MKSUK 13
"Perjodohan kamu dengan Jelita dibatalkan." Ucapan Panji Adhyaksa yang baru saja tiba di ruang makan sontak membuat Bhumi hampir saja menyemburkan kopi paginya. Beberapa hari yang lalu sang ayah memintanya untuk bermalam. "Nama baik keluarga kita bisa hancur kalau sampai kamu nikah sama dia nantinya."
Bhumi tertawa dalam hati. Tuhan baik dan masih berpihak padanya. Tuhan tahu benar kalau ia memang tak pernah menginginkan perjodohan konyol ini.
Panji kerap menuntut pewaris darinya. Bhumi dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota yang nantinya akan melanjutkan kepemimpinan rumah sakit keluarga mereka. Seorang putra mahkota juga harus menyiapkan pewaris selanjutnya.
"Kenapa tiba-tiba begini, Pa?" tanya Bhumi basa-basi. Ia mengamati papanya yang duduk di hadapannya. "Bukannya Papa bilang kalau Papa mau punya menantu yang bisa bikin bangga keluarga?"
"Apanya yang bikin bangga? Jelita hamil di luar nikah sama pacarnya!" sahut Panji kesal.
"Hamil?" tanya Bhumi santai. "Papa dapat berita dari mana?"
"Beritanya sudah tersebar di internet. Keluarga kita ikut-ikutan terseret karena kabar kedekatan kalian sudah banyak yang tau. Untung bukan kamu yang bikin dia hamil."
Bhumi tertawa renyah. Namun, tawanya seketika sirna ketika ibu tirinya ikut bergabung di meja makan. Entah kenapa meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, rasa benci karena wanita itu sudah merusak rumah tangga kedua orang tuanya masih begitu subur. Wanita itu sudah membuat ibunya tersingkir dari rumah ini. Tak pernah terlibat percakapan, kecuali dalam keadaan terpaksa.
"Aku pamit dulu."
"Kamu pergi bukan karena ada Tante, kan?" sindir Yunita. Wanita yang sudah terlihat cantik dengan riasan setengah tebal dan tatanan rambut tertata itu duduk di dekat suaminya. Ia duduk di tempat di mana Amalia biasa duduk dulu. "Kamu ada masalah apa sih sama Tante?"
"Ini masih terlalu pagi untuk bertengkar," ucap Panji berusaha untuk menengahi. "Jangan buat selera makanku rusak. Mood-ku sudah hancur gara-gara berita kehamilan Jelita."
"Seharusnya kamu peringatkan anak kamu untuk menghormati aku sebagai istri kamu, Ma!" desak Yunita. "Biar bagaimanapun aku ini juga ibunya."
Seketika tawa Bhumi terdengar.
"Untukku, Tante cuma istri Papa. Aku nggak pernah menganggap Tante sebagai ibu. Ibuku cuma Mama!"
"Kamu masih anggap perempuan yang sudah bertahun-tahun nggak pernah nemuin kamu sebagai Mama?" ucap Yunita dengan nada meledek.
"Jaga mulut Tante!" bentak Bhumi tegas. "Tante nggak tau apa-apa soal Mama. Tante yang harusnya malu karena sudah jadi orang ketiga dan merusak rumah tangga orang lain. Mama nggak pernah pantas mendapatkan perlakukan kayak begini. Asal Tante tau, sampai kapanpun, nyonya di rumah ini cuma Mama. Ibu sama anak sama aja. Bisanya cuma merusak hidup orang lain. Aku pergi, Pa."
Baru beberapa langkah Bhumi meninggalkan ruang makan, Yunita kembali berucap. Pelan, tapi Bhumi bisa mendengar dengan jelas.
"Nggak usah lah kamu cari-cari jodoh untuk dia. Lagipula selama ini juga dia nggak suka dijodoh-jodohin. Kalau kamu memang butuh penerus, kamu bisa suruh keponakanku untuk bantu kamu."
"Aku nggak akan pernah menyerahkan bisnis keluarga ini ke orang yang nggak paham bagaimana caranya berbisnis. Keponakan-keponakan kamu itu taunya cuma merongrong. Nggak tau sudah berapa banyak uangku yang mereka pakai."
"Andai Andra masih ada," ucap Yunita lirih.
"Dia mati karena ulahnya sendiri! Dan gara-gara dia rumah tangga Bhumi dengan Naina hancur berantakan, kalau kamu lupa."
***
"Kenapa muka lo ditekuk?" tanya Alfian saat mendapati Bhumi di kafetaria rumah sakit. "Tadi gue ke ruangan lo. Ners bilang lo ke sini dan nggak praktek hari ini. ada apa lagi?"
"Minggu lalu gue ketemu Nai," jawab Bhumi. Alfian yang terkejut terlihat setengah menganga. "Dhitta yang bawa dia ke sini."
"Dhitta? Kok bisa?" sahut Alfian bingung. "Kayaknya gue sudah ngelewatin sesuatu, nih."
Bhumi memainkan gagang cangkir kopinya. Kopi keduanya untuk hari ini.
"Gue ngerasa dijebak. Selesai konfrensi di hotel waktu itu, Katon ngajak gue makan malam karena katanya dia mau langsung cabut ke Malang. Nggak taunya, di sana gue ditemuin sama Naina dan ...."
"Dan?" sela Alfian. Laki-laki dengan kemeja katun biru tua dan balutan sneli lengan panjang itu dibuat makin penasaran. "Dia siapa?"
"Aluna?"
Kedua alis Alfian saing bertautan. "Iya, dia siapa? Jangan bikin gue tambah penasaran."
"Anak itu. Anaknya Nai."
"Anak lo juga kaliiiiii," timpal Alfian kesal.
"Bukan."
"Gue pernah kasih saran ke lo untuk tes DNA karena lo ragu dia anak siapa. Tapi apa? Lo tolak mentah-mentah karena lo sudah yakin banget kalau Nai itu selingkuh dari lo. Gue heran kok bisa ya orang goblok kayak lo jadi dokter. Ego lo terlalu tinggi. Pertanyaan gue, apa yang bakalan lo lakuin kalau ternyata anak itu anak kandung lo?"
Bhumi terdiam kaku. Selama ini hatinya jelas keras menolak hal itu. Amarah telah membuat mata hatinya tertutupi.
"Bagaimana? Kok diam? Nggak tau mau jawab apa? Ini akibatnya karena saat itu lo nggak berpikir dulu sebelum bertindak. Gue sudah capek banget ngasih tau lo, Bhumi. Ya Tuhan, gue apes banget punya teman kok bodoh kayak begini. Nai ada bilang sesuatu?"
"Dia mau ngomong apapun, gue nggak akan mau dengar."
"Tunggu," sela Alfian. "Berarti pas gue ketemu sama Tante Amalia waktu itu ...."
Bhumi mengangguk. "Mama juga datang ke sini. Jadi, selama ini Mama tinggal sama Nai. Mama marah-marah sama gue."
"Kalau gue jadi Tante Amalia, gue bakal masukkin lagi lo ke perut. Anak sudah dilahirin, disayang dan dirawatin, gedenya kok malah blo'on."
Bukan rumah tujuan Bhumi setelah seharian menghabiskan waktu di kafetaria rumah sakit, melainkan sebuah pemakaman umum yang sudah bertahun-tahun tak dikunjunginya.
Sebuah pusara terlihat terawat dengan rerumputan hijau yang menyelimuti. Tak ada taburan kelopak bunga di atasnya.
"Apa lo tenang pergi setelah semua yang terjadi?" Bhumi berucap seraya menatap nisan bertuliskan nama seseorang di atasnya. "Hidup gue hancur saat itu juga. Kenapa harus lo yang bikin hancur hidup gue? Susah payah gue nerima lo sebagai saudara tiri, tapi nyatanya ini balasan lo. Lo main gila sama Nai di belakang gue! Lo nggak mau minta maaf sama gue, Ndra? Lo sama nyokap itu sama. Kalian sama-sama perusak!"
***
Ponsel Bhumi terus-terusan berdering. Melihat nama si penelepon membuatnya begitu muak. Batinnya, orang itu benar-benar tak punya rasa malu. Serentetan pesan dikirim. Dering kembali terdengar. Bhumi yang kesal pun akhirnya membanting benda itu ke lantai. Ponselnya hancur.
Hidupnya terasa hampa beberapa bulan terakhir. Tak ada lagi senyuman indah dan pelukan hangat yang menyambutnya di ambang pintu ketika pulang ke rumah. Ia sendirian.
Rumah begitu berantakan. Sepatu berserakan. Baju kotor tercecer di lantai kamar. Handuk basah sampai akhirnya kering pun dibiarkan saja sehingga menimbulkan bercak hitam di sprei. Andai Naina ada, maka wanita itu yang akan dengan sigapnya menyelesaikan semua.
Bhumi dibuat kaget karena suara dering telepon dari ruang tengah. Buru-buru ia berlari. Pikirnya, itu Naina yang menelepon. Biasanya, saat berada di luar rumah, Naina akan menelepon ke rumah setiap kali merasa Bhumi sulit dihubungi. Namun, langkah Bhumi seketika terhenti. Naina belum benar-benar hilang dari pikirannya.
"Ha—halo," ucapnya.
"Kamu ke mana aja dihubungi dari semalam? Handphonemu mati? Atau kamu yang mati juga?"
Bhumi hapal suara itu. Itu suara papanya.
"Kenapa, Pa? Aku lepas dinas semalam. Capek banget, jadi baru bangun tidur."
"Pulang ke rumah sekarang. Andra meninggal tadi pagi. Siang ini dimakamkan."
"Innalillahi. Andra meninggal?"
"Nomor kamu ada di daftar teratas panggilan keluar. Kalian bertengkar?"
Haiiii. Sebenernya kemaren udah aku post, tapi kayaknya masih sepi jadi aku tarik lagi hhahahhaha.
Ayo kita ngobrol lebih banyak kayak duluuu.
Ramaikan yaaaa
Aku lagi semangat nulis nihhhh
Jujur, aku ngga mau bikin cerita ini banyak bab.
Setiap ngetik babnya tuh beban banget. Kayak gimana yaaaa. Rasanya kayak ikutan sedih, apalagi kalo pas bab Naina Luna huhuhuhu. Emosional banget akuuuu.
See you on the next part yaaaa.
Sehat-sehat kalian semuaaaaa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top