MKSUK 16

Setelah bertahun-tahun lamanya, akhirnya Bhumi kembali menginjakkan kaki di rumah ini lagi. Rasa lelah perjalanan membuatnya tak menolak usulan Naina untuk tinggal di rumahnya selama berada di Malang. Rasanya memang tak sanggup kalau harus mencari hotel.

Bulik Yem menyambutnya di pintu masuk. Sepertinya Naina sudah mengabarkan kedatangannya ke rumah ini sebelumnya. Ia butuh istirahat.

"Mbak Nai telepon. Katanya Mas Bhumi mau nginap di sini," lapor Bulik Yem pada Bhumi. Wanita paruh baya itu melempar senyum seakan merasa lega karena bisa kembali melihat Bhumi di rumah ini setelah sekian lama. "Bulik tak nggembok pagar sek. Mas Bhumi masuk duluan ndak apa-apa."

Bhumi menurut. Meskipun waktu sudah berlalu, tetap tak ada yang berubah di rumah ini. Ruang tamu masih sama seperti dulu, bahkan peletakan sofanya. Masih sama sama persis.

Merasa sungkan, Bhumi lebih memilih duduk di ruang tamu. Ia hanyalah seorang tamu. Matanya menyisir ke seluruh bagian ruangan. Semua tertata dengan baik. Ruang tamu ini mendapatkan sentuhan tangan Naina. Tirai, sarung bantal sofa dan taplak mejanya ... jelas-jelas selera Naina. Ada sebuah bingkai foto besar tergantung di dinding. Foto tiga orang itu menarik perhatiannya. Ketiganya terlihat begitu bahagia.

"Bulik sudah siapkan kamar tamu. Mas Bhumi mau langsung istirahat?" tanya Bulik Yem yang segera membuyarkan pikiran Bhumi.

"Kalau boleh, aku mau tidur di kamar Mama," jawab Bhumi. "Boleh?"

Bulik Yem mengangguk seraya tersenyum. "Boleh. Bulik antar."

Bhumi merasa begitu tenang di kamar Amalia. Gegas ia menghampiri ranjang, seakan Amalia tengah berbaring di sana dan menyambut kedatangannya. Namun, ia segera tersadar. Hanya ada dirinya di kamar ini.

Ia terduduk di atas ranjang sembari memeluk bantal sang mama. Bau khas wanita yang melahirkannya tak pernah berubah. Bau minyak wangi yang sudah lama Amalia pakai.

"Mama," ucapnya lemah. Matanya terasa pedih. Bhumi menangis. "Aku kangen."

Kesedihan membuatnya tertidur. Bunyi kokok ayam membangunkannya. Kemarin jadwal prakteknya padat ditambah ia harus mendapatkan tiket penerbangan secepatnya dan perjalanan dari bandara ke rumah sakit yang lumayan terhambat karena macet.

Tangannya meraba nakas di samping ranjang. Matanya menyipit menatap layar ponsel yang menyala. Ada beberapa pesan masuk, dari dokter jaga yang meminta advice tindakan. Selesai membalas semua pesan, ia lantas beranjak ke kamar mandi. Ia butuh membersihkan diri sebelum kembali ke rumah sakit.

"Aku di Malang," ucap Bhumi dengan ponsel tertempel di telinga. Kedua tangannya sibuk mengancingkan kemeja. "Mama masuk rumah sakit. Jatuh di kamar mandi. Mau lihat kondisi Mama dulu. Kemungkinan aku bakal bawa Mama ke Jakarta untuk dirawat di sana. Sudah dulu, Pa. Aku harus pergi."

Sang Papa pasti sudah mendapatkan laporan cuti dadakannya dari pihak rumah sakit. Jelas ia akan mendapatkan banyak pertanyaan sepulangnya ke Jakarta. Biarlah itu menjadi urusan nanti.

Matanya tertuju pada sebuah mushaf di atas nakas. Di sebelahnya ada kotak kacamata baca milik Amalia. Perhalan, dibukanya mushaf itu. Sebuah penunjuk menjadi batas halaman terakhir yang Amalia baca. Bhumi tersenyum. Mamanya memang taat beribadah. Lembar demi lembar dibukanya. Sesuatu yang terselip di sana terjatuh. Selembar foto—dirinya dan Naina dengan perut yang besar. Tanpa pikir panjang, ia pun segera mengembalikan foto itu ke tempat semula.

"Mas, sarapannya sudah Bulik siapkan." Terdengar suara Bulik Yem dari balik pintu. "Mas Bhum sudah bangun?"

"Iya, Bulik. Sebentar lagi aku keluar," sahut Bhumi.

***

Semalam ia kehabisan tenaga dan tak sempat menyisiri seluruh bagian rumah. Langkahnya terhenti di ruang tengah. Di sinilah mereka—dirinya dan Naina berbincang untuk pertama kali setelah menikah. Dua orang asing yang disatukan dalam ikatan pernikahan yang tiba-tiba. Bhumi masih ingat betapa kakunya suasana saat itu.

Lagi-lagi ia melihat ada beberapa bingkai terpajang di dinding. Foto-foto saat Aluna masih kecil. Tak sadar, ia pun tersenyum.

"Mas Bhumi disuruh sarapan dulu sebelum ke rumah sakit," ucap Bulik Yem saat Bhumi sampai di ruang makan.

"Siapa yang nyuruh, Bulik?" tanya Bhumi.

"Mbak Nai," jawab Bulik Yem singkat. "Bulik sudah masak soto ayam untuk Mas Bhumi. Mbak Nai bilang Mas Bhumi suka sarapan yang berkuah dan segar. Silakan dimakan. Mas Bhumi ndak keberatan kan kalau Bulik nimbang-nimbang bahan kue di sini?"

"Oh, nggak apa-apa, Bulik," ucap Bhumi. "Memangnya mau buat kue untuk apa?"

"Ada pesanan. Biasanya Mbak Nai yang pegang." Bulik Yem mulai menimbang tepung terigu. "Mas Bhumi apa kabar? Sudah lama nggak pernah ke sini."

"Baik, Bulik. Maaf karena semalam terlalu capek, jadi nggak sempat ngobrol dulu sama Bulik," ucap Bhumi. Tangannya bergerak mengisi mangkoknya dengan kondimen soto ayam yang sudah disiapkan di meja. "Bulik sendiri apa kabar?"

"Alhamdulillah baik, Mas." Bulik Yem mulai menuang seluruh bahan-bahan kue ke dalam wadah. "Mas, tak sambi ngadon, ya. Orang yang pesan bilang kalau kuenya mau diambil sebelum zuhur."

Bhumi menikmati segarnya soto ayam buatan Bulik Yem. Perutnya terasa hangat. Rasanya sudah lama ia tak menikmati makanan rumah. Setelah Nai pergi, ia memilih untuk hidup sendirian. Ia membayar tenaga orang yang dimintanya khusus untuk membersihkan rumah setiap harinya, meskipun sesekali ia meminta orang itu memasak untuknya saat merasa bosan dengan makanan yang dibelinya dari luar.

"Segar makannya, Mas?" tanya Bulik Yem. Bhumi mengangguk sopan. "Mas Bhumi sama kayak Luna."

"Maksudnya?" tanya Bhumi bingung. "Sama apanya?"

"Luna yo seneng sarapan pakai kuah-kuah yang segar. Makanya Mbak Nai kalau pagi sering masak sup, sayur asam, asam-asam daging dan sayur lodeh untuk sarapan Si Gendhuk. Luna nurun ayah e."

Bhumi yang sedang mengunyah pun tersedak. Gegas ia meneguk segelas air yang sudah Bulik Yem siapkan. Apa-apaan Bulik Yem ini!

"Bulik, terima kasih makanannya. Aku ke rumah sakit dulu."

"Mas, tunggu sebentar," cegah Bulik Yem saat Bhumi bangkit dari duduknya. "Bulik sudah siapkan soto ayam untuk Mbak Nai dan Luna. Tolong Mas Bhumi bawa sekalian, ya. Tak ambil sek di dapur."

***

"Mama tidurnya nyenyak banget," ucap Naina. Amalia belum juga sadarkan diri. Dokter bilang, ini kondisi yang wajar terjadi pada pasien pembedahan otak. "Nai kangen Mama. Luna juga. Bangun, Ma."

Pintu ruangan terbuka. Bhumi masuk dengan tentengan di tangannya. Semua bawaannya diletakkan di meja dan segera menuju ke ranjang sang mama. Ia memeriksa laju infus dan urine bag yang digantung di samping ranjang.

"Dokternya sudah visite?" tanya Bhumi pada Naina. Naina menggeleng. "Ada titipan dari Bulik Yem."

Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka. Aluna yang baru saja selesai mandi dibuat terkejut karena mendapati keberadaan Bhumi di ruang rawat Amalia. Bocah itu segera menjemur handuk basahnya di balkon dan memilih duduk di sofa.

"Luna sudah lapar?" tanya Naina yang baru saja menyusulnya duduk di sofa. Wanita itu memeriksa titipan Bulik Yem untuknya. "Wah, Uti Yem masak soto ayam untuk kita. Masih hangat. Kita makan dulu, ya."

"Bunda, boleh nggak kalau makannya di luar aja?" tanya Luna pelan.

"Kenapa, Sayang? Makan di sini aja sekalian nungguin Uti," jawab Naina. Aluna menunjuk ke arah Bhumi dengan tatapannya. "Iya... iya. Kita makan di luar."

Ibu dan anak itu memilih untuk menikmati bekal dari Bulik Yem di kantin rumah sakit. Naina juga membeli beberapa potong tempe goreng tepung serta sebungkus kerupuk rambak untuk pelengkap makan.

"Wah, kayaknya segar banget ya sarapan soto," pekik Naina girang. "Kita makan dulu. Nanti setelah makan, kita balik ke kamar Uti."

Keduanya makan sambil bercengkrama. Naina tak boleh terus-menerus terlihat sedih di hadapan putrinya. Ia pun selalu merespons dengan tawa setiap Aluna membuat lelucon.

"Bunda, kemarin Dafa kasih Amel bunga, lho. Katanya Dafa suka sama Amel."

"Masih kecil belum boleh suka-sukaan, ya. Sekolah itu untuk belajar," ucap Naina.

"Berarti anak kecil belum boleh pacaran, Bunda?" tanya Aluna polos. Naina sontak menggeleng cepat. "Kenapa? Kok nggak boleh."

"Belum waktunya. Nanti, Luna juga akan merasakan fase itu. Tapi, bukan sekarang."

"Dulu Bunda sama Ayah juga pacaran?" tanya Aluna. Naina yang sedang menambahkan perasan air jeruk nipis ke soto ayamnya pun langsung terdiam. "Ayah bilang sayang juga ke Bunda waktu pacaran?"

"I—iya," sahut Naina bohong. Pacaran? Bahkan hari pernikahan keduanya adalah saat di mana mereka bertemu untuk pertama kalinya. "Kita sudah terlalu banyak ngobrol. Makanannya nanti dingin. Dimakan dulu, ya."

Naina mengamati putrinya yang sedang menikmati makanan. Aluna menyobek sepotong tempe goreng tepung dan merendamnya di kuah soto miliknya.

"Kenapa kita nggak makan di kamar Uti? Kenapa Luna ngajak Bunda makan di luar?" tanya Naina iseng.

"Tadi aku lihat Ayah. Kayaknya Ayah lagi mau berduaan sama Uti. Kayaknya Ayah kangen banget sama Uti," jawab Aluna.

Ponsel Naina berdering. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. Naina pun menjawab.

"Selamat pagi, Mbak Naina. Ini saya, Rico. Mbak, saya mau memastikan tentang pembicaraan kita yang kemarin. Apa Mbak Naina sudah memutuskan untuk melanjutkan gugatan? Kebetulan siang ini saya dan tim akan ke pengadilan agama untuk menangani kasus. Kalau Mbak Naina sudah mantap, saya akan daftarkan gugatan atas nama Mbak Naina."


Cuma mau bilang ramaikan! 🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top