MKSUK 14

Bau tanah basah mulai menghilang. Dinginnya udara kota Malang semakin menjadi usai hujan deras yang baru saja selesai mengguyur. Naina tak bisa memejamkan matanya. Ada pikiran yang berkecamuk di kepala. Ditatapnya wajah penuh kedamaian sang putri yang tengah nyenyak tertidur dalam balutan selimut tebal.

Semakin memperhatikan Aluna, Naina semakin merasa sesak. Mungkin memang sudah saatnya ia menyelesaikan masalah. Membuat semuanya jelas, bagi Bhumi, dirinya dan Aluna.

Selama ini, Bhumi tak pernah melayangkan gugatan cerai atasnya. Ia pun sama. Naina tak pernah berinisiatif pergi ke pengadilan agama untuk mendaftarkan perceraian. Wanita itu berharap kelak semuanya akan kembali seperti sedia kala.

"Bunda minta maaf, Nak," ucapnya lirih disertai isakan kecil. Kedua matanya mulai terasa pedih. Di sepanjang hidupnya, Naina selalu mengusahakan kebahagiaan untuk putrinya. Namun, sepertinya ia harus menyerah untuk satu hal, Aluna tak akan bisa mendapat balasan cinta dari ayahnya—Bhumi. "Bunda harap Luna nggak akan pernah marah sama Bunda."

Dikecupnya satu per satu kelopak mata Aluna yang terpejam. Naina berbaring dan memeluk tubuh sang putri. Aluna mulai menggeliat lemah di dalam pelukannya.

"Bunda, haus," ucap Aluna dalam tidurnya.

Naina gegas mengambil botol air minum dari atas nakas.

"Minumnya pelan-pelan," katanya saat mengangsurkan botol itu pada Aluna. Naina memperhatikan gadis kecilnya yang sedang menenggak air. "Haus banget?"

Aluna mengangguk seraya tersenyum. "Aku mimpi lari-larian sama ...."

"Sama siapa?" potong Naina penasaran. "Luna mimpi dikejar siapa?"

Bukannya menjawab, gadis itu malah menggeleng. Aluna bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Gadis kecil itu memang sudah terbiasa terbangun hanya untuk sekedar minum dan buang air kecil.

"Pertanyaan Bunda belum dijawab, lho. Luna mimpi lari-larian dikejar siapa, sih?" tanya Naina untuk kali kedua. "Kok bisa haus banget."

Aluna kembali membenamkan tubuhnya di balik selimut. Gadis itu sadar kalau sang ibu masih menatap ke arahnya.

"Luna," panggil Naina lembut. "Tidurnya dilanjut, supaya besok nggak kesiangan."

"Aku mimpi lari-larian sama Ayah," cicit Aluna.

Naina terdiam seketika.

"Bunda belum tidur?" tanya Aluna. Naina tersenyum lembut ke arahnya. "Kenapa?"

"Nggak apa-apa," sahut Naina. Sedikit berbohong sepertinya tak masalah. "Tadi beres-beres lemari dulu."

Keduanya berbaring dengan satu tangan yang saing bertautan. Sedikit obrolan kecil pun tercipta. Kekehan kecil menyusul saat keduanya bercanda.

"Bunda." Panggilan Aluna sontak membuat tawa Naina terhenti.

"Kenapa, Sayang?" tanya Naina. "Luna kenapa?"

"Aku senang di rumah Uti yang di Bogor. Apa kita bisa pindah dan tinggal di sana?"

"Kita sudah di sini. Di rumah. Di tempat di mana seharusnya kita berada."

***

"Semua pasti baik-baik aja, Nai." Dhitta menenangkan Naina yang sejak tadi terlihat sedikit gugup. Keduanya berada di sebuah kantor firma hukum yang cukup terkenal di kota Malang. "Kamu nggak apa-apa kan, Nai?"

"Iya, Mbak. Aku okay."

Suara kenop pintu yang diputar terdengar. Seseorang dengan setelan jas hitam licin memasuki ruang di mana Naina dan Dhitta saat ini berada. Wajah itu tampak familiar.

"Maaf sudah menunggu lama. Lho?" seru laki-laki itu sedikit kaget. "Masih ingat saya?"

Dhitta dan Naina saling menatap. Laki-laki yang kini duduk di depan keduanya adalah ayah dari gadis kecil di taman bermain saat di Jakarta.

"Mas—" Naina berusaha untuk mengingat nama itu.

"Rico. Enrico Wijaya," serobot Rico segera. "Saya nggak nyangka kalau kita bisa ketemu lagi."

"Dan saya juga nggak nyangka kalau ternyata Mas Rico tinggal di Malang," timpal Naina ramah.

"Masih sering bolak-balik Jakarta-Malang. Kebetulan sekarang lagi di Malang karena ada klien di sini." Rico menatap Dhitta dan Naina bergantian. "Jadi, apa yang bisa saya bantu?"

"Saya Dhitta dan ini Naina. Kami ke sini atas rekomendasi dari salah satu teman. Mas Rico pernah pegang kasus dia," ucap Dhitta. "Dia suruh kita langsung datang ke sini."

"Pernah jadi klien saya?" tanya Rico. Dhitta mengangguk. "Kalau boleh tau, siapa ya, Mbak?"

"Salma," jawab Dhitta singkat.

"Ah!" Rico menganggukan kepalanya. "Saya ingat. Kebetulan kasusnya Bu Salma tergolong rumit karena berhubungan dengan perselingkuhan dan KDRT. Jadi, apa yang bisa saya lakukan untuk membantu Mbak Dhitta?"

"Bu—bukan saya," sanggah Dhitta tegas. "Alhamdulillah rumah tangga saya harmonis."

"Jadi," sahut Rico. Rico menggeser pandangannya ke arah Naina yang duduk di sebelah Dhitta. "Apa yang bisa saya bantu, Mbak Naina?"

Naina menceritakan maksud kedatangannya pada Rico. Ia meminta Rico membantunya untuk menyelesaikan masalah pernikahannya dengan Bhumi. Seperti yang dikatakan Dhitta, tidak perlu ada yang ditutup-tutupi. Naina menjelaskan semuanya.

"Saya nggak akan menuntut harta gono-gini," ucap Naina. "Soal hak asuh anak, saya juga pastikan kalau suami saya nggak akan nuntut. Dia juga nggak perlu menafkahi anak kami. Saya cuma mau semuanya selesai dengan tenang."

Rico mengangguk paham. "Baik. Saya akan urus semuanya dan segera mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan. Saya butuh alamat pihak tergugat untuk pengiriman surat dari pengadilan. Mbak nggak keberatan kalau sewaktu-waktu dipanggil ke Jakarta, kan?"

Naina menggeleng. "Saya bersedia, Mas. Saya pasti datang."

Ponsel Naina berdering. Nama Bulik Yem muncul di layarnya. Padahal, perginya baru sebentar. Apa mungkin ada urusan yang mendesak atau ada bahan masakan di rumah yang stoknya habis?

"Iya, Bulik. Ada apa? Aku pulang sekarang. Bulik jangan panik, ya. Aku panggil ambulans ke rumah sekarang, ya. Kita ketemu di rumah sakit." Naina terlihat panik setelah sambungan telepon terputus. "Mbak, kita pulang sekarang."

"Kenapa, Nay? Ada apa?" tanya Dhitta khawatir.

"Mama pingsan di kamar mandi."

***

Naina menunggu di depan ruang IGD dengan cemas. Sudah begitu lama, tapi belum ada seorang pun yang keluar menemuinya dan memberikan penjelasan. Amalia dalam keadaan baik sebelum dirinya pergi. Bahkan, wanita itu sempat menyirami tanaman di halaman depan.

Beruntung Dhitta di sana menemaninya. Naina meminta Bulik Yem pulang dan menyiapkan seluruh keperluan Amalia selama di rumah sakit.

"Aku takut, Mbak," ucap Naina dengan nada bergetar. "Aku nggak mau kalau sampai harus kehilangan Mama. Aku nggak mau, Mbak."

"Jangan ngomong kayak begitu, Nai." Dhitta menepuk-nepuk punggung Naina lembut dan berharap itu bisa sedikit menenangkan wanita itu. "Ibu pasti sembuh."

Seseorang dengan jas putih berlengan panjang berlari mendekat. Itu Katon.

"Gimana keadaan Ibu?" tanyanya dengan napas yang masih terengah-engah. "Sudah diperiksa?"

"Mama di dalam, Mas," jawab Naina. "Sudah diperiksa, tapi aku belum tau bagaimana hasilnya."

"Aku masuk dulu." Katon pamit dan masuk ke ruang IGD.

Tak lama, pintu IGD terbuka. Katon dan dokter yang menangani Amalia keluar.

"Nai, Ibu sudah ditangani," ucap Katon. "Masih di bawah pengawasan, tapi ...."

"Kenapa, Mas?" tanya Naina. "Mama kenapa? Jangan bikin aku takut. Mama kenapa, Mas?"

"Nai, sabar dulu. Kamu yang tenang," bujuk Dhitta. "Dengar dulu penjelasan dokter, ya."

"Tekanan darah pasien tinggi. Ada penyumbatan di otak. Harus segera dioperasi." Dokter yang menangani Amalia menjelaskan. "Selain penyumbatan di otak, pasien juga mendapatkan serangan jantung."

"Astagfirullah. Tolong selamatkan ibu saya, Dok. Saya mohon."

"Kami akan melakukan yang terbaik. Mohon segera tandatangani surat persetujuan tindakan," ucap Dokter. "Saya izin kembali ke dalam."

Naina sudah menandatangani surat persetujuan tindakan. Ia tak ingin mengambil risiko yang jauh lebih besar kalau pengobatan ditunda.

"Dari mana, Pa?" tanya Dhitta pada Katon. "Habis telepon siapa?"

"Aku telepon Bhumi. Aku minta dia untuk segera datang. Bhumi pesan kalau ada sesuatu terjadi sama mamanya, dia minta aku untuk langsung telepon dia."

"Terus?" sahut Dhitta.

"Mungkin malam ini dia sampai."

Woaaa, maap baru update. Kebetulan aku lagi agak sibuk jagain orang sakit.
Kalian apa kabarrr?
Baik, kan?

Ada yang jadi anggota KPPS pemilu kemaren?
Ternyata, pemilu ada serba-serbinya juga.
Percaya nggak percaya, temenku sakit dari pas pulang jadi anggota KPPS sampe sekarang. Demam tinggi dan sempat menggigil. Dibawa ke rumah sakit 3x dengan hasil pemeriksaan urine serta darah yang normal. Dokter bingung masalahnya ada di mana.
Dirawat tiga hari pun akhirnya disuruh pulang karena hasil pemeriksaan normal nggak bermasalah.
Tapi, nggak tau kenapa dia masih lemes banget ngga bertenaga.
Sebelumnya, ada upaya pengobatan alternatif. Tiga orang bilang hal yang sama. Ada caleg yang pake dukun. Wallahu alam.
Bantu doa ya. Semoga temenku bisa cepet sehat dan kembali kumpul sama suami dan anak-anaknya. Sedih banget aku liat dia sakit nggak sembuh2. Jadi mikir yang nggak-nggak.

Btw, aku nggak akan pernah bosen kasih tau kalian kalo SCENT OF LILY ada bentuk ebooknya yaaa. Beli di PLAY STORE.

Untuk yang nanyain kisah Vera a.k.a Tentang Sebuah Kisah, aku belum bisa kasih jawaban. Masih belum diedit. Sebenernya aku pengen banget itu cepet terbit karena aku mau garap kisah Abang Sam. Udah gatel banget.

Yaudah cuss diramaikan. Aku udah gatel banget pengen ngelarin ini.

Hahahahahah


With love,


Wulan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top