MKSUK 8

"Ini bukan ranah kita." Katon berpesan pada sang istri, Dhita. Mengetahui kenyataan tentang hubungan Naina dan Bhumi tak menampik kalau sepasang suami istri itu sangat terkejut. Laki-laki itu sangat mengenal watak istrinya. Katon paham kalau Dhita pasti ingin menanyakannya langsung pada Bhumi. "Jangan ikut campur."

Dhita mendengus agak kesal. Di awal perkenalannya dengan Naina bertahun-tahun yang lalu memang membuatnya penasaran. Ia tak pernah melihat sosok suami Naina sekali pun. Naina cantik, bahkan sangat cantik. Seiring berjalannya waktu, Naina pun sedikit demi sedikit mulai terbuka.

"Mungkin kami memang sudah nggak berjodoh, Mbak."

Mengingat jawaban Naina saat itu membuat Dhita semakin penasaran. Kini, ia sudah tahu siapa sosok suami Naina yang selama ini tak pernah terekspos. Masalah apa yang sebenarnya membuat keduanya sampai harus berpisah dan menjadikan Aluna sebagai korban?

"Tapi, Pa—" Dhita tak bisa sepenuhnya menerima mandat sang suami. Dirinya dan Naina sama-sama seorang perempuan.

Katon mencengkram lembut bahu istrinya. Kepalanya menggeleng lembut. Ia tahu kalau wanita yang sudah sepuluh tahun lebih menemaninya mengarungi bahtera kehidupan itu tak akan rela menurut.

"Please," pintanya pada Dhita. "Biar mereka menyelesaikan masalahnya. Sepulangnya dari sini, kamu bisa tanya ke Naina. Pelan-pelan. Gimana?"

Pintu kamar keduanya diketuk dari luar. Suara Bhumi memanggil nama mereka. Sekali lagi, Katon kembali memperingatkan istrinya.

"Biar aku yang buka. Jangan bahas soal ini, ya."

Dhita hanya mengangguk, sementara Katon berjalan menuju pintu. Sosok Bhumi dengan pakaian yang sudah berganti pun muncul dari balik pintu.

"Kenapa, Bhum?" tanya Katon. Sebisa mungkin ia bersikap sesantai yang ia bisa. "Kok lo sudah rapi banget. Mau pergi?"

"Kita jalan-jalan, yuk!" sahut Bhumi. "Ada tempat makan yang enak dan view-nya bagus di malam hari, apalagi untuk couple kayak kalian berdua."

Katon dan Dhita saling bertatapan untuk beberapa detik lamanya.

"Kalian coba dulu signature dish mereka," ucap Bhumi yang seakan begitu mengenal restoran itu. "Gue suka banget makanan-makanan di sana. Na—"

"Na apa, Mas?" tanya Dhita cepat. Ia bisa melihat dengan jelas wajah Bhumi yang seketika berubah pucat. "Na apa, Mas? Itu nama makanannya?"

"Nama menu andalan mereka makaroni panggang dan lasagna gulung. Kalian harus coba." Helaan napas Bhumi perlahan terdengar. "Kalian siap-siap, ya. Gue tunggu di depan."

Benar apa yang Bhumi katakan. Pemandangan di restoran memang sangat cantik, ditambah ornamen-ornamen estetik yang membuat pandangan seolah tak mau beralih. Nyala api lilin yang ada di setiap meja pun menambah kesan romantis. Benar-benar tempat yang pas untuk dating!

"Mas Bhumi sering makan di sini?" tanya Dhita. Kepekaannya saat Bhumi yang hampir saja kelepasan membuatnya tahu kalau restoran ini menjadi salah satu tempat favorit Bhumi dan Naina. Namun, Dhita ingin mendengar langsung dari mulut laki-laki itu. "Kayaknya Mas Bhumi sudah familiar banget sama restoran ini."

"Sering datang kalau pas ke rumah Mama. Tapi, sudah nggak sesering dulu. Cuma kalau pas pengin mampir aja," jawab Bhumi. Tangannya bergerak mencampur segelas es teh manis yang sudah lebih dulu dihidangkan. Larutan gula cair dan teh pun perlahan bersatu. "Mama awalnya nggak suka karena terlalu banyak keju. Tapi—"

"Tapi apa, Mas?" sela Dhita. Sungguh ia tak sabar menunggu kelanjutannya. Akankah Bhumi menyebut nama Naina malam ini?

"Istriku berhasil buat Mama suka makanan-makanan yang ada di sini. Mama jadi suka dan selalu ngajak makan di sini setiap kali kami berkunjung."

Istriku. Bukan nama Naina yang disebut.

Meja sudah dipenuhi dengan makanan yang dipesan. Asap mengepul dari seloyang makaroni panggang menguarkan aroma khas keju. Lasagna gulung berisikan bayam dengan siraman saus tomat bumbu rahasia juga sudah melambai-lambai.

"Enak banget! Aku mau beli beberapa untuk oleh-oleh. Bisa nggak, ya?" celetuk Dhita. "Tahan kan kalau disimpan di kulkas?"

Bhumi mengangguk. Dulu, ia memang sering memenuhi keinginan istrinya. Naina akan dengan apiknya menyimpan di lemari es dan tahan untuk beberapa hari.

"Tapi, kalau kamu mau yang lebih fresh, sebelum pulang aku antar ke sini." Bhumi memberikan saran. "Pasti bakal jauh lebih enak ketimbang yang disimpan di kulkas. Gimana?"

"Boleh, Mas," sahut Dhita. "Tapi, apa nggak ngerepotin Mas Bhumi?"

"Sama sekali nggak. Aku sudah ambil cuti khusus selama kalian ada di sini, kok. Tenang aja," kekeh Bhumi. "Aku akan kasih service terbaik untuk kalian berdua supaya nggak kapok datang lagi ke sini."

Dhita merogoh tasnya. Ponsel sudah ada di genggaman. Nada panggilan terhubung pun terdengar.

"Nai, sudah tidur, ya?" Dhita bisa melihat Bhumi yang seketika meletakkan garpu dan pisaunya di atas piring. Raut wajahnya kembali memucat untuk kedua kalinya seharian ini. Entah kenapa Dhita semakin senang melihatnya. "Aku lagi makan malam di restoran favoritnya Mas Bhumi dan istrinya. Makanan di sini enak-enak. Makaroni panggangnya juara banget. Kamu pasti suka. Aku bawain, ya! Sama sekali nggak ngerepotin. Lusa aku pulang. Besok mau sowan ke Kebun Raya Bogor dulu."

"Naina?" tanya Katon. Dhita mengangguk setelah panggilan ditutup. "Makannya dilanjut, setelah itu kita pulang. Harus siap energi untuk besok. Kebun Raya luas. Benar kan, Bhum?"

"Mas Bhumi." Beberapa kali Dhita melambaikan telapak tangan di depan Bhumi, tapi laki-laki itu lambat merespons. "Mas Bhumi kenapa?"

"Ng—nggak ada apa-apa. Aku mau ke toilet sebentar, ya."

Bhumi berjalan menuju toilet di dalam restoran. Langkahnya agak sembrono karena sempat menabrak seorang pelayan. Tak menyebabkan kerugian apapun, ia kembali melangkah ke tujuan.

"Aku semakin yakin kalau ada yang nggak beres di antara mereka, Pa," ucap Dhita. "Apa Luna tau kalau Mas Bhumi itu ayahnya?"

"Naina pasti tau apa yang harus dia lakukan. Dia tau apa yang terbaik untuk putrinya."

***

Seperti biasa, Bu Lis datang untuk mengerjakan tugas. Katon dan Dhita belum keluar kamar. Seharian berkeliling Kebun Raya dilanjut dengan wisata kuliner membuat keduanya cukup kelelahan. Sebelum tidur, Dhita menyempatkan waktu untuk mengemas barang-barang bawaan.

"Mas Bhumi ke mana, Bu?" tanya Dhita. Ia tak menemukan mobil Bhumi yang biasanya terparkir di halaman depan. "Pergi?"

"Lagi ke Jalan Salak, Mbak. Katanya mau beli oleh-oleh untuk dibawa Mbak Dhita dan Mas Katon pulang ke Malang," jawan Bu Lis. "Makanannya sudah siap. Sarapan dulu, Mbak."

"Sudah kesiangan kalau sarapan, Bu," kekeh Dhita. "Memang di Jalan Salak ada apa, Bu?"

"Makaroni panggang, Mbak. Terkenal se-Bogor."

Ketika Dhita dan Katon tengah menikmati santap siang, deru mesin mobil Bhumi yang memasuki pekarangan terdengar. Derap langkah laki-laki itu yang mendekat ke ruang makan pun terdengar. Kedua tangannya penuh menenteng belanjaan.

"Sudah aku belikan untuk kalian bawa pulang ke Malang." Bhumi meletakkan semua tentengan di atas meja makan. "Setelah makan, kita langsung jalan. Takut macet arah ke airport-nya. Sudah lebih segar badannya?"

"Sudah," jawab Katon. "Lo juga ikut makan, dong. Masak kita berdua doang yang makan."

"Sudah sarapan tadi pagi," sahut Bhumi. "Gue ke kamar dulu. Silakan dilanjut makannya. Gue juga mau siap-siap balik ke Jakarta."

Pelukan di antara dua teman lama tercipta sebelum akhirnya berpisah. Keduanya berjanji untuk saling bertemu secepatnya. Entah di Jakarta, maupun di Malang.

"Maaf kalau gue belum bisa jadi tuan rumah yang baik untuk kalian berdua," ucap Bhumi. "Next time, gue akan berusaha untuk menjamu kalian jauh lebih baik."

"Kabari kita kalau ke Malang ya, Mas." Dhita berpesan.

***

Naina begitu merindukan keceriaan sang putri. Meskipun sudah mulai banyak bicara, Aluna seakan membangun tembok yang cukup tinggi di antara mereka. Obrolan malam yang biasanya mereka lakukan sebelum tidur pun terlewatkan.

Lampu kamar sudah dimatikan. Baik Naina maupun Aluna sudah merebahkan tubuh di atas ranjang. Selimut tebal juga sudah menutupi tubuh mereka.

"Luna masih marah sama Bunda, Nak?" ucap Naina pada Aluna yang tidur membelakanginya. "Bunda minta maaf. Bukan maksud Bunda bersikap kasar ke Luna. Ada hal yang belum bisa Bunda ceritakan ke Luna."

"Aku mau ketemu Ayah, Bunda." Suara isak tangis lemah mulai terdengar. Punggung kecil itu bergetar. "Ayah tau kalau aku ada kan, Bun?"

Naina menggeser tubuh mendekat putrinya. Ia mendekap hangat tubuh yang putri yang masih menangis. Hatinya seolah teriris. Ia bisa mengerti betapa Aluna begitu merindukan sosok sang Ayah.

"Kenapa Luna bilang kayak begitu? Ayah itu ayahnya Luna. Jelas Ayah tau kalau Luna ada. Ayah sendiri yang minta Bunda kasih nama Aluna. Ayah suka nama itu."

"Tapi, kenapa Ayah nggak pernah cari kita? Apa Ayah nggak kangen sama aku dan Bunda?"

Pertanyaan bocah 8 tahun itu membuat leher Naina terasa bagai dicekik. Dicekik oleh kenyataan. Bagaimana caranya ia menyampaikan pada sang putri kalau ayah kandungnya sama sekali tak memedulikan dirinya? Bagaimana bisa ia membayangkan respons Aluna kalau sampai gadis kecil itu tahu ayahnya sangsi akan dirinya?

"Ayah masih sibuk kerja, Sayang."

"Bunda selalu bilang begitu," protes Aluna kesal. "Ayah nggak pernah libur? Ayah sama Bunda nggak cerai, kan?"

Naina tak bisa menjawab. Putrinya tumbuh menjadi anak yang cerdas. Pertanyaan Aluna kembali memberikan pukulan yang telak.

"Ada hal yang nggak bisa Bunda ceritakan ke Luna. Seenggaknya, Bunda harus nunggu sampai waktunya tepat. Kalau waktunya sudah tepat, Bunda janji akan ceritakan semuanya ke Luna. Luna sabar, ya."

"Aku selalu berdoa kalau nanti aku bisa pergi ke sekolah diantar dan dijemput Ayah." Aluna melepas pelukan Naina dan kembali berbalik badan. "Apa Allah bakal ngabulin doaku, Bun?"

"Insha Allah ya, Sayang. Semoga Allah mendengar doa Luna."

Naina sama sekali tak mengira kalau Dhita akan datang mengunjunginya. Sama sekali tak ada pemberitahuan sebelumnya. Ia semakin dibuat terkejut dengan apa yang dibawakan wanita itu.

"Oleh-oleh untuk kamu," ucap Dhita. "Dari Mas Bhumi. Dia pergi ke restoran itu dan beli semuanya."

"Ma—maksudnya gimana, Mbak?" tanya Naina bingung. "Ma—Mas Bhumi?"

"Ini semua makanan kesukaan kamu, kan?" todong Dhita. "Aku bisa dengar suara kamu di telepon malam itu. Nai, kamu sudah nggak perlu menyembunyikan semuanya. Aku dan Mas Katon sudah tau."

"Maksud Mbak apa?"

"Kamu dan Mas Bhumi ... kalian suami istri, kan?"

"Mbak—"

"Mas Katon nggak kasih izin aku untuk tanya ke Mas Bhumi langsung, tapi dia izinin aku untuk tanya ke kamu." Dhita yang semula duduk di hadapan Naina pun segera berpindah. Firasatnya berkata kalau kemungkinan besar pelukannya dibutuhkan untuk meredakan tangis. "Sebenarnya ada apa di antara kalian berdua? Apa dia nggak pernah hubungi kamu? Apa dia nggak pernah datang berkunjung ke sini?"

"Mbak, aku mohon," pinta Naina tulus. "Apapun yang Mbak dengar hari ini, tolong simpan baik-baik. Masalah Mas Bhumi, aku sudah nggak bisa berbuat apa-apa. Aku cuma mau hidup tenang sama Luna."

"Mas Bhumi tau keberadaan Luna?" tanya Dhita serius. Naina mengangguk, tapi terlihat sedikit ragu. "Kenapa? Kok kamu kayak ragu begitu? Ada apa, Nai? Jangan-jangan selama ini Mas Bhumi pikir kalau Luna ...."

"Bukan anaknya," sela Naina. "Demi Allah, Mas Bhumi itu ayah kandung Luna. Aku sudah sampaikan sebisa aku."

"Luna ... dia bilang apa?"

"Dia bilang kalau dia kangen ayahnya. Dia minta ketemu sama ayahnya," jawab Naina seraya menyeka lelehan air mata yang mulai meluncur. "Aku nggak bisa janji apa-apa. Mas Bhumi menutup semua akses."

"Dia masih cinta kamu, Nai. Aku tau itu. Aku lihat itu dari sorot mata dia setiap kali nama kamu disebut."

"Nggak, Mbak. Bukan cinta, tapi benci. Mas Bhumi sudah benci banget sama aku."

Suara gerendel pagar terdengar.

"Lho, sudah pulang?" tanya Naina pada sang putri yang baru saja masuk. Aluna mencium punggung tangannya dan Dhita. "Lapar?"

"Iya. Bunda masak apa?" ucap Aluna.

"Bunda belum masak, Sayang." Naina menyodorkan oleh-oleh yang dibawakan Dhita pada Aluna. "Luna makan itu dulu, ya. Kamu pasti suka."

"Ini apa, Bun?" tanya Aluna sembari mengintip isi paperbag.

"Itu oleh-oleh dari ayahnya Luna," sela Dhita yang sontak saja membuat Naina melotot. "Ayah titip itu untuk Bunda dan Luna."

"Budhe ketemu Ayah?" tanya Aluna antusias. Dhita mengangguk dan tersenyum. "Budhe kenal Ayah?"

"Ternyata ayahnya Luna itu teman Pakdhe Katon. Luna mau ketemu sama Ayah?"

Anggukan Aluna menandakan betapa besar keinginan gadis kecil itu untuk bisa bertemu dengan sosok ayah yang selama ini hanya bisa dilihatnya dari foto. Dalam hati ia tak berhenti berdoa. Semoga Tuhan mengabulkan keinginannya. Sangat sederhana bagi orang lain, tapi tidak untuknya. Jika setelahnya ia rela mimpinya yang lain tak terwujud, tak apa. Ia ahanya ingin ayahnya.

"Nanti Luna bisa ketemu Ayah. Budhe janji ya, Sayang."

-to be continued-


Maap karena baru bisa update lagi, ya.
Semoga kalian masih setia sama cerita ini.
Sayang kalian banyak-banyak.
See you on the next update, yaaak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top