MKSUK 9
Ramaikan! Kalo kolom komentar rame, update selanjutnya cefattttttttttt.
Perjodohan dua keluarga dengan kuasa yang besar lumrah terjadi. Meskipun tanpa cinta, pernikahan kerap kali menjadi ujung. Perluasan bisnis, penanaman modal dan dukungan politik untuk bisa maju di pemilihan umum pun bisa menjadi dampak yang nantinya akan didapat.
Bhumi duduk diam di sebelah sang Papa. Lagi-lagi ia harus menunjukkan baktinya sebagai seorang anak. Makan malam kali ini terasa sedikit spesial. Si tuan rumah tengah bahagia merayakan ulangtahun pernikahan.
"Semoga nanti pernikahan kalian berdua juga bisa awet seperti pernikahan kami," ucap Bayu Dirga Sasongko—seorang yang masuk ke dalam daftar orang kaya di negeri ini. Pemilik beberapa perusahaan yang bergerak di bidang penyiaran, food and beverages dan juga perhotelan. Rencana terbesar yang akan dilakukan selanjutnya adalah maju ke dalam bursa calon presiden di pemilihan umum mendatang. Bayu berusaha melakukan apapun demi mengumpulkan banyak simpatisan yang akan mendukungnya, termasuk menggaet Bhumi yang akhir-akhir ini menjadi sosok figur publik. "Bagaimana hubungan kalian berdua? Kalian sama-sama sibuk. Kapan nikahnya?"
Jelita yang sedang mengiris steak omi wagyu di hadapannya. Balutan gaun merah marun dengan bagian bahu terbuka membuatnya terlihat semakin cantik. Siapa yang tak kenal Jelita Sasongko? Lulusan luar negeri dan yang pernah menjadi wakil Indonesia di ajang ratu sejagat ditambah anak dari seorang pengusaha sekaligus politisi ternama. Banyak laki-laki jelas mendambakan dirinya.
"Jel ...." Bayu memanggil sang putri.
Jelita yang merasa dipanggil pun segera meletakkan pisau dan garpu. "Kenapa, Pi?"
"Papi tanya tentang perkembangan hubungan kamu dan Bhumi. Kalian sudah semakin mengenal satu sama lain, kan?"
"Kita baik-baik aja kan, Mas Bhum?" ucap Jelita pada Bhumi. Lidahnya terasa sedikit kelu. "Ya kan, Mas?"
"I—iya, Om. Aku dan Jelita masih saling mengenal," sahut Bhumi. "Nggak perlu buru-buru."
"Mas Bhumi benar, Pi. Lagipula aku juga masih banyak kerjaan. Aku diminta yayasan untuk bantu Putri Indonesia tahun ini untuk mempersiapkan diri maju ke MU. Aku belum bisa kalau disuruh nikah."
"Ya kalian atur, lah. Kami para orangtua mengharapkan yang terbaik," ujar Bayu. Kedua matanya langsung tertuju menatap sang putri. "Terutama kamu, Jel. Papi sudah memilihkan calon terbaik untuk kamu."
Makan malam selesai. Beralasan agar keduanya bisa menikmati waktu, para orangtua meminta Bhumi mengantar Jelita pulang ke apartemen. Di sepanjang perjalanan, keduanya tak banyak bicara. Bhumi sibuk dengan kemudi, sementara Jelita sibuk dengan gawainya.
"Nggak usah kamu anggap serius apa yang Papi bilang tadi," ucap Jelita dengan pandangan yang masih tertuju pada gawai. "Jangan tersinggung, tapi kamu bukan tipe aku. Aku lagi cari cara untuk ngebatalin ini semua."
"Maksud kamu?" tanya Bhumi serius. Di tengah fokusnya mengemudi, ia beberapa kali menatap Jelita yang duduk di sampingnya. "Apa ada cara untuk ngebatalin ini semua?"
Jelita mengangguk. "Ini bukan yang pertama buat aku. Sebelumnya, Papi dan Mami memang pernah beberapa kali jodohin aku sama anak dari kenalan mereka. Yang pertama aku terima dan kami memang hampir nikah, tapi batal karena ternyata dia gay. Aku nggak sebut siapa namanya pun kayaknya kamu kenal. Dia VIP di rumah sakit keluarga kamu. Berita terakhir yang aku dapat katanya dia kena HIV."
"Nggak semua hal harus aku tau," bantah Bhumi. "Aku juga nggak mau tau urusan orang. Itu pilihan mereka."
"Untuk yang kedua aku berhasil nolak," ucap Jelita. "Aku nggak pulang ke apartemen. Aku mau ketemu seseorang di Hotel Diamond. Antar aku ke sana, ya."
"Di hotel?" tanya Bhumi. Keningnya mengernyit.
"Aku mau ketemu sama orang yang berhasil bikin perjodohan kedua dan mungkin juga yang sekarang batal. Lagipula, kamu juga nggak akan mau kan nikah sama bekas orang?"
***
Naina berusaha untuk kuat. Setelah sekian lama—bertahun-tahun lamanya, ia kembali. Melalui perdebatan panjang yang seakan tak pernah menemui akhir, Naina mengalah. Demi putri semata wayangnya, Aluna.
Semuanya masih sama, seperti saat terakhir kali kedua kakinya menapak di area rumah itu. Tanaman-tanaman terlihat tumbuh dengan subur. Jelas ada seseorang yang merawatnya selama ini.
"Ma ...." Naina bergeleng. Ia tertinggal beberapa langkah di belakang Amalia, Aluna dan Dhita. "Aku nggak bisa."
"Kita sudah sepakat, Nai," ucap Dhita. "Nggak siap? Kapan siapnya? Luna sudah nunggu lama untuk hari ini. Sekarang sudah bukan saatnya untuk kita debat lagi."
Bu Lis tersenyum dengan nampan di tangannya. Empat cangkir teh manis hangat menjadi minuman penyambut yang dihidangkan atas kembalinya Amalia dan Naina ke rumah ini.
"Ibu." Bu Lis meletakkan nampannya di meja. "Bagaimana kabarnya selama ini? Ibu sehat, kan?"
"Alhamdulillah. Sehat, Bu Lis," jawab Amalia. "Saya sudah makin tua. Sudah banyak keluhannya."
Bu Lis beralih menatap ke arah Naina. Digenggamnya tangan Naina lembut. Ia pun tak luput memandangi Aluna yang berdiri di sebelah bundanya.
"Mbak Nai sudah sangat kuat sampai detik ini. Si Kecil pasti bangga sama bundanya. Iya kan, Sayang?" ucap Bu Lis pada Aluna yang kemudian ditanggapi anggukan. "Saya sudah siapkan kamar untuk Ibu, Mbak Nai, Mbak Dhita dan Si Kecil ...."
"Luna, Bu," sambar Aluna polos.
"Iya. Luna dan Bunda bisa istirahat dulu di kamar, ya. Bu Lis mau masak dulu, jadi nanti Luna bisa langsung makan."
"Terima kasih banyak, Bu," ucap Dhita. "Bu Lis sudah bantu saya. Terima kasih karena Bu Lis sudah mau diajak kerjasama. Untungnya waktu itu saya sempat minta nomor Bu Lis."
"Jangan begitu, Mbak. Saya senang kalau bisa bantu. Ibu pulang untuk tinggal di sini lagi, kan?" tanya Bu Lis pada Amalia. Wanita tua itu menggeleng. "Lho, kenapa? Ini rumah Ibu. Ibu kan sudah lama nggak tinggal di sini."
"Kami di sini cuma sementara, Bu." Amalia menjawab. "Kebetulan libur sekolahnya Luna cuma satu minggu. Kami harus pulang lagi ke Malang. Terima kasih karena Bu Lis sudah bantu saya jaga rumah ini. Semuanya benar-benar dirawat dengan baik. Saya senang."
"Mas Bhumi minta saya untuk rawat rumah ini sejak Ibu pergi dari sini. Mas Bhumi minta saya untuk rawat tanpa harus mengubah apa yang sudah ada, Bu. Mas Bhumi bilang dia nggak mau apa yang Ibu jaga rusak. Mas Bhumi juga sudah bilang kalau untuk sementara waktu ini nggak bisa ke sini."
Ponsel Dhita berdering. Telepon dari sang suami. Ia meminta izin untuk menjawab telepon di luar. Amalia masuk ke kamarnya, sedangkan Naina menggandeng Aluna masuk ke kamar yang selalu ditempatinya bersama Bhumi setiap kali datang berkunjung.
Hatinya berdesir tak karuan. Air mata tiba-tiba meleleh begitu saja. Semuanya benar-benar tampak sama. Tak ada satu pun yang berubah, kecuali foto-foto mereka yang menggantung di dinding. Dinding kamar itu berubah kosong. Naina tak tahu ke mana perginya foto-foto itu.
Tangannya mengusapi ranjang di mana dirinya dan Bhumi pernah berbagi hasrat di dinginnya udara kota Bogor. Naina selalu bangun lebih awal untuk membersihkan diri di kamar mandi di pagi harinya. Ia merasa sungkan kalau sampai mertuanya mendapati dirinya dengan rambut basah berbalut handuk.
"Bunda kenapa?" tanya Aluna. "Bunda ...."
"Nggak apa-apa, Sayang. Kita istirahat dulu. Luna pasti capek banget setelah perjalanan semalaman naik kereta, kan?"
"Kapan Ayah datang? Aku mau kasih tau Ayah kalau aku naik kelas. Boleh kan, Bun?"
Tenggorokan Naina mendadak terasa kering. Apa yang harus dijawabnya?
"Bunda ...."
"Bo—boleh, Sayang. Ayah pasti senang karena Luna tumbuh jadi anak yang pintar."
***
Kembali setelah bertahun-tahun lamanya sama sekali tak membuat Amalia merasa canggung. Sejak pagi, wanita itu sudah mulai menyibukkan diri di halaman depan—memeriksa tanaman-tanaman yang ditanamnya dulu. Nyeri di kedua lututnya hilang begitu saja.
Senyumannya terkembang saat melihat pohon mangga harum manis berbunga lebat. Memori di mana sang putra rela memanjat pohon demi memenuhi keinginan istrinya saat ngidam seketika melintas.
"Ma." Naina memanggil Amalia yang tengah berdiri memandangi pohon mangga. "Mama ngapain di situ? Dari tadi Mama sibuk di sini. Istirahat dulu, Ma."
"Mama lagi lihat-lihat tanaman. Semuanya subur, Nai. Seharusnya kita datang pas buah mangganya hampir matang, ya. Bisa kita bawa pulang ke Malang untuk oleh-oleh."
"Ma, apa nggak lebih baik kalau Mama tinggal di sini aja?" ucap Naina yang seketika membuat Amalia langsung terkejut. "Di sini ada Mas Bhumi. Mas Bhumi pasti senang kalau tau Mama sudah pulang. Mas Bhumi juga pasti bakal memantau kesehatan Mama. Dia dokter yang hebat."
Amalia berjalan menuju teras rumah. Sebuah kursi santai menjadi pilihannya. Ia masih ingat betul kapan dan di mana ia membeli kursi itu. Rasanya masih sama nyaman.
"Kamu keberatan kalau Mama ikut sama kamu?" ucap Amalia.
"Bukan begitu maksud aku, Ma. Mama jangan salah paham." Naina yang merasa sangat bersalah pun segera duduk bersimpuh menciumi lutut sang mertua. "Aku cuma nggak mau Mas Bhumi kehilangan sosok seorang ibu, padahal ibunya masih ada. Mama sudah lama pergi ninggalin Mas Bhumi karena aku."
Amalia menangkup wajah sendu Naina. Wanita itu memandangi wajah ayu yang sudah mulai basah dengan air mata itu. Ia selalu bersyukur karena Naina-lah yang menjadi menantunya. Naina menyayanginya seperti ibu kandungnya sendiri.
"Mama bahagia karena kamu yang jadi istrinya Bhumi, Nai. Kamu nggak lahir dari rahim Mama, tapi kamu begitu sayang sama Mama. Mama minta maaf karena Mama nggak berhasil mendidik anak Mama jadi laki-laki yang baik. Mama minta maaf karena Bhumi hidup kamu dan Luna jadi begini. Mama berdosa sama mendiang Ibu dan Bapak kamu, Nai. Mama sudah buat anak perempuan mereka yang berharga sedih."
"Ma, jangan bilang begitu."
"Bunda ... Eyang." Aluna yang tiba-tiba muncul terkejut karena mendapati Naina dan Amalia menangis. "Bunda sama Eyang kenapa? Kok nangis?"
"Nggak apa-apa, Sayang. Bunda sama Eyang nangis karena bahagia akhirnya bisa pulang lagi ke sini," kilah Naina. "Ada apa, Nak?"
"Tadi Budhe Dhita telepon. Maaf karena aku angkat teleponnya tanpa izin dulu ke Bunda."
"Nggak apa-apa. Budhe bilang apa?" tanya Naina halus. "Budhe masih di hotel tempat Pakde Katon nginap, kan?"
Dhita tak bermalam di hari kedatangan saat itu. Setelah berisitirahat, sore harianya ia berpamitan pergi ke Jakarta. Sang suami yang memang sedang menghadiri konferensi menetap selama beberapa hari di hotel ibukota.
"Budhe bilang kita disuruh siap-siap," jawab Luna.
"Siap-siap ke mana, Sayang?" tanya Naina penasaran.
"Nyusulin Budhe ke Jakarta, Bunda. Ayo kita siap-siap, Bun! Aku kan belum pernah ke Jakarta."
Seketika perasaan Naina campur aduk. Ia hampir lupa tujuan kedatangannya. Secepat inikah ia akan dipertemukan kembali dengan dia yang pernah tega memintanya pergi dari rumah?
"Cepat atau lambat, semua akan terjadi, Nai." Ucapan Amalia semakin membuat jantunya berdetak lebih cepat. "Jangan lagi menghindar. Sudah cukup. Kita sudah terlalu lama sembunyi. Kasihan Luna."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top