MKSUK 7
Aku nggak bosen ya minta tolong rameikeun Perfect Escape. Muah muah muah. Tulung yaaaaaa.
"Pesanannya sudah semua ya, Mbak." Naina menyerahkan seluruh kue yang sudah dipesan Dhita sebelumnya. Ia selalu bersungguh-sungguh setiap kai mengerjakan pesanan yang masuk. Namun, khusus hari ini ia mengerahkan lebih usahanya. Terutama untuk kue bolu kukus pandan. "Penerbangannya jam berapa, Mbak?"
"Jam 2. Setelah landing, kami langsung ke venue dijemput Mas Bhumi," ucap Dhita.
"Ma—Mas Bhumi?" sahut Naina dengan nada terkejut. Sungguh ia harus bisa menjaga emosinya. "Memangnya dia sempat jemput? Kan mau tunangan."
"Tunangan?" Kedua alis Dhita saling bertautan. Naina mengangguk. "Yang tunangan itu bukan Mas Bhumi, tapi Mas Alfian. Mas Bhumi sudah nikah, tapi katanya istrinya nggak tau pergi ke mana. Itu yang aku dengar dari Mas Katon. Dia juga belum pernah ketemu sama istrinya Mas Bhumi."
Pedih hati Naina mendengarnya, meskipun ada sedikit perasaan lega yang terselip di sana karena ternyata buka Bhumi yang akan melangsungkan pertunangan. Ia dinilai sebagai seorang istri yang pergi meninggalkan rumah. Sungguh bukan keinginannya meninggalkan rumah saat itu. Bhumi yang memintanya pergi.
"Lho, ada Dhita," ucap Amalia yang baru saja bergabung dengan mereka di ruang tamu. "Sudah lama, Dhit?"
"Belum, Bu. Baru banget, kok," jawab Dhita seraya mengecup punggung tangan Amalia. Tatapan Dhita kembali beralih ke arah Naina. "Kalau kamu mau, biar aku minta Mas Katon ngenalin kamu ke Mas Bhumi. Siapa tau kalian jodoh."
"Bhumi?" serobot Amalia cepat. Dhita pun menanggapinya dengan anggukan. Amalia gegas menatap Naina yang tiba-tiba memucat. "Nai?"
"Ma," ucap Naina lemah. Ia menggeleng pelan. "Sudah, ya. Nanti aku jelaskan. Aku janji."
Amalia terpaksa mengangguk.
"Gimana, Nai?" ucap Dhita. "Kebetulan nanti aku sama Mas Katon bakal nginap di rumahnya Mas Bhumi."
"Rumah yang di mana—" Naina seketika langsung menutup rapat bibirnya. Ia bisa melihat Dhita yang sedikit memicingkan mata ke arahnya. "Semoga perjalanannya lancar ya, Mbak."
Dhita melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Nai, aku pamit dulu. Nanti aku bawakan oleh-oleh, ya."
Naina menatap kepergian Dhita. Di sampingnya, Amalia setia mengusapi punggung rapuhnya. Napas Naina terasa sedikit berat.
"Kamu hutang satu penjelasan ke Mama," ucap Amalia. "Ada apa sebenarnya?"
***
Bhumi menunggu kedatangan Katon dan Dhita di pintu kedatangan domestik. Masih ada waktu beberapa jam sebelum acara pertunangan Alfian dimulai. Beberapa kali ia menengok jam di tangannya. Seharusnya pesawat yang ditumpangi keduanya sudah mendarat, jika memang sesuai dengan jadwal.
"Bhumi?" Suara seseorang yang baru saja memanggil membuat Bhumi menengok. "Aku kira salah orang. Kamu ngapain di sini?"
Bhumi menghela napasnya.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Bhumi. Wanita itu melepas kacamata yang bertengger di hidung mancungnya.
"Seharusnya aku yang tanya. Kamu ngapain ke sini?"
"Jemput teman," jawab Bhumi singkat.
"Aku baru balik dari Makassar. Ada kerjaan di sana," ucap wanita itu. "Papa sama Mama kamu sudah kasih tau kalau bulan depan ulangtahun pernikahan orangtuaku?"
"Terus?" sahut Bhumi singkat. "Urusannya sama aku apa?"
"Kamu itu calon menantunya mereka." Wanita itu terlihat melambaikan tangan. "Aku duluan. Pak Ade sudah jemput. Salam untuk Om dan Tante, ya. Bye."
Lama sendiri membuat kedua orangtuanya mencoba beberapa kali menjodohkannya dengan anak dari sahabat, bahkan kolega bisnis mereka. Bhumi tak pernah menyetujuinya. Namun, upaya terakhir mereka rupanya membuat Bhumi terpaksa mengalah. Usia sang Papa semakin senja. Keluarga mereka membutuhkan penerus.
"Lama nunggu, ya?"
Lamunan Bhumi seketika buyar saat punggungnya ditepuk.
"Maaf. Pesawatnya ngantre pas mau take off ditambah turbulence pas mau landing. Cuacanya nggak bagus, jadi terpaksa muter-muter sebentar sampai bisa mendarat," jelas Katon.
"Nggak apa-apa," ucap Bhumi santai. "Lapar nggak? Kita makan dulu, baru nanti ke acaranya Al. Gimana?"
Acara pertunangan Alfian berjalan dengan lancar. Bhumi mengajak dua tamu istimewanya untuk singgah sementara sebelum akhirnya membawa mereka ke rumah sang Mama di Bogor. Bhumi sudah meminta Bik Iroh untuk menyiapkan kamar tamu.
"Mas Bhumi," panggil Dhita pada Bhumi. "Aku sampai lupa mau kasih ini."
"Ini apa?" tanya Bhumi saat melihat sebuah kotak yang disodorkan di hadapannya.
"Kue. Aku sengaja pesan kue untuk Mas Al dan Mas Bhumi. Bolu kukus pandan ini khusus untuk Mas Bhumi. Naina yang buat," ucap Dhita.
"Aku lupa mau kasih. Harusnya tadi bisa dicemilin di mobil, ya. Beruntung nggak basi. Simpan di kulkas aja, Mas. Biar aman."
Tangan Bhumi sedikit bergetar menerima kotak kue pemberian Dhita.
"Ka—kalian bisa langsung masuk kamar dan istirahat. Besok pagi kita berangkat ke Bogor."
Pintu kamar tamu ditutup. Bhumi masih berdiri terpaku. Dibawanya kotak itu ke meja makan. Ia memberanikan diri untuk membuka tutupnya. Tangannya bergerak mengambil satu bolu kukus.
"Rasanya selalu sama," gumamnya pelan.
***
Agar bisa menjamu tamunya dengan baik, Bhumi sengaja mengambil cuti kerja selama beberapa hari ke depan. Ia akan menjadi sopir pribadi sementara yang akan mengantarkan Katon dan Dhita ke mana pun mereka mau. Keduanya tak menolak saat ia mengusulkan untuk menempati rumah sang Mama di Bogor. Lagipula, udara di Bogor jauh lebih segar ketimbang ibukota.
Bu Lis menyambut kedatangan ketiganya di teras rumah. Bhumi memang sempat menghubungi untuk merapikan kamar tamu dan menyiapkan makanan.
"Saya sudah siapin makanan di meja, Mas," lapor Bu Lis pada Bhumi.
"Terima kasih ya, Bu."
Tiga cangkir minuman hangat dan beberapa toples kue kering sudah tersaji di meja tamu. Karena akan menghabiskan waktu selama beberapa hari di Bogor, Bhumi tak lupa membawa kotak berisikan sisa bolu kukus pandan buatan Naina.
"Bu, tolong simpan di kulkas." Bhumi meminta tolong pada Bu Lis. "Oleh-oleh dari tamu kita. Sudah saya makan beberapa. Karena takut basi, jadi saya bawa ke sini. Silakan dicicipi, Bu."
Bhumi meninggalkan kedua tamunya di ruang tamu. Perutnya terasa sedikit mulas setelah memakan cukup banyak sambal di warung soto mi Bogor langganannya.
"Bhumi gaya banget makan sambal banyak," seloroh Katon. Laki-laki itu beranjak dari duduknya dan melihat-lihat bagian rumah. Ada beberapa foto yang terpajang di dinding dan sebagian bertengger di sebuah meja panjang. Kening Katon seketika langsung berkerut. "Ma, ke sini sebentar."
"Kenapa, Pa?" sahut Dhita bingung. Wanita itu pun langsung menghampiri sang suami. "Ada apa, sih?"
"Coba Mama lihat foto ini," pinta Katon. "Ini Bu Amalia—mamanya Naina, kan?"
Dhita mengikuti arah pandang sang suami. Satu demi per satu foto diperhatikan. Meskipun sosok di foto itu terlihat jauh lebih muda, tapi ia masih bisa mengenali kalau itu memang Amalia. Keduanya saling pandang.
"Kamarnya sudah bisa ditempati," ucap Bu Lis. "Barangkali Mas dan Mbak capek karena perjalanan dari Jakarta. Silakan istirahat di dalam."
"Bu, ini Bu Amalia, kan?" tanya Dhita pada Bu Lis. Yang ditanya pun mengangguk. Dhita dan Katon kembali saling menatap. "Beliau ini siapanya Mas Bhumi, ya?"
"Bu Amalia itu ibunya Mas Bhumi, Mbak," jawab Bu Lis. "Tapi, sudah sekitar 9 tahun ini nggak pernah pulang ke sini. Kemarin Mas Bhumi bilang kalau beliau ada di Malang sama Mbak Naina."
"Naina?" sahut keduanya serentak.
Dhita segera mengeluarkan ponselnya. Ia membuka ruang obrolannya dengan Naina.
"Naina yang ini?" Dhita menunjukkan foto profil Naina pada Bu Lis. Wanita itu menjawabnya dengan anggukan.
"Benar, Mbak. Itu Mbak Naina. Meskipun saya jarang lihat, tapi saya masih ingat mukanya. Mbak kenal sama Mbak Naina juga?"
"Memang Naina siapanya Bhumi, Bu?" tanya Katon.
"Mbak Naina itu istrinya Mas Bhumi, Mas."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top