MKSUK 15
HAPPY READING!!!
Naina menunggu dengan cemas di ruang tunggu operasi. Dokter memperkirakan operasi akan memakan waktu tiga sampai lima jam ke depan. Penyumbatan di otak Amalia kemungkinan besar akibat adanya benturan keras di kepala. Tengkoraknya pun sedikit retak.
"Nai, diminum dulu." Dhitta menyerahkan sebotol air minum ke tangan Naina. Ia baru saja kembali dari kantin rumah sakit. "Aku beli roti. Rotinya enak-enak. Kamu makan, ya."
Naina menggeleng. Tenggorokannya pun rasanya tak sanggup untuk sekadar menengguk air, apalagi roti. Ia tak akan merasa tenang sebelum operasi selesai.
"Mbak, kamu lebih baik pulang. Anak-anak lebih butuh kamu," ucap Naina pada Dhitta. Ia merasa tak enak hati karena Dhitta menemaninya seharian ini. "Kasihan mereka. Kangen sama mamanya"
"Kamu nggak usah mikirin anak-anak. Mereka sudah ada yang urus. Ada Ibu dan Lik Pur di rumah," balas Dhitta. "Aku temani kamu. Mas Katon juga paling sebentar lagi ke sini antar barang-barang kamu dan baju gantiku."
"Terima kasih banyak, Mbak. Aku nggak tau harus ngomong apa lagi," ucap Naina tertunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kalau Mama nggak ada, aku nggak punya siapa-siapa lagi."
Dhitta semakin merapatkan duduknya. Ia memeluk Naina. Wanita itu merasa iba mengingat kisah hidup Naina yang harus kehilangan seluruh anggota keluarganya secara bersamaan.
"Kamu punya Luna dan semua orang yang sayang sama kamu, termasuk aku. Kamu sudah aku anggap kayak adikku sendiri." Dhitta mengusap lelehan air mata di pipi Naina. Tangannya mengambil sebungkus roti yang sebelumnya dibeli. "Aku nggak mau tau, pokoknya sekarang kamu makan du—"
"Kenapa, Mbak?" tanya Naina bingung karena tiba-tiba Dhitta menghentikan ucapannya. Yang ditanya tak menjawab. Wanita itu mengarahkan dagunya ke balik punggung Naina. "Mbak kenapa?"
"Mas Bhumi," bisiknya.
Seketika Naina langsung membeku. Ia tak sanggup membalikkan badan dan menyambut kedatangan anak lelaki Amalia satu-satunya itu. Andai bisa memilih, ia akan pergi dari sini dan membiarkan Bhumi mengurus semuanya. Namun, itu tak mungkin. Naina tak bisa meninggalkan Amalia.
"Bagiamana kondisi Mama?" ucap Bhumi, tapi tak ada satu pun yang menjawab. Sebuah koper berukuran sedang berdiri di dekatnya. "Operasinya sudah daritadi?"
Masih tak ada yang menjawab. Bhumi mendadak kesal.
"Ada dua orang di sini dan nggak ada yang jawab pertanyaanku?" ucapnya lagi.
"Ada dua orang di sini dan kami nggak tau kamu lagi tanya ke siapa," balas Dhitta sini. "Kamu tanya ke aku atau ke Nai?"
"Siapapun yang bisa jawab," jawab Bhumi. "Katon belum balik?"
"Kalau kamu tanya kondisi mama kamu, tanya ke Nai. Mas Katon pulang sebentar tengok anak-anak di rumah sekalian ambil barangku dan barangnya Nai. Sebentar lagi balik."
"Mama kenapa?" tanya Bhumi. Saat ini, bukan Dhitta yang ia tatapm melainkan Naina. "Apa yang terjadi sama Mama? Kenapa Mama bisa sampai begini? Kamu ke mana?"
"Mas Bhumi!" bentak Dhitta tegas. Ia sontak berdiri dan mengacungkan telunjuknya ke arah Bhumi. "Kebangetan! Kamu tuh, ya, datang-datang langsung ngoceh kayak begini."
"Mbak, sudah." Naina menenangkan Dhitta. "Biar aku yang bicara."
Naina mengajak Dhitta untuk kembali duduk.
"Mama jatuh di kamar mandi. Kepala Mama terbentur," jelas Naina. "Aku—"
"Kamu ke mana? Kenapa Mama bisa jatuh di kamar mandi? Kenapa kamu nggak menjaga Mama dengan baik?"
"Aku—"
"Kenapa? Kamu sibuk dengan laki-laki lain?" tuding Bhumi. "Kamu sibuk senang-senang? Ini semua gara-gara kamu. Mama jadi begini karena kamu!"
Rasa lelah seharian ini membuat Naina kehabisan energi. Namun, tiba-tiba ia merasa aliran darahnya mulai memanas.
"Selama ini, aku nggak pernah menyalahkan kalian semua setelah keluargaku meninggal." Naina perlahan berdiri. Suaranya perlahan ikut naik. Dadanya bergemuruh. "Aku nggak pernah menyalahkan kecelakaan hari itu. Aku nggak pernah menuntut apapun dan menerima bahwa semua yang terjadi adalah takdir. Aku nggak pernah menyalahkan kalian dan justru menerima untuk menikah sama kamu alih-alih sebagai bentuk tanggung jawab. Aku terima semuanya! Selama ini aku diam dan selalu berharap semuanya bisa kembali baik. Aku nggak masalah kamu menyakiti perasaanku, tapi yang jadi masalah adalah kamu juga menyakiti perasaan anakku! Aluna segalanya buat aku. Dan sekarang kamu tanya aku ke mana sampai nggak tau kondisi Mama? Pergi sama laki-laki lain?" Naina seketika terkekeh kecil. "Aku pergi ke kantor pengacara! Aku mau mendaftarkan perceraian kita. Itu kan yang kamu mau?"
Dhitta menyadari kedatangan suaminya. Katon tak seorang diri. Aluna ada di sebelahnya. Gadis kecil itu menatap ke arah di mana kedua orangtuanya terlibat percekcokkan.
"Bunda." Panggilan Aluna seketika membuat emosi Naina mereda. Bocah itu mendekati sang bunda. "Bunda kenapa nangis?"
"Bunda nggak apa-apa, Sayang. Luna kok ikut ke sini?" tanya Naina mengalihkan. Ia menatap ke arah Katon yang menenteng tas di tangan kanannya. "Maaf ngerepotin, Mas."
"Nggak apa-apa, Nai." Katon meletakan tas Naina di kursi kosong. "Luna minta ikut karena katanya besok libur sekolah. Aku sudah minta tolong Bulik Yem untuk siapin keperluannya juga. Dia nggak mau pulang bareng aku. Mau di sini temani Bunda, katanya. Iya kan, Luna?"
Aluna mengangguk.
"Kapan sampai?" tanya Katon pada Bhumi.
"Belum lama," jawab Bhumi singkat. "Tolong bantu cari hotel untuk stay selama di sini."
"Mas Katon, tolong antar Mas Bhumi ke rumahku," ucap Naina. "Kamu nggak perlu tinggal di hotel. Biar bagaimanapun, kamu anak kandung Mama. Rumahku, rumah Mama juga."
***
Kondisi Amalia sudah stabil, tapi belum juga sadarkan diri setelah operasi. Naina dengan setia duduk di dekatnya dan menggenggam erat tangan wanita itu. Air matanya tak bisa berhenti mengalir, meski dokter mengatakan operasi berjalan dengan sangaat lancar.
"Mama, Nai minta maaf," ucapnya diiringi isakkan. "Nai di sini, Ma. Nai nggak akan pergi ninggalin Mama lagi. Mama cepat bangun, ya. Di sini ada Luna dan ..." ucapnya terjeda. "Mas Bhumi. Mas Bhumi datang untuk Mama."
Ruang perawatan Amalia yang luas terasa begitu tenang. Jam sudah mulai menujuk waktu tengah malam
"Nai, aku minta maaf karena malam ini nggak jadi nginap di sini," ucap Dhitta menyesal. Mendadak asisten rumah tangganya menelepon dan mengabarkan kalau si bungsu terbangun dan menangis karena sakit gigit. "Besok aku ke sini sekalian bawa bocil ke dokter gigi. Aku bakal bawain kamu makanan. Kamu ditemani Luna, ya."
"Iya. Nggak apa-apa, Mbak."
"Kami pamit dulu, Nai," ucap Katon berpamitan. Pria itu melirik ke arah Bhumi yang berdiri memandangi Amalia. "Kita sekalian antar lo ke rumah Nai. Ayo!"
Keduanya—Naina dan Aluna saling berpelukan di sofa. Mereka memandangi Amalia yang belum sadarkan diri. Namun, Naina tiba-tiba terkejut saat Aluna melepas pelukan.
"Kenapa, Nak?" tanya Naina lembut. Ia membelai rambut sang putri yang dikepang. "Luna kenapa?"
"Tadi aku lihat Bunda marah sama Ayah," jawab Aluna polos. "Bunda sama Ayah berantem, ya?"
"Nggak, kok. Bunda sama Ayah nggak berantem, tapi memang ada beberapa hal yang harus kami bahas sebagai orang dewasa. Kamu jangan khawatir."
"Bunda," panggil Aluna pelan.
"Ya?"
"Aku senang Ayah ada di sini. Aku senang bisa lihat Ayah lagi, tapi—"
"Tapi kenapa?" sela Naina segera.
"Apa nanti aku masih bisa lihat Ayah kalau Bunda sudah pisah sama Ayah?"
Naina terdiam. Ingin rasanya ia mengatakan pada Aluna untuk tak kembali berharap. Namun, ia tak sampai hati.
"Luna berdoa sama Tuhan. Minta yang terbaik untuk Ayah dan Bunda, ya."
Eh apaan, nih?
Double update?
Iyaaa!
Double update!
Kalo nggak ilang rasa semangatku, lanjutannya bisa cepet.
Yuk ramaikan! :)
Jalan cerita dari awal sampe akhir udah ada di draftku. Aku udah tau menentukan mau kayak gimana akhirnya, tapi boleh nggak sih aku kepo pendapat kalian. Kalian tuh mau akhir yang kayak gimana, sih? Ahahahahha
Kalo yang sudah kenal aku dari lama, pasti udah kenal juga gaya menulisku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top