MKSUK 5
Bhumi menatap selembar foto yang selama ini disimpannya di bagian terdalam lemari pakaian. Sudah bertahun-tahun lamanya ia tak pernah lagi melihat foto itu. Di foto itu terpampang jelas dirinya yang menjabat tangan seorang laki-laki yang menjadi wali nikah Naina, menggantikan almarhum ayahnya. Benar-benar sekedar akad nikah semata. Sama sekali tak ada perayaan khusus setelahnya.
Naina tertunduk dengan kedua mata yang sembap basah karena air mata. Ikrar pernikahan itu diucap di hadapan tiga keranda jenazah; ayah, ibu dan adik tercintanya. Keduanya resmi menjadi sepasang suami istri.
Sejak hari itu, Bhumi menyingkirkan seluruh barang yang pernah Naina sentuh. Barang-barang itu disimpannya di gudang. Namun, tidak dengan foto pernikahan keduanya. Ia masih menyimpannya, meskipun rasa kecewa karena merasa dikhianati masih bertengger di hatinya.
Ia tak pernah menyangka akan kembali menginjakkan kakinya di kota Malang yang memberikan kenangan tersendiri baginya. Di sana ia bertemu Naina untuk pertama kali. Di sana juga ia mulai menyadari cinta yang Naina berikan untuknya.
"Ya Tuhan." Bhumi mengusap wajahnya kasar. Bayang-bayang rupa cantik Naina kembali hadir di kepalanya. Tahun demi tahun yang berlalu begitu saja sama sekali tak mengubah wanita itu. Masih sama cantiknya.
Tangannya bergerak membuka layar laptop. Entah kenapa ada keinginan besar di dalam dirinya untuk memeriksa e-mail lama miliknya. Merasa kerap diteror dengan pesan-pesan yang Naina kirim padanya, Bhumi memutuskan untuk membuat akun yang baru.
Lama ia tak memeriksa aamat e-mailnya. Satu demi satu pesan masuk diperiksa. Tangannya gemetar saat menemukan sebuah pesan. Ia masih ingat betul responsnya saat Naina membacakan alamat e-mail-nya.
"Biarin aja."
Selalu itu yang menjadi jawaban Naina tiap kali Bhumi protes tentang betapa rumitnya alamat e-mail wanita itu.
Apa kabar, Mas? Kamu makan dengan baik, kan? Jangan lupa taruh sepatunya di rak setiap pulang kerja. Jangan langsung tidur dalam keadaan kotor. Kamu pasti bosan setiap kali aku ngoceh, kan? Aku tau semuanya percuma, Mas. Aku tau kalau kamu nggak akan pernah baca pesan ini, kayak waktu aku kasih tau kamu anak kita sudah lahir. Aku harap kamu nggak akan keberatan kalau aku banyak cerita ke dia tentang kamu nantinya. Aku pastikan kalau kamu akan tetap jadi cinta pertamanya, meskipun mungkin dia nggak akan bisa ketemu kamu, Mas. Anak kita akan selalu mengagumi kamu.
Bersama dengan surat ini, aku sertakan foto anak kita. Aluna genap 1 tahun bulan lalu. Mungkin akan terdengar mustahil, tapi aku selalu berharap kelak kamu bisa mendampingi dia saat tiup lilin di hari ulangtahunnya. Oh, iya. Perkembangannya sangat baik. Kamu mau tau tentang satu hal? Bukan 'Bunda' kata pertama yang diucapkannya, tapi 'Yah'. Terima kasih karena kamu sudah menghadirkan Aluna di kehidupanku. Aku akan jaga dia sebaik mungkin. Jaga diri kamu baik-baik, Mas.
Salam sayang dari kami,
Naina dan Aluna
Bhumi menghela napasnya. Sebuah file gambar yang dikirimkan Naina belum juga dibuka. Setelah mengumpulkan semua keberanian yang dimiliki, akhirnya ia bisa melihat sosok seorang bayi perempuan yang terlihat sangat bahagia dengan seekor kelinci di dekatnya.
"Nggak." Bhumi menggelengkan kepalanya. "Dia bukan anakku."
***
Naina yang dibantu Bulik Yem dan satu asisten lainnya mengerjakan pesanan kue. Keseluruhannya harus diantar sore ini. Hampir semua yang memesan adalah pelanggan setianya selama ini. Naina tak ingin mengecewakan mereka.
Wanita itu sangat besyukur karena kedua tangannya bisa dipergukan untuk menghasilkan uang. Pernah bekerja sementara waktu sampai akhirnya harus mengundurkan diri karena keadaan Aluna yang sakit-sakitan dulu.
"Kenapa, Ma?" tanya Naina pada Amalia yang sudah berdiri di dapur. "Mama butuh sesuatu?"
"Ada Dhita di depan. Mau pesan kue, katanya," jawab Amalia. "Temui dulu. Biar Mama yang lanjutin."
Naina mendapati Dhita duduk di kursi santai yang memang sengaja ditempatkan di teras rumah. Biasanya wanita itu akan menghubungi tiap kali memesan kue.
"Kok tumben langsung datang?" ucap Naina. "Mbak tadi ada kirim pesan ke aku?"
"Nggak kok, Nai. Aku memang sengaja ke sini karena sekalian dari pasar. Aku mau pesan kue untuk lusa. Aku sama Mas Katon mau ke Jakarta."
"Ada acara, Mbak?" tanya Naina.
"Temannya Mas Katon yang pernah datang ke rumah mau tunangan," jawab Dhita. "Mas Katon mau sekalian reuni dengan teman-temannya yang lain, katanya. Oh, iya. Nai, Mas Bhumi—temannya Mas Katon senang banget sama bolu kukus buatanmu. Itu kenapa aku datang ke sini. Aku pesan bolu kukusnya 40 biji, ya. Aku juga pesan bolu bakarnya dua loyang."
Nania terdiam. Baru saja kedua telinganya menangkap nama seseorang yang disebutkan Dhita. Kenapa Tuhan senang sekali bermain-main dengannya?
"Mas Bhumi?" ucap Naina.
"Iya. Mas Bhumi itu teman Mas Katon yang datang waktu itu. Dia teman kuliah Mas Katon waktu di Jakarta." Dhita menyadari ada sesuatu terjadi pada Naina. "Kamu kenapa, Nai?"
"Ng—nggak apa-apa," sanggah Naina segera. "Untuk lusa, ya? Mau diambil atau diantar ke rumah?"
"Biar tak ambil ke sini aja."
Naina masuk ke kamar. Sambil terisak, ia membanting tubuhnya ke atas ranjang. Kenapa rasanya sangat sakit?
Selama ini, sama sekali tak ada surat dari pengadilan agama yang dikirimkan padanya. Tentang status pernikahannya dengan Bhumi, ia pun sudah tak yakin. Rasanya sudah tak ada lagi harapan di pernikahan mereka.
"Bunda."
Suara itu membuat Naina dengan sigap langsung mengeringkan lelehan air mata di kedua pipinya. Ia tak ingin sang putri melihatnya dalam keadaan yang menyedihkan seperti itu.
"Sudah pulang sekolahnya?" tanya Naina saat dilihatnya Aluna yang berdiri di ambang pintu kamar. Putrinya mengangguk. "Sini, Sayang. Peluk Bunda."
Aluna menurut. Gadis kecil itu memeluk erat tubuh Naina. Di dalam pelukan sang putri, Naina berusaha sekuat tenaga untuk menahan isakkan.
"Kita makan siang bareng, ya. Uti Yem sudah masak enak untuk kita."
Setelah mengerjakan pekerjaan rumahnya, Aluna diperbolehkan untuk menonton televisi. Naina tengah sibuk merapikan catatan pesanan kue yang harus dikerjakan esok harinya.
"Bunda!" panggil Aluna pada Naina kencang. "Bunda, ke sini dulu."
"Kenapa, Sayang?" Naina yang panik bercapur khawatir pun segera menghampiri sang putri yang kini berada di ruang tengah. "Kamu kenapa teriak-teriak kayak begitu?"
"Itu." Aluna hanya mengarahkan telunjuknya ke layar televisi. "Ayah."
Bulu kuduk Naina sontak meremang. Kini, layar televisi menampilkan sosok Bhumi.
"Itu Ayah, kan?" ucap Aluna. "Ayah masuk TV, Nda."
"Ada apa, Nai?" Amalia yang baru saja keluar dari kamar sepertinya menyadari kehebohan yang terjadi di ruang tengah. "Mama dengar heboh-heboh."
"Mas Bhumi, Ma," sahut Naina lemah sambil menunjuk ke layar televisi. "Mas Bhumi."
"Agak sulit yang untuk mendatangkan Dokter Bhumi. Kami dapat info dari pasien-pasien yang pernah Dokter tangani kalau Dokter adalah sosok yang selalu berusaha untuk akrab dengan pasiennya. Bisa Dokter ceritakan sedikit tentang diri Dokter? Kayaknya pemirsa yang ada di studio dan di rumah penasaran banget nih sama sosok seorang Dokter Raka Bhumi Adhyaksa. Dokter sudah menikah? Soalnya dilihat dari sisi manapun, Dokter memenuhi semua kriteria husband's material. Semua cewek pasti antre setelah acara ini."
"Sudah." Bhumi menjawab dengan singkat pertanyaan sang pembawa acara. "Tapi, sekarang status saya single. Belum terpikirkan untuk menikah lagi. Setidaknya, saya harus menemukan orang yang tepat karena saya pernah merasakan sakitnya dikhianati. Saya nggak mau gagal untuk kedua kalinya."
Naina dapat meihat dengan jelas tatapan Bhumi di layar televisi. Laki-laki itu seolah mengiriminya pesan.
"Bunda," panggil Aluna lembut.
"Sudah malam. Luna tidur sekarang, ya."
"Aku masih mau lihat Ayah."
"Bunda bilang tidur sekarang! Matikan TV-nya!"
Aluna memaku. Ini kali pertama sang Bunda membentaknya. Gadis kecil itu seketika langsung terisak, meninggalkan ruang tengah dan masuk ke kamarnya. Naina yang langsung menyadari sikapnya pun segera menghampiri sang putri.
"Bunda minta maaf. Bunda nggak berniat marahin Luna. Maafin Bunda."
-to b continued-
Hai, semuanya.
Maaf karena cerita ini butuh waktu lama untuk bisa update.
Ada banyak hal yang terjadi beberapa bulan terakhir ini.
Aku pikir semua akan berjalan sesuai ekspektasiku, tapi nyatanya meleset semua.
Aku minta maaf karena sudah buat kalian nungguin terlalu lama.
Ada satu hal yang mau aku sampaikan.
Aku minta maaf atas kelancangan sikapku yang promo cerita di update sebelumnya.
Aku pikir hal itu wajar dilakukan setiap penulis karena aku ngerasa punya hak dan kewajiban untuk mengenalkan cerita-ceritaku ke pembaca. Dan saat itu memang kami, penulis-penulis yang tergabung di PF itu, diminta untuk memperkenalkan cerita kami di mana pun, termasuk media sosial. Setiap cerita yang aku tulis adalah anak-anakku.
Aku minta maaf untuk yang nggak berkenan.
Tapi, aku juga minta satu hal.
Nggak ada satu pun orang yang mau dibanding-bandingkan dengan orang lain.
Begitu juga sama aku.
Aku cuma penulis kecil. Sama sekali nggak bisa dibandingkan dengan penulis besar sekelas beliau.
"Nggak suka sama caranya. Lihat dong si A. Dia memanjakan pembacanya."
Aku sedih.
Cerita ini akan terus berlanjut di wattpad. Itu yang bisa aku sampaikan. Karena dari awal emang aku mau tamatin ini di sini. Tapi, mungkin nanti akan ada versi cetaknya. Kalau memungkinkan.
Jadi, untuk siapapun kalian yang sudah salah paham, aku harap kalian baca pesan ini.
Aku menerima segala macam saran dan kritik. Mohon sampaikan dengan santun. Tapi, tolong jangan bandingkan dengan siapapun. Setiap penulis punya caranya sendiri, kan?
Aku selalu baca komentar yang masuk satu per satu. Maaf kalau emang ga sempat balas. But your messages sampe ke aku, guys.
Aku masih dalam proses belajar. Aku harap kalian bisa memaklumi sekaligus berkenan untuk menjadi guruku.
Aku kembali, guys hehehhe.
Maaf karena sudah ninggalin kalian cukup lama.
Aku harap cerita–cerita yang nantinya akan lahir bisa menempati tempat tersendiri di hati kalian.
Aku juga ada cerita baru. Kalian sudah baca PERFECT ESCAPE?
Ikutin ceritanya. Karena aku bakal bagi-bagi dua novel cetak.
Dia (Omku) Suamiku dan Mulai Dari Nol.
Sekali lagi, terima kasih banyak.
Love you.
Wulan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top