MKSUK 17

Naina menunjukkan kasih sayangnya terhadap Amalia. Sudah dua hari ini ia mengambil alih untuk menyeka tubuh wanita itu. Meski Bhumi juga ada di ruangan yang sama dengannya, tapi mereka tak bicara satu sama lain. Kekakuan kian terasa.

Keduanya kembali menjadi orang asing. Saat Naina duduk di sofa, maka Bhumi akan menemani Amalia. Begitu juga sebaliknya. Mereka seakan tak ingin saling terlibat. Setiap kali dokter visite, Bhumi yang lebih aktif bertanya, sementara dirinya lebih memilih untuk diam dan memperhatikan dengan cermat apa-apa saya yang dokter jelaskan. Selama dokter mengatakan Amalia dalam kondisi baik dan stabil, maka ia pun merasa tenang.

"Dok, saya berencana untuk memindahkan ibu saya ke rumah sakit kami di Jakarta," ucap Bhumi pada dokter yang menangani Amalia. "Apa itu memungkinkan, Dok? Di sana saya bisa lebih memantau kondisi beliau."

Naina yang mendengar tentu saja terkejut. Kalau benar Bhumi berniat untuk memindahkan Amalia ke Jakarta, kenapa tidak berdiskusi dulu dengannya? Ah, Naina lupa. Toh, Bhumi lebih berhak atas ibunya sendiri.

"Kita harus lihat kondisi pasien dulu, Pak. Pasien juga sempat terkena serangan jantung sesampainya di sini. Untuk bisa dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta, pasien harus dalam keadaan stabil. Perjalanan menuju ke sana juga akan memakan waktu."

"Saya akan mempersiapkan pesawat khusus, Dok," sahut Bhumi. "Saya sudah memperhitungkan soal itu. Yang terpenting, Ibu saya bisa sembuh."

Naina memberanikan diri mendekat ke arah Bhumi tak lama setelah dokter meninggalkan ruangan. Bhumi yang tengah menggenggam tangan Amalia pun sadar kalau wanita itu sudah berada di dekatnya.

"Ka—kamu mau bawa Mama ke Jakarta?" ucap Naina. Yang ditanya hanya mengangguk sebagai jawaban. "Kenapa? Mama bisa dirawat di sini. Di sini ada banyak dokter. Aku juga bisa jaga Mama."

"Itu sudah jadi keputusanku. Sebagai anak Mama, aku punya hak untuk bawa Mama pulang ke Jakarta."

"Aku tau aku memang nggak punya hak, tapi biarkan Mama di sini. Kita bisa bawa Mama ke Jakarta kalau kondisi Mama sudah sepenuhnya membaik," sahut Naina. Ia sadar kalau seketika Bhumi segera mengernyitkan kening seraya menatapnya. "Maksud aku ... kamu bisa bawa Mama pulang ke Jakarta. Bukan kita."

"Keputusanku sudah bulat. Aku juga sudah diskusi dengan Papa. Pesawat sudah disiapkan dan bisa digunakan kapanpun."

"Mas ... tolong pikir-pikir lagi." Naina memohon. Namun, sepertinya percuma. Bhumi tak menggubris. "Baik, kalau memang itu sudah jadi keinginan kamu. Aku nggak bisa apa-apa."

"Itu—" Bhumi tak melanjutkan ucapannya. Ia dapat merasakan tangan Amalia bergerak di dalam genggamannya. Laki-laki itu pun segera memeriksa keadaan sang mama. Perlahan, kedua mata Amalia terbuka. "Mama. Mama sudah bangun?"

Amalia tak bersuara. Ia hanya merespons dengan anggukan kecil yang disertai kedipan. Sorot matanya beralih menatap Naina. Seakan menginginkan Naina untuk mendekat, ia berusaha untuk bisa mengangkat tangannya.

"Aku di sini, Mama." Naina mendekat dan meminta Bhumi untuk sedikit bergeser. "Aku senang Mama sudah sadar. Yang mana yang sakit, Ma? Mau dipanggilkan dokter?"

Namun, Amalia menggeleng. Wanita itu menepuk-nepuk lembut punggung tangan Naina. Beberapa hari tak sadarkan diri sepertinya membuat Amalia rindu akan keberadaan Naina. Hal yang membuatnya bahagia setelah kembali membuka mata adalah melihat kehadiran sang putra dan menantu.

"Luna," ucap Amalia pelan. "Luna ada di mana?"

"Luna sekolah, Ma," jawab Naina. "Kemarin dia ikut nginap di sini waktu Mama masih belum sadar. Mama kangen Luna?"

Amalia mengangguk.

"Nanti aku minta Mbak Dita antar Luna ke sini. Mama mau dipijit?" Naina tersenyum lembut saat melihat Amalia mengangguk. Ia pun mulai memijit kaki Amalia. "Mama pasti capek banget karena kebanyakan tidur, ya."

Bhumi menyaksikan kedekatan Naina dengan sang Mama. Laki-laki itu memilih untuk sedikit menjauh dan memberikan ruang untuk keduanya. Ia duduk di sofa sambil memeriksa ponselnya.

Pintu ruangan diketuk. Rasanya masih terlalu pagi untuk menerima tamu. Bhumi segera bangkit untuk membukakan pintu.

"Maaf, cari siapa, ya?" tanya Bhumi.

"Saya Rico," jawab Rico sopan. "Saya ke sini untuk bertemu dengan Mbak Naina. Saya pengacaranya. Mbak Naina minta saya untuk datang ke sini."

"Si—silakan masuk."

***

"Sebentar ya, Ma."

Naina meminta izin pada Amalia untuk berbicara dengan Bhumi dan pengacaranya di luar. Ia tak ingin pembicaraan mereka nanti mengganggu pikiran Amalia. Sebelumnya, ia meminta seorang suster untuk menjaga Amalia sementara ia pergi. Naina memang meminta Rico untuk datang ke rumah sakit menemuinya. Rico bilang ia sudah mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan dan sudah membuat surat gugatan atas nama Naina.

"Senang bisa bertemu dengan Mas Bhumi," ucap Rico membuka obrolan. "Jadi, maksud kedatangan saya ke sini adalah untuk menyampaikan ini."

Rico menyodorkan sebuah map ke arah Bhumi.

"Ini apa?" tanya Bhumi pada Rico.

"Di dalam map itu ada surat gugatan cerai Mbak Naina untuk Mas Bhumi. Silakan dibaca, kemudian ditandatangani agar bisa langsung kami proses ke tahapan selanjutnya."

Bhumi membuka map itu dan membaca lembaran di dalamnya. Surat gugatan cerai untuknya. Selama bertahun-tahun ia tak pernah mengurus perceraian, tapi saat ini justru dirinya lah yang dituntut cerai.

"Beberapa hari yang lalu Mbak Naina ke kantor saya. Mbak Naina sudah menyampaikan keinginannya," ucap Rico. "Mbak Naina nggak akan meminta harta gono-gini. Hak asuh anak sepenuhnya akan diambil alih oleh Mbak Naina."

"Kamu boleh baca dan pelajari dulu, Mas," ucap Naina yang akhirnya membuka suara. "Kalau sudah ditandatangani, itu artinya kamu sepakat untuk bercerai. Mas Rico bilang surat dari pengadilan nanti akan dikirim ke rumah. Aku akan pakai perbedaan prinsip dalam pernikahan sebagai alasan gugatan cerai."

Bhumi menandatangani surat dengan pulpen yang disediakan. Tanpa keraguan sedikit pun. Setelahnya, ia menutup kembali map itu.

"Sekarang giliran Mbak Naina yang tandatangan," ucap Rico pada Naina. Setelah Naina selesai, Rico kembali memeriksa surat. "Semuanya lengkap."

"Sudah tidak ada yang harus saya tandatangani lagi, kan?" ucap Bhumi pada Rico.

"Sudah, Mas. Semua dokumen sudah lengkap. Mas Bhumi tinggal menunggu surat panggilan sidang dari pengadilan. Saya harap kerjasama baiknya," balas Rico.

"Baik." Bhumi menyodorkan tangannya pada Rico. Keduanya saling menjabat. "Saya pamit kembali ke atas. Terima kasih."

Bhumi meninggalkan keduanya. Namun, belum lima langkah ia kembali.

"Apa yang harus saya lakukan supaya prosesnya selesai dengan cepat?" tanya Bhumi pada Rico.

"Ikuti seluruh prosesnya dengan baik, Mas. Mas Bhumi juga bisa menunjuk kuasa hukum. Nanti, pihak pengadilan akan menawarkan proses mediasi untuk kedua belah pihak," jawab Rico menjelaskan. "Proses mediasi diharapkan bisa menjadi jalan apabila pihak penggugat dan tergugat berubah pikiran."

"Saya pernah dengar kalau pihak tergugat nggak harus hadir di persidangan dan itu bisa menjadi pertimbangan kalau sidang akan berakhir dengan baik. Bisa begitu?"

Rico mengangguk.

"Baik. Terima kasih. Saya akan ambil opsi itu. Saya akan serahkan semuanya ke kuasa hukum saya."

Naina terdiam. Ternyata semudah ini untuk Bhumi menandatangani surat perceraian mereka. Mungkin memang ini jalan terbaik yang harus ditempuh.

"Saya sudah banyak pegang kasus perceraian. Semuanya beraneka ragam. Setiap pasangan punya alasan untuk bercerai," ujar Rico. "Prosesnya mungkin akan memakan waktu beberapa bulan ke depan. Semoga Mbak Naina selalu dalam keadaan sehat. Saya akan mengusahakan yang terbaik."

***

"Uti," pekik Aluna bahagia saat mengetahui Amalia yang sudah sadarkan diri. Ia baru bisa datang berkunjung keesokan harinya. Gadis kecil itu memeluk Amalia dengan sangat hati-hati. "Uti sudah sehat? Kepalanya sakit? Mau Luna panggilin dokternya?"

Aluna datang diantar tukang ojek yang sudah bertahun-tahun menjadi langganan Bulik Yem tiap kali harus belanja bahan-bahan masakan di pasar. Aluna bisa sampai ke ruang perawatan Amalia sendiri tanpa bantuan orang lain.

"Uti nggak apa-apa, Sayang." Amalia mengusap sayang rambut hitam legam Aluna. "Kamu nggak nakal kan selama Uti di rumah sakit?"

"Nggak dong, Uti. Selama Bunda di sini, aku di rumah sama Uti Yem," sahut Aluna riang. "Uti kapan boleh pulang ke rumah?"

Selama tinggal di rumah Naina, Bhumi memilih untuk menghindar dari Aluna. Ia baru keluar kamar setelah bocah itu berangkat sekolah. Ia juga akan kembali dari rumah sakit larut malam, setelah Aluna tertidur pulas.

"Belum tau, Nak." Bukan Amalia yang menjawab, tapi Naina mengambil alih. "Dokter masih harus memastikan luka bekas operasi Uti nggak ada infeksi. Keadaan Uti memang sudah jauh lebih membaik. Luna sudah nggak sabar Uti pulang ke rumah, ya?"

Gadis itu mengangguk. "Rumah sepi banget. Cuma ada aku sama Uti Yem. Aku nggak ada teman ngobrol. Uti Yem sibuk buat pesanan kue."

"Bunda lupa kalau pesanan kue masih penuh sampai minggu depan. Biar nanti Bunda tutup dulu pesanan untuk sementara waktu. Kita harus fokus untuk jagain Uti, ya."

Bhumi berdeham. Seketika ruangan menjadi hening. Ia pikir ini adalah saat yang tepat untuk mengatakan semuanya. Sebelumnya ia juga sudah kembali berdiskusi dengan dokter yang merawat Amalia. Kondisi bital Amalia dalam keadaan stabil. Rancana pemindahan ke Jakarta bisa direalisasikan.

"Ma, aku sudah siapkan semuanya," ucap Bhumi. "Mama akan mendapatkan perawatan terbaik di Jakarta. Aku sudah urus semua dokumen untuk memindahkan Mama ke rumah sakit kita di sana."

"Bhumi—"

"Ma, aku mau yang terbaik untuk Mama. Izinkan aku melakukan kewajibanku sebagai seorang anak. Aku mau merawat Mama dengan baik di sana. Mama mau ya pulang ke Jakarta?"

Amalia bergeming. Tatapannya mengarah ke langit-langit ruangan.

"Ma," panggil Bhumi lembut. "Mama mau, kan?"

Amalian hanya mengangguk. "Tapi, Nai dan Luna juga harus ikut ke Jakarta."

Note : sebelumnya aku mau minta maaf. Aku mau tanya sama pembaca ku yang mungkin pernah ada pengalaman (maaf) bercerai. Itu aku udah bener belum sih alurnya? Aku cari informasih sih dapetnya begitu. Konsul ke kuasa hukum, kumpulin dokumen, daftar ke pengadilan, bikin surat gugatan dan tinggal nunggu panggilan sidang. Udah bener belum? Kalo misalkan salah, aku minta maaf ya. Nanti akan aku perbaiki.

Idihhh .

Update lagi dongggg. 🤣🤣🤣

Duh, aku lagi semangat nulis nihhhh.

Ramaikan aja, deh!

Pengen tau seberapa antusias kalian.

Aku nunggu 5 chapter sebelumnya bintang 200 dulu deh ya.

Baru lanjut ke chapter selanjutnya.

Deal?

Jadi, kalo belom 200 ya jangan minta lanjut.

Bisa nggak nih? Kalo malam ini bisa 200 di 5 chapter itu, aku gasspoll. Chapter ini juga 200 yaaaaaa.

Hahahahah

Ayo donggg. Bantu share ke teman kalian. Suruh mereka baca juga.

Masak rela sih kebawangan sendirian. Ahahahah 

Aku juga mau sekalian share. Kemaren gabut banget eh coba bikin cover. Aku sebenernya ada beberapa cerita yg ngantre mau ditulis. Tapi, kudu nunggu selesai ini dulu. Ahahahah.

Judulnya masih belum fixed sih. Masih bisa berubah judul. Tapi seenggaknya aku kasih tau dulu ke kalian untuk project selanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top