Puluhan menit pria itu mematung sampai akhirnya sangat wanita bergerak, terbangun dari tidurnya.
"Hallo sayaang, selamat pagi!" Sapa si wanita sambil mengembangkan senyum manis.
"Udah siang Sayaang, udah jam 11," Suara si Pria terdengar biasa. Tidak menunjukan ada sesuatu yang ia tahan.
"Lha? Kok kamu gak bangunin aku?"
"Ini minggu Ca, masa aku tega bangunin kamu pagi-pagi di hari minggu?"
"Makasi sayaang, kamu emang pacar yang pengertian!" Si wanita memuji kakasihnya. Membuat si Pria tersenyum lembut lalu mengelus rambut halus wanitanya itu.
"Aku ada obrolan penting sama kamu," Ujar si Pria terdengar serius.
"Eh, apa?"
"Kita sarapan dulu aja yuk? Biar enak ngobrolnya." Ajak si Pria bernama Nico ini, menarik tangan pasangannya menuju meja makan kecil milik mereka.
"Kamu kenapa sih?" Tanya si Wanita bingung, karena ini merupakan hal langka yang terjadi.
"Gak tahu, udah yok makan dulu."
Nico yang sudah menghangatkan makanan sisa semalam lalu membagi mie goreng seafood ke dalam dua piring. Bagian yang lebih banyak ia berikan ke pasangannya.
"Tuker, aku gak mau makan banyak-banyak," Ujar si Wanita menukar piringnya.
Nico hanya mengangguk, lalu ia pun makan dalam diam. Saat sedang diam begini, wajah cemas yang sedari tadi ia tutupi kembali terlihat.
"Kamu kenapa sih Nic?"
"Hemm? Engga, aku gak apa-apa,"
"Muka kamu pucet! Kenapa sih? Coba bilang!"
Berusaha menelan makanannya Nico mencoba tersenyum tipis di sela-sela kecemasan nya.
"Aku gak tahu gimana bilangnya,"
"Apa emang?"
"Kalau kita udahan, gimana?" Akhirnya Nico berani mengeluarkan apa yang terpendam di hatinya. Berat sekali mengucapkan itu karena pada dasarnya, Nico tak ingin mengucapkan kalimat itu.
"Hah? Gimana? Udahan? Putus maksud kamu?"
Nico menjawab pertanyaan pacarnya itu dengan anggukan. Ia seperti belum siap menghadapi ini.
"Kenapa?" Tanya pacarnya,
"Ya karena emang udah gak bisa terus aja. Maaf ya."
"Kenapa?"
"Emmmm, gimana ya?"
"Ya gimana? Kamu kira aku tahu gimana?" Bentak si Wanita.
"Anu, semalem, Mama cerita kalau sebelum Papa meninggal, Papa titip wasiat,"
"Wasiat? Wasiat apa?"
Terlihat Nico menelan ludah dan menarik napas panjang sebelum menjawab. Wajahnya yang tegang kini semakin pucat.
"Aku dijodohin sama anaknya temen Papa, kalau aku gak mau nikah sama cewek itu, aku gak bakal dapet warisan, Ca."
Mata sang wanita terlihat melebar, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Si wanita menggeleng pelan, seperti tak terima.
"Kamu tahu, selama ini aku gak boleh ikutan ngurus usahanya Papa, aku disuruh cari kerja sendiri. Katanya, kalau aku mau dijodohkan, semua usaha Papa buat aku, Ca. Aku yang urus."
"Terus aku?"
Nico tak mampu menjawab pertanyaan singkat itu. Ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya mampu berdiri dari kursinya dan mendekati kekasihnya itu.
Di hadapan sang wanita, Nico berlutut, menggenggam kedua tangan wanita ini.
"Aku sayang sama kamu, Ca. Tapi... kayaknya aku gak bisa nolak wasiat Papa. Maaf, dan makasi buat semuanya. Kamu bisa tetep tinggal di sini kok, semua barang-barangnya buat kamu."
"Ya emang punya aku! Orang aku yang beli!" Wanita ini mendorong tubuh Nico menjauh, hingga ia sedikit terjatuh ke belakang.
"Sorry!"
"Udah sana pergi lo! Cowok males!"
"Kok?"
"Pergi!!!" Bentak si wanita, membuat Nico melihatnya dengan tatapan heran, lalu bangkit, mengambil koper dari atas lemari dan ia pun memasukan baju-bajunya secara asal.
"Aku sayang sama kamu, Ca!" Ujar Nico, berdiri di samping kopernya yang sudah ter-packing.
"Pergi lo!" Usir si wanita,
Nico menarik napas panjang berkali-kali sebelum akhirnya dengan berat hati ia melangkah keluar dari tempat yang selama dua tahun ini ia anggap rumah.
Begitu pintu kamar tertutup, si wanita menjerit kecil, mengacak meja sehingga piring-piring yang ada di atasnya terjatuh dan ketika bertabrakan dengan permukaan lantailantai benda-benda tersebut pecah.
Lalu, si wanita ambruk ke lantai bersama pecahan-pecahan piring. Dengan hatinya yang sakit karena kepergian kekasihnya, ia pun mulai menangis.
*******
TBC
Thank you for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Ps: Naah gitu yaak, ada pov orang pertama dan pov orang ketiga, bisa bedain kan ya? Heheheheh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top