MKSUK 11
Bhumi dapat merasakan bulu kuduknya meremang. Rangkulan itu membuat tengkuknya seketika terasa berat. Jantungnya seakan berhenti berdegup saat kedua matanya bertabrakan dengan dua mata penuh binar bahagia milik Aluna.
Laki-laki itu bingung dengan apa yang terjadi di hadapannya saat ini. Apa-apaan ini semua? Dilepasnya tautan Aluna dari lehernya. Perlahan dengan keraguan yang tak bisa dihilangkan, ia memutar tubuh dan mendapati sosok Naina yang berdiri tengah menatap ke arahnya sedih.
"Mas," ucap Naina lembut.
"Apa-apaan ini semua?" tanya Bhumi. Nada marah cukup menegaskan dirinya yang merasa dikhianati. "Kalian yang sudah merencanakan semua ini?"
"Bhumi." Katon berusaha menurunkan tensi emosi Bhumi. Laki-laki itu mengirim pesan pada sang istri—Dhita untuk segera menjauhkan Aluna dari Bhumi. Dhita membawa Aluna kembali pada Naina. "Dengar dulu. Kami nggak punya niatan buruk. Jangan salah paham."
Bhumi tak menghiraukan ucapan Katon. Ia berdecih kesal. Pikirnya, Katon hanya mengundangnya untuk makan malam biasa malam ini karena seluruh rangkaian kegiatan mereka sudah selesai, tapi ia malah dijebak. Laki-laki itu bangun dari duduknya. Ia sama sekali tak mengindakan isi piring yang baru berkurang sedikit.
"Bhum, dengar dulu," bujuk Katon. Ia berusaha menahan Bhumi dengan meraih tangannya. "Naina dan Luna datang untuk ketemu lo. Luna bilang kalau dia mau ketemu lo. Kita bicara baik-baik. Nggak enak sama pengunjung lain."
"Buat apa?" sahut Bhumi kesal. "Gue sudah nggak ada sangkut paut sama perempuan itu. Jadi, nggak ada yang perlu dibicarakan."
Naina tak bisa mengelak betapa sedihnya ia saat ini. Bahkan Bhumi tak menyebut namanya. Masih begitu marah kah ia sampai mengharamkan nama Naina keluar dari mulutnya?
Naina memeluk erat Aluna. Gadis kecil itu mulai ketakutan. Senyuman bahagia itu perlahan luntur.
"Bunda, Ayah—" ucap Aluna.
"Jangan pernah panggil saya ayah!" serobot Bhumi yang seketika saja berhasil membuat beberapa pengunjung restoran di sekitar mereka tertarik untuk menyaksikan. Beberapa dari mereka pun menoleh seakan penasaran dengan apa yang sedang terjadi. "Saya bukan ayah kamu. Paham?"
Aluna meremas pinggang sang bunda. Usianya masih terlalu muda untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kedua orangtuanya. Selama ini, yang ia tahu Bhumi lah ayahnya. Namun, laki-laki yang selalu menjadi cinta pertamanya, meskipun tak pernah ia lihat secara langsung itu baru saja menolaknya.
"Bunda ...."
Naina bisa menangkap ketakutan putrinya semakin bertambah. Ditambah ia melihat genangan air di kedua mata Aluna. Cukup. Naina tak ingin membuat Aluna semakin terluka.
"Mbak, sebaiknya aku dan Luna pergi dari sini," ucap Naina pada Dhita.
"Jangan, Nai!" cegah Dhita. "Kita lakukan ini semua untuk Luna. Luna berhak ketemu ayahnya."
Tawa Bhumi terdengar. Seluruh tatapan memusat padanya.
"Kayaknya kamu nggak ngerti apa yang aku bilang tadi, ya, Dhit?" ucap Bhumi menyindir. "Anak itu bukan anakku. Tanya perempuan itu benih siapa yang dia pelihara."
"Mas!" Naina tak sanggup lagi menahan emosi. "Cukup. Kamu bisa sakiti aku semau kamu. Tapi jangan anakku. Aku mohon jangan sakiti perasaan anakku. Selama ini, anakku sudah terlalu sakit karena keadaan ini. Jangan kamu tambah rasa sakit hatinya. Sejak awal, ini semua sudah salah. Kami nggak seharusnya datang ke sini. Satu hal yang harus kamu tau. Aku nggak pernah mencurangi pernikahan kita."
Bhumi tak menggubris. Ia teguh dengan pendiriannya. Rasa kecewa masih begitu mengambil alih dirinya saat ini.
"Mbak ... Mas, terima kasih. Aku permisi dulu." Naina meninggalkan ketiganya dan menggendong Aluna yang menangis keluar restoran hotel.
"Nai!" Panggilan Dhita sama sekali tak membuat Naina menoleh. Kesedihannya sudah teramat besar. "Naina!"
"Ma, sudah. Nai butuh waktu," bujuk Katon pada sang istri. "Jangan diganggu dulu."
"Ayo kita pergi, Pa!" omel Dhita. Matanya menatap Bhumi tak suka. "Aku yakin suatu hari nanti kamu pasti menyesal, Mas Bhumi. Kamu nggak tau bagaimana manis dan pintarnya Aluna. Dia memang nggak seharusnya punya ayah sebrengsek kamu. Ayo, Pa!"
"Kami pergi dulu," pamit Katon.
Bhumi seorang diri di meja dengan sajian makan malam yang baru disentuh sedikit. Kedua tangannya terkepal di atas meja. Tatapan sinis para penjung pun terlempar padanya.
***
Perjalanan kembali ke kamar terasa begitu jauh. Naina berusaha tegar, meskipun harus dihadapkan kenyataan mendengar tangisan sang anak yang tersedu. Tegar memang hanya sebuah kata. Faktanya, ia pun tak bisa menahan air mata. Kedua pipinya basah.
"Luna nggak boleh nangis," ujarnya pada Aluna. "Kita pulang ke Malang, ya?"
Aluna tak menyahut. Namun, anggukannya seolah cukup menjadi jawaban.
Amalia yang membukakan pintu terlihat bingung mendapati menantu dan cucu kesayangannya tampak sedih. Buru-buru ia meminta keduanya masuk dan duduk di atas tempat tidur. Belum ada setengah jam keduanya meninggalkan kamar untuk makan malam. Ia yakin betul sesuatu yang tidak baik pasti sudah terjadi.
"Mama tau," ucap Amalia. Kedua tangannya segera merengkuh Naina. Tangis Naina pecah. "Mama minta maaf, Nai. Maaf karena tadi Mama nggak ikut ke bawah sama kalian."
"Aku dan Luna memang nggak seharusnya ke sini, Ma," ucap Naina tersedu. "Aku ngerasa salah karena sudah buat anakku sakit hati, Ma. Dia ditolak ayahnya sendiri. Mas Bhumi nggak mengakui Luna sebagai anaknya."
Amalia tak bisa berkata-kata. Laki-laki bodoh yang sudah menyakiti perasaan Naina dan cucunya adalah anak kandungnya sendiri. Anak yang dibesarkannya dengan cinta.
Amalia beralih menatap Aluna. Gadis kecil itu masih setia menangis. Kedua matanya terlihat begitu sembab.
"Uti minta maaf atas sikap Ayah," katanya pada Aluna. Namun, gadis kecil itu menggeleng. "Luna pasti marah, kan?"
"Ayah begitu pasti karena aku nakal, kan, Uti?" sahut Aluna. "Mungkin Ayah nggak suka karena aku tiba-tiba teriak dan peluk Ayah dari belakang. Ayah pasti marah karena aku nggak jadi anak yang baik. Iya, kan, Uti?"
Amalia menggeleng. Tidak. Luna tumbuh dengan baik, meskipun tanpa sosok seorang ayah yang membersamainya. Naina berhasil mendidiknya menjadi anak yang pintar.
"Luna anak yang baik," sahut Amalia.
"Tapi ..." ucap Aluna terjeda. "Ayah bilang kalau Ayah bukan ayahku. Aku nggak boleh panggil ayah."
Ketiganya saling memeluk. Amalia berusaha kuat demi menguatkan menantu dan cucu satu-satunya. Naina sosok wanita sempurna. Ia sangat beruntung memiliki Naina sebagai menantu. Tak seharusnya Bhumi menyakiti hati Naina.
***
"Mama yakin nggak mau ikut kita?" tanya Naina pada Amalia. Pertanyaan itu segera diangguki oleh Amalia. "Mama mau ke mana emangnya? Mau diantar?"
"Nggak usah, Nai," tolak Amalia lembut. "Mama cuma mau ketemu sama teman-teman lama. Kita kan jarang-jarang bisa pulang ke Jakarta, makanya Mama bikin janji mau ketemu mereka di sini. Mumpung belum pulang ke Malang."
Naina merasa tak tega. Ia pun memutuskan untuk menitipkan sang anak pada Katon dan Dhita sementara ia menemani sang ibu mertua.
"Mama bisa, Nai. Kamu nggak perlu temani Mama."
"Tapi, lutut Mama kan sering kambuh," sahut Naina khawatir. "Aku takut nanti bisa kambuh sewaktu-waktu."
"Nai," ucap Amalia seraya mengusap lengan Naina lembut. Ia mengerti kalau menantunya itu tengah mengkhawatirkan dirinya. "Mama nggak apa-apa. Kalau lutut Mama kambuh, nanti Mama bisa minum obatnya atau periksakan ke dokter. Lagipula, nggak enak kalau ninggalin Luna ke Dhita dan Katon. Ngerepotin, Nai. Kamu tenang aja. Selesai ketemu teman-teman, Mama langsung pulang ke Bogor. Mama bisa minta salah satu teman Mama antar ke rumah Bogor."
"Mama yakin?" tanya Naina memastika. Amalia mengangguk. "Ya sudah. Mama harus telepon aku kalau ada apa-apa, ya."
Mereka berpisah di lobi hotel. Naina menumpang taksi yang dipesankan Katon untuknya. Taksi pun melaju setelah ia mengucapkan alamat tujuan.
"Kalau ada tempat fotokopi, mampir sebentar, Pak. Ada yang harus difotokopi."
Setibanya di tempat tujuan, Amalia berjalan menyusuri lobi gedung. Sudah lama dirinya tak menginjakkan kaki di sini. Jauh sebelumnya, kedatangannya selalu disambut penuh hormat oleh semua pegawai yang ditemuinya di sini. Namun, semua telah berlalu setelah dirinya menggugat cerai sang suami.
"Saya mau ketemu Dokter Bhumi," ucapnya pada salah seorang perawat di nurse station. "Dokter Bhumi ada, kan?"
"Maaf, Ibu. Beliau sedang ada operasi. Sebentar lagi selesai. Apa sudah buat janji dengan Dokter Bhumi sebelumnya?"
"Bilang ke dia kalau ibu kandungnya mau ketemu!" Nada suaranya mulai meninggi. "Saya tunggu sampai dia selesai."
Amalia menyadari gelagat para perawat di nurse station. Mungkin terasa aneh bagi mereka setelah mengetahui siapa dirinya. Cukup lama ia menunggu sampai tak sadar seseorang menepuk pundaknya.
"Tante Lia?"
"Alfian?" tanya Amalia. Usia membuatnya sedikit ragu akan sosok di hadapannya saat ini. Alfian mengangguk. "Kamu apa kabar?"
"Alhamdulillah kabarku baik, Tante. Tante kapan pulang ke sini?"
"Beberapa hari yang lalu," jawab Amalia. "Bisa kamu tolong Tante kasih tau Bhumi kalau Tante ada di sini? Perawat bilang dia ada operasi. Tapi, katanya sebentar lagi selesai."
"Bisa, Tante," sahut Alfian semangat. "Aku susul dia. Tante tunggu di sini sebentar, ya."
***
Mendengar kabar bahwa sang mama menunggunya, Bhumi pun bergegas meninggalkan ruangan setelah operasi selesai. Sungguh ia merasa sangat bahagia karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan sang mama setelah bertahun-tahun lamanya berpisah.
Langkahnya begitu lebar. Ia tak bisa lagi membendung rindu. Bhumi sangat merindukan sosok Amalia.
"Mama." Bhumi tersenyum saat mendapati Amalia yang duduk di salah satu bangku di depan ruang prakteknya. Ia segera menghampiri, bersimpuh dan mengecup punggung tangan Amalia. "Apa kabar, Ma? Mama sehat, kan?"
"Ada yang harus Mama sampaikan ke kamu," sahut Amalia jelas.
"Kita ke ruanganku, Ma." Bhumi memimpin jalan menuju ruangannya. Ia membantu Amalia duduk. "Ada apa, Ma?"
"Kamu masih tanya ada apa? Setelah hampir 9 tahun berlalu dan kamu masih jadi seorang pecundang? Mama besarkan kamu untuk jadi laki-laki yang bertanggungjawab, Bhumi. Ekspektasi Mama terlalu tinggi. Mama pikir waktu bisa merubah semuanya. Ternyata Mama salah. Kamu malah tambah bodoh."
"Maksud Mama apa?" tanya Bhumi. "Aku nggak ngerti."
Amalia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Ditaruhnya kertas-kertas itu di atas meja kerja sang putra.
"Anak kamu. Namanya Aluna," ucap Amalia.
"Ma! Dia bukan anakku," tolak Bhumi. Amalia refleks segera berdiri. "Lebih baik Mama tanya ke perempuan itu siapa ayah anaknya."
Tamparan itu begitu keras.
"Hati-hati dengan ucapan kamu. Itu salinan rapor Aluna. Dia selalu membayangkan suatu hari nanti kamu yang akan datang ke sekolahnya untuk ambil rapor. Bukan Nai atau Mama. Cuma kamu. Luna cuma mau kamu. Luna begitu semangat mau menunjukkan rapor itu ke kamu. Dia mau buat kamu bangga. Tapi, kamu malah buat dia kecewa." Amalia tak melihat adanya pergerakan dari putranya. Ia sudah membuang-buang waktu dengan menemui manusia keras kepala itu. "Urusan Mama selesai. Kalau setelah ini kamu masih keras kepala, mungkin keputusan Mama untuk menyudahi hubungan dengan kamu adalah pilihan yang paling tepat. Jangan pernah kamu menginjakkan kaki lagi di rumah Bogor. Mama pergi."
"Mama ...."
Tanpa membacanya, Bhumi langsung menyimpan salinan rapor Aluna ke laci meja kerjanya. Bhumi meminta para perawat membatalkan seluruh janji temu dengan pasien-pasiennya.
Hai, semuanya.
Kalian apa kabar?
Sehat, kan?
Maaf karena baru update lagi.
Namanya hidup, ada ups and downsnya.
Iya, kan?
Oiya, SCENT OF LILY sudah ada versi ebook di GOOGLE PLAYSTORE yaa.
Buat yang mau baca, boleh beli di sana.
Di KaryaKarsa Karos Publisher juga ada.
Bebas mau di mana aja boleh.
Aku mau ngadain giveaway.
Ada tiga novel yang mau aku bagiin ke kalian.
Novel apa aja?
1. Dia (Omku) Dia Suamiku
2. Mulai Dari Nol
3. Scent of Lily
Caranya gimana?
Nanti aku spill.
Giveaway aku adain di instagram aku, ya.
Nanti tapinya.
Ada yang belom follow IG aku?
Cuss difollow
@missdandelionishere
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top