MKSUK 19

HAPPY READING! RAMAIKAN!!!!!

"Lho, Mbak Nai bukan, sih?"

Teguran seseorang membuat Naina yang sedang menyapu teras mendongak. Naina mencoba mengingat rupa seorang wanita paruh baya yang baru saja menyapa. Ingatannya tak begitu buruk.

"Nggih, Bu," jawab Naina sopan. Gegas ia menyandarkan sapu dan berjalan menuju gerbang. Ia tersenyum dan menjulurkan tangan "Bu Zulfikar, ya?"

"Tak sawang kok kayak Mbak Nai. Mau nyapa, tapi takut salah orang." Bu Zulfikar terkekeh renyah. Wanita itu memang dikenal ramah pada siapapun. "Aku sampai mbalik buat memastikan, lho."

"Iya, Bu," sahut Naina lembut. "Ini saya. Ibu pripun kabare?"

"Baik, Mbak Nai," jawab Bu Zulfikar. "Sudah lama nggak lihat Mbak Nai. Pangling tenan. Tambah ayu."

Pujian Bu Zulfikar direspons Naina dengan senyuman.

"Anaknya ikut dibawa ke sini, Mbak?" tanya Bu Zulfikar. Naina mengangguk. "Pasti sudah besar, ya. Dulu waktu pergi Mbak Nai lagi hamil besar. Kelas berapa sekolahnya?"

"Kelas tiga, Bu. Kebetulan pindah sekolah ke sini juga. Mama sedang masa pemulihan," ucap Naina.

"Lho?" Bu Zulfikar terkejut. "Mamanya Mas Bhumi ada di sini juga, Mbak?"

"Iya, Bu. Sebelumnya Mama dirawat di Malang, tapi Mas Bhumi bilang kalau Mama akan mendapat perawatan yang lebih baik di Jakarta," jelas Naina.

"Jadi, selama ini Mbak Naina di Malang?" tanya Bu Zulfikar. Naina mengangguk. "Ya Allah, Mbak. Saya ingat hari itu Mbak Naina keluar dari rumah ini bawa koper besar. Saya bingung ada apa. Mas Bhumi sempat jarang pulang ke sini, kayaknya. Soalnya rumah selalu gelap gulita. Kayak nggak ada yang nempatin. Nggak lama, ada gosip kalau Mbak Nai dan Mas Bhumi sudah pisahan." Bu Zulfikar menyelipkan sebuah dompet di ketiaknya. "Benar begitu, Mbak? Mas Bhumi juga pernah bilang kalau dia itu single. Mbak Nai jangan salah paham dulu. Maksud pertanyaan saya, kalau memang benar, ada baiknya Mbak Nai laporan dulu ke Pak RT. Nggak baik tinggal satu atap kalau sudah tidak dalam ikatan pernikahan. Ini semua juga demi kebaikan Mbak Nai dan Mas Bhumi."

"Kami sedang dalam proses," ujar Naina.

"Proses?" tanya Bu Zulfikar spontan. "Rujuk?"

Naina segera menggeleng. "Pisah. Tinggal tunggu surat panggilan sidang."

"Saya ndak bisa bilang apa-apa. Semoga semuanya berjalan lancar."

"Bunda!" Aluna memanggil dari ambang pintu.

"Ya, Nak," sahut Naina. Aluna segera menghampiri sang bunda. "Ada apa? Luna butuh sesuatu?"

"Bunda dipanggil Uti," jawab Aluna. Tanpa diperintah, bocah itu mencium tangan Bu Zulfikar dengan sopan.

"Ealah, bocah ko yo pinter banget. Namanya siapa, Nduk?" tanya Bu Zulfikar pada Aluna. Ia membelai rambut Aluna yang digerai.

"Luna, Bu," jawab Aluna.

"Panggil Eyang aja, ya," balas Bu Zulfikar. Sadar ia sudah terlalu lama menghabiskan waktu, ia pun segera berpamitan. "Mbak, aku tak belanja sek. Takut kehabisan. Main-main ke rumah, ya. Monggo."

Naina menggandeng Aluna masuk. Di ruang tamu, keduanya berpapasan dengan Bhumi yang menenteng laptop di tangan kanan dan secangkir kopi di tangan kirinya. Sejak kejadian hari itu, Naina memilih untuk diam dan hanya akan bicara saat diminta.

Naina masuk ke kamar Amalia. Wanita itu sedag bersandar di ranjang dan membaca buku.

"Ada apa, Ma?" tanya Naina pada Amalia. "Luna bilang kalau Mama panggil aku. Mama butuh apa?"

"Dari semalam Mama kok ngebayangin kayaknya enak makan pakai capcay Jawa sama telur sambal balado," jawab Amalia terkekeh.

Naina ikut terkekeh. "Bulik Yem sudah masak sayur lodeh, lho. Mama nggak mau makan pakai itu dulu?"

"Kamu aja," sahut Amalia. "Mama lagi pengin makan pakai capcay. Telur dadar tepungnya diiris panjang-panjang aja. Tolong buatkan, ya. Nggak usah banyak-banyak. Cukup untuk Mama aja."

"Iya, Mama. Aku buatin apapun yang Mama mau, asal Mama makannya banyak, ya."

***

"Bu, semuanya sudah selesai," lapor Bu Kokom—orang yang selama ini dipekerjakan Bhumi untuk membersihkan seluruh bagian rumah. "Masih ada yang harus saya kerjakan? Kalau tidak ada, saya mau sekalian pamit. Mungkin minggu depan saya baru masuk kerja lagi."

Naina sedang menyiapkan makan siang untuk Amalia. Segelas jus melon pesanan ibu mertuanya pun sudah siap.

"Sini dulu, Bu," pinta Naina. Ia meminta Bu Kokom duduk di sebelahnya. "Terima kasih untuk hari ini. Saya ada sedikit untuk tambahan ongkos Bu Kokom ke Indramayu. Yang satunya untuk pengantin."

"Jangan, Bu," tolak Bu Kokom. Ia menjauhkan dua amplop putih yang Naina sodorkan ke hadapannya. "Jangan repot-repot."

"Sama sekali nggak, Bu," balas Naina. Kalau tadi menyodorkan, maka kali ini ia langsung menyelipkan amplop itu ke tangan Bu Kokom. "Saya titip salam untuk keluarga dan pengantin. Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawaddah dan warrahmah."

"Amin. Bu, terima kasih banyak," ucap Bu Kokom dengan kedua tangan yang tertangkup di dada. "Saya izin cuti. Tolong sampaikan ke Bapak ya, Bu."

"Nanti saya sampaikan. Bu Kokom hati-hati di jalan, ya."

Sebenarnya Naina dibantu Bulik Yem bisa mengerjakan semua pekerjaan Bu Kokom. Namun, Naina sama sekali tak punya hak untuk memberhentikan Bu Kokom. Itu di luar kuasanya. Bhumi yang memperkerjakan dan juga menggaji Bu Kokom.

"Waktunya makan," ucap Naina setelah pintu kamar Amalia terbuka. "Mama pasti suka menu hari ini. Ini semua makanan kesukaan Mama. Mau makan sendiri atau aku suapi?"

"Mama makan sendiri aja, Nai. Lama-lama Mama bisa manja kalau semua dibantu kamu," sahut Amalia. Ia terlihat senang dengan isi piringnya. "Luna sudah pulang?"

"Belum," jawab Naina. Ia melirik jam dinding. "Tadi aku baca di group wali murid. Katanya anak-anak pulang agak telat hari ini. Wali kelasnya ulang tahun, jadi mereka mau merayakan dulu sebelum pulang."

"Luna bisa beradaptasi dengan lingkungan barunya, kan?" tanya Amalia. Naina mengangguk. "Maaf, tapi Luna benar-benar kayak Bhumi. Dulu, sebelum papanya pegang rumah sakit, kami sempat dua kali pindah rumah. Mas Panji ditugaskan di rumah sakit yang berbeda. Bhumi juga pintar beradaptasi dan cepat membaur dengan teman-temannya."

"Aku juga sering merasakan hal sama. Ada beberapa hal di diri Luna yang menurut aku sama banget kayak Mas Bhumi," imbuh Naina. "Tapi, ya sudah lah, Ma. Percuma semua penilaian kita. Mas Bhumi terlalu sulit untuk bisa terima Luna sebagai darah dagingnya. Tapi, satu hal yang selalu berhasil membuat aku salut sama Luna. Dia nggak pernah benci Mas Bhumi. Luna nggak pernah mempermasalahkan Mas Bhumi yang nggak permah ajak dia ngomong. Dia pikir Mas Bhumi masih butuh waktu untuk itu semua."

"Mama harap saat waktu itu tiba, semuanya belum terlambat," ucap Amalia. "Nanti, setelah Mama sehat sepenuhnya dan proses perceraian kamu dengan Bhumi selesai, kita nggak bisa terus-terusan tinggal di sini."

"Mama mau kita pulang ke Malang?" sahut Naina. "Tapi, Luna baru aja mulai sekolah di sekolah barunya."

"Kalau kita ke rumah Bogor pun kasihan Luna. Bagaimana kalau kamu mulai cari rumah di sekitar sini? Nggak perlu besar, yang penting cukup untuk kita sama Bulik Yem. Kita bisa pakai uang tabungan Mama untuk beli rumah itu. Kita bisa kembali ke Malang setelah Luna lulus SD."

***

Selama Bu Kokom absen kerja, Naina dan Buik Yem sepakat untuk membagi tugas. Pagi ini, setelah menata meja makan, ia lanjut menyapu seluruh ruangan di lantai satu. Selesai menyapu, maka tugas selanjutnya adalah mengepel.

"Luna hati-hati, ya. Lantainya masih basah." Naina memperingatkan Aluna. Ia mulai mengisi piring sang anak. "Makan yang pintar, ya. Bunda mau lanjut ngepel teras dulu. Kalau makannya sudah selesai, nanti Bunda pesankan ojek online."

Saat berjalan menenteng ember dan gagang pel, Naina berpapasan dengan Bhumi yang baru saja menuruni anak tangga. Ini hari libur Bhumi. Tak menggubris, wanita itu segera menuju ke teras. Tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan seluruh lantai teras. Naina mendadak kesal karena terlihat mendung dan tetes demi tetes air turun.

"Kenapa pagi-pagi harus hujan, sih?"

Seperti yang sudah-sudah, suasana di ruang makan begitu kaku. Aluna menikmati makanannya sambil membaca buku pelajaran. Bhumi pun sama. Laki-laki itu sarapan sambil menggulirkan jari di layar ponsel.

"Makannya sudah selesai?" tanya Naina pada Aluna. Gadis kecil itu menggeleng. "Kalau Luna makan sambil baca buku, makannya nggak akan selesai. Ini sudah jam berapa? Nanti telmabat ke sekolahnya, lho."

Aluna menurut. Buku yag dibacanya segera dimasukkan ke tas. Bocah itu menyelesaikan sarapannya.

Melihat anaknya sudah siap, Naina pun mulai sibuk dengan ponselnya—memesan ojek lewat aplikasi. Namun, sepertinya cukup sulit. Beberapa kali pesanannya di-cancel.

"Duh," gumam Naina. "Kok di-cancel terus, ya?"

"Kenapa, Bunda?" tanya Aluna. "Cancel terus? Apa karena hujan ya, Bun?"

"Kayaknya iya, Sayang. Bunda coba pesan taksi online dulu."

Hal sama kembali terjadi. Tak ada satu pun taksi yang mau menerima pesanannya. Hujan semakin deras.

Naina bingung bukan main. Rasanya lucu kalau Aluna absen sekolah karena hujan. Naina melirik ke arah Bhumi yang masih sibuk dengan ponselnya. Maju mundur. Begitulah yang tengah dirasakannya saat ini.

"Ehm, Mas," ucap Naina pelan. Bhumi menengok. "Aku boleh minta tolong? Tapi, kalau kamu nggak bersedia nggak apa-apa. Jadi—"

"Biar aku yang antar."

Naina dia dengan mulut tertutup. Ia tak mengira kalau Bhumi mengiyakan, bahkan sebelum dirinya meminta.

"Te—terima kasih," sahut Naina. Ia berbisik pada sang putri. "Luna berangkat ke sekolahnya diantar Ayah, ya."

"Tapi, Bunda—"

Naina menunggu dengan was-was. Hujan masih turun dengan begitu derasnya. Hatinya mendadak lega ketika deru mesin Bhumi kembali terdengar saat memasuki garasi.

Naina menyambut kepulangan Bhumi. Kaos yang dikenakan laki-laki itu tampak sedikit basah.

"Maaf sudah merepotkan," ucap Naina. "Terima kasih banyak, Mas."

Merasa tak enak, Naina sengaja membuat secangkir kopi sebagai tanda terima kasihnya untuk Bhumi. Dengan ragu ia mengetuk pintu kamar Bhumi.

"Ada apa?" ucap Bhumi saat membuka pintu kamar.

"Aku sudah buatkan kopi. Tadi, aku lihat baju kamu basah." Naina menyerahkan kopi itu ke tangan Bhumi. Beruntung laki-laki itu menerimanya. Namun, ada satu hal lagi yang harus Naina sampaikan. "Aku sekalian mau kasih ini untuk kamu. Kemarin ada kurir yang datang."

"Apa ini?" tanya Bhumi saat sebuah amplop diberikan padanya.

"Dari pengadilan," jawab Naina. "Sidang pertamanya minggu depan."



Hai, semuanya.

Selamat menjalankan ibadah puasa, ya.

Gimana puasa pertamanya kemaren?

Lancar, kan?

Semoga selalu lancar sampai akhir, ya.

Yuk ramaikan!

LANJUT NGGAK, NIH???????????

You all guys amazed me. Seriously. Cepet banget bintangnya 200 ahahahah.

Yuk lah bintang yang banyak kalo mau chapter selanjutnya.

See you soon.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top