MKSUK 12
Naina menatap sedih Aluna yang tengah lahap menyantap sarapannya. Seharusnya kepergian mereka ke Jakarta saat itu menjadi obat penawar rindu Aluna terhadap sang Ayah yang begitu membuncah. Seharusnya Aluna bisa mencurahkan segala seluruh isi hatinya pada satu-satunya pria yang selalu menjadi cinta pertamanya. Seharusnya ...
"Bunda," tegur Aluna pada Naina. Gadis kecil itu jelas dibuat bingung karena bundanya sama sekali belum menyentuh nasi goreng lezat buatan Bulik Yem. Menyadari tak juga mendapat respons, Aluna memegang lembut lengan Naina. "Bunda kenapa bengong?"
Naina tak sadar kalau ternyata kesedihan telah membawanya jauh ke dalam lamunan. Kedua matanya seketika mengerjap terkejut mendapati sang putri yang masih setia menatap ke arahnya. Ditangkapnya sedikit rasa khawatir di wajah Aluna.
"Bunda nggak apa-apa, Sayang," ucap Naina tenang. Ia memungut sebutir nasi di sudut bibir putrinya. "Tamunya ketinggalan satu. Makannya dilanjut, ya."
"Aku mau main ke rumah Delisa. Boleh?" Aluna tak ingin menyia-nyiakan hari Minggunya dengan hanya berdiam diri di rumah.
"Boleh," sahut Naina setuju. "Tapi nggak sendirian, kan?"
"Nanti Amel jemput ke sini, Bunda."
"Ya sudah. Luna boleh main, tapi jangan merepotkan, ya. Nanti Bunda bawakan kue untuk Delisa."
Bulik Yem sedang menyiapkan sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauknya. Amalia meminta agar makan siangnya diantar ke kamar setelah melewatkan sarapan tadi pagi.
"Biar aku yang bawakan ke kamar Mama, Bulik," ucap Naina. "Bulik bisa lanjut kerjakan yang lain."
Naina mengetuk pintu kamar dan melihat wanita yang selama ini dianggap sebagai ibunya sedang menyandarkan tubuh di kepala ranjang. Di tangan wanita itu melingkar tasbih yang selalu setia menemaninya setiap hari. Akhir-akhir ini, Amalia lebih sering menghabiskan waktunya di kamar menonton tayangan sinetron yang tak pernah ada habisnya sembari bertasbih.
"Sudah waktunya makan siang, Ma." Dengan hati-hati, Naina duduk di atas ranjang. "Mama pasti suka. Menu siang ini Bulik Yem buat khusus untuk Mama."
Amalia melirik isi piringnya dan tersenyum. Makanan kesukaannya, bothok mlanding teri dan tempe bacem.
"Bulik Yem memang selalu ngerti apa yang Mama mau," ucap Amalia bercanda. Wanita itu mengambil alih piring dari tangan Naina. "Mama kok nggak dengar ocehan Luna."
"Luna pergi ke rumah temannya. Ini hari Minggu. Kasihan kalau cuma di rumah. Tadi mau pamitan, tapi Mama tidur."
Amalia menikmati suapan pertamanya. Namun, wanita itu merasa Naina sedang memikirkan sesuatu.
"Kamu kenapa?" tanyanya sedikit khawatir. "Ada masalah?"
"Sudah satu minggu kita kembali ke sini, tapi hidupku nggak tenang sama sekali, Ma," ujar Naina lemah. "Aku ngerasa bersalah karena aku sudah buat anakku kecewa. Aku semakin ngerasa bersalah karena sampai detik ini Luna nggak pernah menyinggung soal apa yang terjadi di Jakarta waktu itu. Aku harus bagaimana, Ma?"
"Nanti kamu bisa pelan-pelan ajak dia ngobrol." Amalia memberi saran. "Nai, kamu tau kan kalau Mama akan dukung apapun yang menjadi pilihan kamu?" tanya Amalia yang mendapat jawaban sebuah anggukan dari Naina. "Mama nggak mau kamu terus-menerus merasa sakit. Sudahi semua ini, Nai. Selama ini kamu selalu menunggu. Sekarang, bukan lagi saatnya untuk kamu menunggu. Mama nggak akan pernah bela Bhumi, meskipun dia anak kandung Mama. Biar bagaimanapun, apa yang sudah dia lakukan itu salah. Kamu boleh menggugat cerai dia. Mama ridho."
"Mama ..."
***
Suara grendel pagar terdengar. Naina sibuk di dapur mengerjakan sisa pesanan untuk esok hari. Tak lama, ocehan-ocehan ceria pun kembali memenuhi seisi rumah.
"Bunda, ada titipan dari mamanya Delisa," ucap Aluna seraya menyerahkan tentengan goody bag berwarna lilac ke tangan bundanya. "Tante Ayu bilang terima kasih untuk kuenya. Bunda, aku sudah makan di rumah Delisa."
"Bunda bilang kan jangan ngerepotin, Sayang," sahut Naina. Ia mengendus aroma matahari dari tubuh sang anak. "Bau matahari banget, sih."
"Tadi kita main bulu tangkis di lapangan depan rumah Delisa."
"Anak Bunda bisa main bulu tangkis?" tanya Naina. "Kok Bunda nggak pernah tau."
"Nggak bisa, Bunda," jawab Aluna terkekeh. "Tapi ..."
"Tapi apa?" potong Naina.
"Tadi papanya Delisa ajarin kita main bulu tangkis. Papanya Delisa juga tadi buatin kita tenda di lapangan itu. Enak banget, Bunda. Papanya Delisa baik banget. Andai aja Ayah—" Aluna tak melanjutkan kalimatnya. Gadis kecil itu seolah akan mengalihkan topik perbincangan. "Aku mau mandi dulu. Belum salat Asar juga. Dadah Bunda."
Aluna meninggalkan Naina yang berdiri kaku melihat kepergiannya. Jelas bocah itu berusaha menyembunyikan isi hatinya. Seharusnya Aluna bisa merasakan apa yang teman-temannya rasakan. Seharusnya Aluna bisa mempelajari hal-hal baru dari ayahnya.
Rasa bersalah kembali hadir. Naina tak bisa lagi menahan tangisnya. Adonan kering menempel di tanganya.
"Biar Bulik yang selesaikan. Mbak Nai istirahat aja. Sudah dari tadi di dapur terus." Bulik Yem menangkap kalau saat ini Naina sedang tidak baik-baik saja. Mengenal wanita itu bertahun-tahun lamanya membuatnya mengenal Naina luar-dalam. "Bulik sedih kalau lihat Mbak Nai kayak begini. Bulik mau Mbak Naik kembali ceria kayak dulu lagi."
Sudah menjadi kebiasaan Naina membantu dan mendampingi Aluna menyiapkan kebutuhan sekolah setiap harinya. Satu setel seragam sudah siap. Tak lupa atributnya pun disandingkan di dekatnya. Ia juga memeriksa kembali buku-buku di tas putrinya. Semua sudah sempurna, seperti biasanya.
Aluna menggosok gigi di kamar mandi, sementara dirinya menyiapkan tempat tidur lengkap dengan selimut. Naina tersenyum saat merasakan sepasang tangan melingkar di pinggangnya.Naina membalikkan badan. Sang putri menampilkan deretan gigi putih seolah meminta penilaian.
"Pintar," puji Naina. "Giginya sudah bersih."
Aluna meluncur ke atas ranjang. Sebelum ikut bergabung di ranjang, Naina memeriksa jendela kamarnya. Semua sudah terkunci.
"Luna sudah ngantuk?" tanya Naina. Putrinya menggeleng. "Bunda boleh ajak ngobrol sebentar?" Aluna hanya mengangguk. "Bunda boleh tanya sesuatu?"
"Boleh. Bunda mau tanya apa?"
"Bunda boleh tau kenapa Luna nggak pernah tanya soal Ayah lagi semenjak kita pulang ke sini?" tanya Naina. Hatinya berdegup tak keruan. "Sejak pulang ke sini, Luna nggak pernah membahas soal Ayah."
"Aku nggak mau Bunda sedih," sahut Aluna pelan. "Aku nggak mau lihat Bunda nangis lagi kayak waktu itu. Aku sudah ketemu Ayah."
Ya Tuhan. Hati Naina bergetar hebat. Anaknya mati-matian menjaga perasaannya. Naina membingkai wajah cantik sang putri dengan kedua telapak tangannya.
"Bunda minta maaf." Hanya itu yang bisa terlontar dari mulutnya saat ini. "Bunda minta maaf karena semua nggak berjalan sesuai keinginan kamu. Bunda nggak bisa membuat kamu merasakan apa yang teman-teman kamu rasakan. Bunda nggak bisa buat Ayah mengajarkan kamu bagaimana cara bermain bulu tangkis yang baik. Bunda nggak bisa minta Ayah bangun tenda untuk kamu dan teman-teman main. Bunda tau kamu pasti ingin merasakan itu semuanya."
Dua permata yang kini menatapnya meneteskan air mata. Aluna terisak. Naina segera membawa sang putri ke dalam pelukan ternyaman yang bisa diberikannya malam ini.
"Kenapa Ayah benci aku, Bun? Aku salah apa?"
Hati Naina begitu teriris. Jadi, hal inilah yang selama ini Aluna pendam begitu dalam.
"Ayah nggak benci Luna. Ayah cuma terlalu kaget karena kita datang tiba-tiba tanpa kasih kabar."
"Tapi, Ayah bilang kalau Ayah bukan ayahnya aku."
Naina sungguh ingin menatap mata putrinya. Namun, ia tak sanggup. Kedua mata Aluna jelas akan menuntut penjelasan.
"Ada satu hal yang harus Luna tau. Kasih dan sayang Bunda nggak akan pernah berkurang sedikit pun. Apapun yang terjadi nantinya, Luna akan selau jadi kesayangan Bunda. Bunda akan lakukan apapun demi Luna. Bunda mau Luna bahagia."
Hai, semuanya.
Maafin karena setelah sekian lama aku baru nulis lagi.
Ada begitu banyak hal yang bikin aku seolah mau berhenti nulis.
Terima kasih karena sudah begitu sabar nunggu.
Insya Allah aku akan secepatnya nulis lanjutan kisah ini.
Semoga kalian selalu suka ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top