Delapan
Kamar Josh lebih ancur daripada kamarku kemarin. Bocornya udah di mana-mana dan air yang ngucur pun banyak. Kulihat Josh yang tampangnya udah pasrah.
"Ini sih lo selametin barang-barang lo dulu deh, Josh!" Kataku.
Ia mengangguk. Aku kembali ke kamarku dulu, mengambil ember kecil dan baskom air untuk menampung air yang mengucur. Setelah itu, aku membantu Josh memindahkan barang-barangnya.
Satu yang sangat aku perhatikan, kamarnya Josh ini lebih didominasi dapur. Sumpah deh! Aku emang baru liat kamar lain selain kamarku sih, jadi gak tahu kondisi masing-masing kamar gimana. Kukira sama semua.
Hujan tak kunjung reda, yang artinya air masih terus turun dari atap yang bocor. Untung, intensitas hujannya gak terlalu deras. Jadi masih ketampung lah air-air ini.
"Josh, lo mau nginep kamar gue? Ini sih gak kelar-kelar kalau hujannya terus turun." Tawar ku.
"Boleh?"
Aku mengangguk. Udah lah, kayaknya dia baik kok. Lagian kasian kamarnya ancur begini.
"Yaudah lo balik kamar duluan aja, gue masih mau geser-geserin meja."
"Gue bantu aja."
"Thanks!"
Aku mengangguk. Kami pun langsung menggeser meja, abis kata Josh mejanya dia ini antik. Sayang kalau kena air hujan.
Setelah selesai dan memastikan semua titik bocor tertampung oleh ember, Josh mengunci pintu kamarnya lalu ikut bersamaku ke kamar 302.
Kamarku tenang, tidak ada bocor di sudut manapun.
"Lo mau ke kamar mandi?" Tanyaku.
"Gak deh, gue capek, besok kerja." Ujarnya,
"Sama!" Aku mengangguk. Ini memang baru pukul setengah 10 malam, tapi gara-gara bantuin Josh tadi badan jadi capek semua. Butuh istirahat.
"Gue tidur mana nih?" Tanya Josh, aku langsung mengedarkan pandangan ke penjuru kamarku, bingung. Dan, gak enak juga kalau nyuruh Josh tidur di karpet. Kasian.
"Di kasur, tapi...." Aku menyusun bantal, dan bantal panjang yang baru kubeli tadi siang menjadi pembatas di tengah.
"Lo gak boleh lewatin bantal ini!" Seruku.
"Sipp, gue juga gak gila buat ngapa-ngapain orang yang udah bantuin gue kali."
"Ya kan gue antisipasi."
Terlihat Josh tertawa. "Udah boleh tidur belum nih gue?"
"Cuci kaki dulu!"
"Astaga!" Serunya, lalu ia pun berjalan ke kamar mandi, sementara aku menuju lemari untuk mengambil selimut tambahan.
Begitu Josh keluar dari kamar mandi, kuberikan ia selimut tersebut.
"Apaan nih?"
"Selimut buat lo, biar kita gak rebutan."
"Ohh, okay! Udah boleh naek kasur kan gue?"
Aku mengangguk, ia langsung naik ke kasurku, membentangkan selimut menutupi badannya. Aku sendiri sudah mengantuk, tapi seperti malam-malam biasanya, aku cek pintu balkon dulu, rapihin gorden, kemudian mengganti lampu utama menjadi lampu tidur. Setelah itu, baru aku naik ke kasur, memakai selimut karena di luar hujan dan udara menjadi sangat dingin.
"Night Ca!" Aku menoleh ke belakang sedikit, mulai aneh denger ada orang yang bilang selamat malam.
"Yeah, night Josh!"
Baru ketika aku akan terlelap, terdengar ketukan di pintu kamarku. Gosh! Siapa sih?
"Josh? Bangun dulu!"
"Hah? Apa?" Ia bereaksi, langsung duduk di kasur.
"Itu yang ngetuk pintu siapa?" Tanyaku.
"Lha? Ini kan kamar lo!"
"Ya kali aja mang Cahya nyariin lo,"
"Hah? Gak mungkin sih kayaknya, lo mau gue yang buka pintunya?" Tanyanya ketika ketukan di pintu makin intensif.
"Gak usah deh, aneh, ini kan kamar gue, masa lo yang buka."
"Naah!"
Dengan berat hati, aku turun dari kasur lalu membuka pintu. Tubuhku menegang ketika melihat Nico yang berada di balik pintu.
"Ka-kamu ngapain?" Tanyaku tergagap.
Kulihat Nico menahan napas sebelum berbicara.
"Aku kangen Ca sama kamu,"
Hatiku sejuk mendengar itu, tapi otakku langsung berfikiran jahat. Mengartikan kata kangen yang diucapkan Nico dengan maksud lain.
"Kamu pulang lah, kita gak bisa gini terus," Kataku akhirnya.
"Siapa Ca? Mang Cahya?" Terdengar seruan dari dalam kamarku. Membuatku makin kaku.
"Ohh, kamu udah ada yang lain? Yaudah aku pulang."
Nico langsung berbalik, dan berjalan menjauh. Ketika aku hendak memanggilnya, mulutku seperti tiba-tiba terkunci.
Aku berbalik, menutup pintu dan menguncinya. Kemudian bengong menatap Josh yang terduduk di kasurku.
"Siapa?"
"Mantan," Kataku kemudian naik kembali ke kasur, tidur memunggungi Josh.
"Udah, gak usah lo pikirin."
Aku tak menyahut, kupejamkan mata. Menarik napas panjang-panjang agar diriku tenang. Aku sedikit bersyukur ada Josh di sini malam ini, karena ia baru saja menyelamatkanku dari perbuatan bodoh yang akan kulakukan seandainya ia tak ada.
Tapi, bagaimana kalau ternyata Nico ke sini untuk memperbaiki semuanya?
Gosh!
******
Aku terbangun dengan perasaan aneh, tidak merasa kosong namun juga tidak berisi. Aneh deh pokoknya.
Duduk di kasur, kufokuskan pandanganku dan melihat Josh sedang mengacak dapurku.
"Ngapain lo?" Tanyaku.
"Selamat pagi gitu kek, apa kek?"
"Yeah, yeah, selamat pagi, lo ngapain?"
"Sini lo, sarapan!"
Aku mengangguk, lalu beranjak dari kasur tapi masih dengan selimut yang menutupi tubuh, karena cuaca masih sangat dingin. Sambil berjalan, ku lirik jam dinding yang baru menunjukan pukul 7 pagi.
"Dapet roti dari mana lo?" Tanyaku saat ada roti di meja, sudah lengkap dengan sosis dan omelet.
"Gue punya di kamar, kadaluarsanya besok jadi yaudah deh,"
Aku mengangguk, kemudian mengambil satu lembar, menyendok potongan sosis dan omelet.
"Emmm, omeletnya enak!" Kataku sambil ngunyah.
"Iya lah, gue yang masak."
Aku mengangguk. Iya-in aja dah. Lalu Josh pun mulai makan bersamaku, dan aku baru sadar kalau dia sudah rapi.
"Lo mau ke mana?"
"Kerja lah,"
"Sepagi ini?"
"Emang lo biasa berangkat kerja jam berapa?"
"Setengah sembilan." Jawabku.
"Buset, bisa mati gue kalau baru dateng jam segitu."
Aku hanya mengangguk.
"Yaudah, makasi ya udah boleh nginep, terus gak tahu diri bongkar kulkas lo! Gue berangkat!"
Aku mengangguk, karena masih mengunyah, dan Josh pun langsung keluar begitu saja dari kamarku.
Sepeninggal Josh, aku langsung kepikiran sesuatu. Beberapa minggu ini aku sudah terbiasa sendiri, lalu tadi... menjalani pagi dengan seseorang yang bukan siapa-siapa pun terasa biasa. Aku jadi bingung, ini tuh sebenernya aku udah oke sendiri atau gimana ya? Ah udah deh, mending aku abisin sarapan terus mandi. Kerja, kerja, kerja, aku kan gak berak duit!
**********
Ketika jam kerja berakhir, aku gak langsung pulang, tapi mampir ke bengkel akting tempatku mendaftarkan diri beberapa hari yang lalu. Yap! Ini salah satu pengalihan perhatian yang kupilih.
Berkenalan dengan beberapa talent sepertiku, ternyata hari ini ada pelatih tamu yang merupakan salah satu aktor terkenal.
Aku menyerap banyak-banyak energi positif yang diberikan oleh para mentor, teman-teman bahkan si aktor satu ini.
"Kamu mau jadi peran utamanya?" Aku syok ditawari begitu.
"Waduh, saya takut gak bisa."
"Gak ada yang gak bisa kalau mau coba," Ujar si Aktor, duh wajah tampannya mengalihkan duniaku ini sih.
"Emm, iya sih, tapi takut nanti pentasnya rusak gara-gara saya."
Jadi, ternyata di sini tuh tiap akhir season akan ada pentas. Pemerannya ya murid-murid yang lagi latihan akting macem aku ini. Tapi, mereka ada yang emang anak teater gitu lah, bukan kaya aku yang cuma ngisi waktu luang, jadi yaa kebanting lah aku sama mereka.
Akhirnya, karena aku menolak jadi peran utama, dipilihlah Patricia, cewek cantik yang memang mempunyai bakat akting.
Hari ini latihan berjalan cukup seru menurutku. Banyak sekali hal-hal positif yang aku dapatkan. Mulai dari belajar ekspresi, latihan berbicara, mengatur intonasi sesuai dengan suasana, dan lain-lain deeh.
Pukul 10 malam aku baru sampai kost-kostan, mengucapkan terima kasih kepada abang ojek yang mengantarku.
Ketika berjalan menuju tangga, aku menoleh karena merasa ada seseorang di belakangku, yang ternyata Josh.
"Baru balik lo?" Tanyanya, aku mengangguk.
"Gimana kamar lo?"
"Gak hujan, jadi gak masalah. Tadi siang udah diberesin sama Mang Cahya dan kawan-kawan, belum tahu hasilnya gimana." Jelasnya. Kami bersama-sama jalan ke lantai atas.
"Bagus lah kalau gitu, ribet juga urusan bocor-bocor, padahal sebelumnya setahu gue nih yaa selama 2 tahun tinggal di sini, gak pernah tuh ada tragedi bocor."
"Eh serius?"
Aku mengangguk.
"Kenapa emang?" Tanyaku.
"Tadinya gue cuma mau sebulan aja kost di sini gara-gara kejadian bocor. Gak enak juga kan ya? Tapi denger lo bilang gitu, jadi mikir lagi, soalnya kan milih kost tuh cocok-cocokan."
"Ya lo kalau ada dana lebih sih mending ke apartemen aja."
"Gak ah, agak susah bergaul sama tetangga kalau di apartment gitu, udah pernah gue. Makanya, lebih pilih kostan." Mendengar ini, aku jadi tahu kalau emang Josh tuh anaknya doyan berbaur gitu yaa? Sok akrab heheheh.
Aku mengangguk, kami sudah berada di pertengahan anak tangga menuju lantai tiga. PR juga ya ternyata naiknya, capek!
"Lo dari mana? Balik kerja semalem ini? Tapi kayaknya lo gak mungkin sih kerja pakai baju begini?"
Aku melihat diriku sendiri, yeah aku cuma pakai kaus dan celana legging.
"Kenapa emang pakai baju begini?"
"Ya, lo kan mbak-mbak badai kantoran,"
"Hahaha anjirrr, ini gue abis les akting, makanya pakaiannya gini."
"Lo belajar akting? Buat apa?"
"Ya buat seru-seruan aja, dan emang seru." Jawabku seadanya.
"Kirain biar lancar kalau lo lagi berpura-pura menghadapi kenyataan."
Aku langsung menatap Josh sinis, kok dia ngomongnya begitu sih?
"Gak lucu ya!" Kami sudah sampai di lantai 3, aku langsung berjalan cepat meninggalkannya, membuka pintu kamarku dan membanting pintu.
Aku menarik napas panjang, berusaha meredakan emosiku. Melemparkan tas kerja dan jinjingan baju kotor ke kursi, aku langsung masuk ke kamar mandi.
Gosh! Apa sebegitu terlihatnya kalau aku sedang berupaya berdiri sendiri, tanpa Nico yang selalu ini menemaniku?
Apakah semenyedihkan itu aku di mata orang lain?
*******
TBC
Thanks for reading
Don't forget to leave a comment and vote this chapter xoxoxoxo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top