MKSUK 3
Ada yang melek?
Aku kembali huahhahahaha
Adakah yang masih menantikan cerita ini?
Kalian kenapa sih kalau baca cerita pada kaga mau komen?
Aku man butuh feedback dari kalian huhuhu
Komen dongggg.
Bhumi menatap sepiring kue bolu kukus yang tersaji di hadapannya dengan tatapan pias. Ia sempat memakan dua biji. Kini seleranya hilang sudah. Indera perasanya masih bisa mengenali dengan baik rasa itu. Namun, otaknya terus saja berusaha untuk mengingkari. Nggak mungkin, batinnya.
Tuan rumah yang menjamu terlihat bingung mendapati tamunya yang sedari tadi hanya menatap lurus ke arah setumpuk bolu kukus pandan di atas meja. Yang Katon—sang Tuan Rumah tahu, rekan sejawatnya itu sangat menggemari panganan itu sejak masa kuliah dulu. Itu yang menjadi alasannya meminta sang istri untuk menyediakan makanan itu guna menjamu tamu-tamunya.
"Kok cuma dilihatin, Bhum? Perut lo sudah kenyang apa gimana?" ucap Katon. Laki-laki itu memang punya selera humor yang tinggi. Ia kenal bagaimana sifat temannya itu. Bhumi sama dengannya, sama-sama senang berguyon. Karena tak segera mendapat sahutan dari Bhumi, ia pun kembali melemparkan guyonan. "Yah, rawon bikinan bini gue nggak kemakan, dong?"
Bhumi sadar dari lamunannya. Merasa tak enak hati pada Katon, ia pun tersenyum. "Tenang aja. Masih ada space lega di sini." Sungguh ia merasa konyol saat ini karena mengusapi perutnya, padahal sama sekalli tak lapar. Pikirannya melanglang buana memikirkan seseorang di masa lalu yang selalu menyempatkan waktunya untuk membuatkan bolu kukus setiap waktu sarapan. Namun, saat malas orang itu lebih memilih untuk membeli di warung sayuran dekat rumah.
"Tenang, Ton. Lipase, amilase sama protease di lambungnya Bhumi bekerja dengan sangat baik, kok," sambar Alfian. Selepas lulus kuliah, Alfian menetap di ibukota karena tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. Ia dan Bhumi bekerja di rumah sakit yang sama. "Bolu kukusnya dimakan lagi, Bhum! Kan itu kesenangan lo."
Ketiga orang itu larut membahas kenangan masa lalu saat menuntut ilmu di fakultas kedokteran di sebuah universitas di Jakarta. Memang sudah lama mereka tak saling bertemu untuk melepas rindu. Kesempatan langka seperti ini tak boleh disia-siakan.
Segarnya rawon buatan istri Katon—Dhita yang ditambah perasan air jeruk nipis kembali membuat Bhumi tanpa sadarnya teringat akan masa lalu. Dulu sekali, setidaknya dua minggu sekali orang itu akan memasakkan rawon untuknya. Dan ... rasanya jelas jauh lebih nikmat dari rawon buatan Dhita. Dibuat dengan cinta dan sayang, kata orang itu.
Bhumi selesai dengan makanannya. Piringnya benar-benar licin tanpa menyisakan satu butir nasi pun. Perutnya penuh dan terasa hangat secara bersamaan. Efek panasnya sambal cabai rawit terasa di lambungnya. Laki-laki itu mengusapi mulutnya yang mungkin saja kotor karena makanan dengan selembar tisu.
"By the way, Ton. Boleh tanya sesuatu?" ucap Bhumi dengan sedikit ragu. Katon masih berusaha menghabiskan sepiring nasi rawon yang tanpa sengaja ditambahkan begitu banyak sambal dengan susah payah. Laki-laki itu sudah begitu berkeringat. Namun, ia masih mampu menganggukki pertanyaan temannya. "Bolu kukus tadi Dhita sendiri yang buat?"
"Mana mungkin!" canda Katon yang dihadiahi satu sikutan di pinggangnya oleh sang istri. "Kalau Dhita sampai jago bikin kue, uang belanjanya gue tambahin. Setuju nggak kamu, Ma?"
"Halah. Ngomong aja," sahut Dhita. "Dulu bilang kalau aku jago masak mau tambahin uang belanja. Mana buktinya?" Dhita sadar kalau ada dua orang yang sedang menyaksikan drama rumah tangganya. "Aku pesan di teman. Kebetulan memang kue-kue buatannya cocok sama selera kami sekeluarga. Kenapa tah, Mas Bhum? Opo nggak enak?"
"Bukan begitu. Enak banget, makanya aku tanya. Ini beda sama bolu kukus yang biasa aku makan di Jakarta," jawab Bhumi.
"Berarti lidahnya Mas Bhumi peka banget. Bolu kukusnya Naina memang beda sama yang lainnya. Dia—"
Mendengar nama itu membuat Bhumi tercenung. Sudah lama sekali nama itu tak bergaung di telinganya. Orang itu. Naina.
"Maaf, tadi siapa namanya?" ucap Bhumi seolah berusaha untuk memastikan. Kedua telinganya masih berfungsi dengan sangat baik. Setidaknya, tak pernah ada masalah yang mengharuskannya memeriksakan diri ke Dokter Kurnia Sp.THT di poli. Namun, ada kemungkinan ia salah mendengar karena sempat larut akan kenangan masa lalu. "Bisa diulang di bagian namanya?"
"Naina?" ucap Dhita mengulang. Bhumi kembali terdiam. Hal itu jelas membuat Dhita bingung. "Ada apa tah, Mas?"
"Nggak ada apa-apa," sahut Bhumi. Ia mendapatkan senggolan dari Alfian yang duduk di sebelahnya. Alfian hafal betul sejarah percintaan temannya, termasuk saat bersama dengan Naina. Bhumi hanya menggeleng pelan, seolah mengirim sinyal agar Alfian tak membahas hal itu di sini. Jangan bahas di sini. "Kuenya enak."
"Kalau orang-orang pakai pasta pandan, Naina beda. Dia pakai air sari pandan yang dicampur daun suji. Itu kenapa warna hijaunya agak beda karena pewarnanya alami." Dhita menyampaikan semua yang ia tahu soal kue buatan Naina. Semua oragn terlihat begitu memperhatikan, termasuk Bhumi. "Naina pernah bilang ke aku kalau awalnya dia cuma iseng belajar buat bolu kukus karena orang terdekatnya suka banget. Aku baru kenal dia lima tahun terakhir ini, kok. Waktu itu dia benar-benar baru banget balik Malang. Sebelumnya dia nggak di sini. Menurut cerita dia sih begitu."
Bhumi merasa tersentil dengan cerita Dhita. Sejak hari di mana ia tahu Naina pergi, Bhumi tak pernah berusaha untuk menemukannya. Rasa kecewa dan benci yang menyatu membuatnya masa bodoh. Sama selaki tak peduli dengan keadaan Naina dan ... anak itu.
***
Saat pulang, ia mengambil alih kemudi. Dulu sekali, ia pernah mengunjungi kota ini. Kunjungan singkat yang ternyata merubah hidupnya 180̊. Mobil yang dikemudikannya membelah jalanan kota Malang. Jalanan ini pernah dilaluinya, meskipun hanya beberapa kali di kunjungan singkatnya saat itu.
Alfian yang duduk di kursi penumpang bisa menebak ke mana temannya akan membawa mobil itu pergi. Memasuki sebuah kompleks perumahan, ia semakin dibuat yakin. Mobil itu berhenti beberapa meter di depan sebuah rumah. Meskipun tak pernah melihat rumah itu sebelumnya, tapi Alfian tahu itu rumah siapa. Tak banyak orang asli Malang yang Bhumi kenal.
"Kenapa ke sini?" tanya Anton pada Bhumi. Laki-laki di sebelahnya masih menggenggam erat kemudi. Mesin mobil pun dibiarkan tetap menyala. "Bhumi, gue lagi ngomong sama lo. Kita ngapain di sini? Lo mau nemuin dia? Kalo iya, kenapa nggak turun? Kenapa masih di sini?"
Kompleks perumahan itu sudah banyak mengalami perubahan. Dulu, model rumah-rumah di sini terbilang agak kuni. Namun, waktu merubah segalanya. Semuanya hampir tampak terlihat lebih modern. Sebuah rumah menyedot perhatiannya. Sebuah kanipi yang terpasang di halaman depan menjadi pertanda hasil renovasi. Di rumah itulah ia mengucap akad atas orang itu.
Bhumi tak menanggapi ocehan temannya. Fokusnya tetap terarah ke rumah bernomor 29 dengan pagar besi bercat hitam itu. Sebelumnya, pagar itu berwarna putih.
Telinganya penuh sesak dengan segala macam ocehan yang masih terlontar dari mulut Alfian. Namun, itu sama sekali tak membuat fokusnya terbelah. Sebagai seorang dokter, ia sudah terlatih untuk tetap bisa fokus pada apa yang sedang dikerjakan, tak peduli apapun itu rintangannya.
Pintu pagar rumah itu terbuka. Genggaman tangannya di kemudi semakin mengerat. Ia takut seseorang yang akan keluar dari sana adalah orang yang selama ini begitu dihindarinya.
Jangan. Jangan. Jangan.
Napas lega terembus saat ia mendapati yang keluar justru sosok yang lain. Bhumi kenal sosok itu. Asisten rumah tangga yang sudah begitu lama bekerja di rumah itu, Bulik Yem. Ia gegas menunduk menyembunyikan wajahnya saat dirasa sang ART menoleh ke arah mobil. Tak sampai semenit, Bulik Yem kembali masuk ke rumah.
"Lo tuh sebenarnya kenapa, sih?" tanya Alfian. "Kalau mau masuk, ayo gue temani. Sudah terlalu lama juga, Bhum. Kalian masih suami istri!"
Kota Malang yang baru saja diguyur hujan deras membuat malam hari ini terasa sangat dingin. Sebuah mobil penjaja bakpao melintas. Pengeras suara memutarkan rekaman si penjual yang Bhumi yakin adalah rekaman terbaik setelah beberapa kali percobaan secara berulang-ulang. Ia pun sampai hafal setiap kata-katanya.
"Mau ke mana?" tanyanya pada Alfian. Temannya tak menjawab dan langsung keluar saja dari mobil. Dari spion depan, Bhumi bisa melihat temannya itu sedang bertransaksi dengan si penjual bakpao. "Beli bakpau ternyata."
Alfian kembali. Sekantong bakpao yang masih mengepulkan asap terlihat begitu menggoda. Bhumi mengambil satu—yang bagian atasnya terdapat bintik hijauh sebagai penanda. Isi kacang hijau.
"Gue lapar. Kayaknya gue bisa bayangin gimana kerjaannya orang-orang yang lagi mengintai. Mereka pasti kelaparan banget, ya." Alfian menyobek bakpao dan menampilkan isian irisan daging ayam yang menguarkan aroma lezat.
Mobil bakpao berhenti di depan rumah Naina. Sepertinya seseorang di rumah itu yang menghentikan. Bhumi menghentikan kunyahannya. Jantungnya berdegup begitu kencang. Ia tak siap kalau harus mati saat ini juga.
"Sebentar, Pak." Suara itu. Bhumi kenal suara siapa. "Mau yang isi ayam aja, Sayang?"
Sayang? Orang itu sudah menikah lagi? Tapi, status mereka masih....
Pintu pagar itu kembali dibuka. Kedua matanya kembali menangkap sosok itu. Bertahun-tahun berlalu, tapi orang itu tetap sama. Selalu canti dengan penampilannya yang sederhana. Meskipun sulit, tapi Bhumi harus akui itu. Naina cantik. Sangat cantik.
"Sayang, mau rasa lainnya nggak?"
Sayang? Siapa yang dipanggilnya Sayang?
"Bunda, mau yang cokelat juga. Dua, ya!"
Bunda? Jadi ....
"Banyak banget. Kapan mau dimakannya?"
Bhumi kembali terdiam. Bakpao di tangannya sudah dingin. Tenggorokannya terasa begitu kering. Tangannya berusaha untuk meraih botol minum di jok belakang.
Selesai membasahi tenggorokan, kakinya sudah siap menginjak pedal gas. Mobil itu berlalu melewati rumah Naina. Bunyi pengeras suara mobil bakpao masih terdengar. Sampai akhirnya lenyap begitu saja saat mobil menjauh dan semakin menjauh. Mereka—Bhumi dan Alfian meninggalkan kompleks perumahan.
"Sampai detik ini, kita sama sekali nggak tau mana yang benar. Lo nggak penasaran apa, sih? Gue aja penasaran banget sampai kebawa ke mimpi."
Hujan kembali mengguyur. Wiper diaktifkan untuk mengamankan penglihatan. Bhumi penasaran dengan rupa anak itu. Ia tak pernah sempat melihat foto yang Naina kirim. Email masuk itu langsung dihapus tanpa dibaca.
-to be continued-
1486
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top