MKSUK 10
Naina gugup di sepanjang perjalanan dari Bogor menuju Jakarta. Telapak tangannya tak berhenti meremas satu sama lain. Keduanya dingin. Isi kepalanya sibuk membayangkan apa yang akan terjadi nantinya.
Melihat betapa semangatnya Aluna membuat hatinya meringis dalam diam. Anaknya terlihat bahagia. Bahkan, Aluna berkali-kali berceloteh tentang apa yang akan dibincangkan olehnya dan sang Ayah.
"Bunda bawa buku raporku, kan?" tanya Aluna. Gadis kecil itu merasa bundanya tak memperhatikan. "Bunda ...."
Amalia menyenggol lembut lengan Naina yang termenung. Seketika, Naina pun sadar kalau sang anak tengah mengamatinya. Aluna menatap dirinya khawatir.
"Kenapa, Sayang?" tanya Naina. "Luna tadi tanya apa?"
"Bunda kenapa?" sahut Aluna. "Bunda nggak apa-apa, kan?"
"Rapor," bisik Amalia pada Naina.
"Tadi Luna tanya soal rapor, ya?" Naina berusaha untuk tak membuat anaknya khawatir. Aluna menjawabnya dengan anggukan. "Ada di tas."
"Aku mau kasih lihat ke Ayah."
Perjalanan semakin mendekati tujuan. Aluna begitu menikmati gemerlap lampu-lampu indah yang menghiasi ibukota. Ini kali pertamanya berkunjung ke Jakarta.
Mobil berhenti di lobi sebuah hotel. Entah kenapa Naina semakin dibuat tak tenang. Lambaian tangan seseorang menghadirkan senyuman di bibirnya.
"Pasti macet banget, ya," ucap Dhitta. Tanpa buang waktu, ia pun segera mengecup punggung tangan Amalia. "Mas Katon sudah booking kamar. Kita nginap di sini dulu. Ibu pasti capek, kan?"
"Lumayan, Dhit," jawab Amalia.
Aluna bersorak gembira saat pintu kamar terbuka. Gadis kecil itu sibuk memindai seluruh hal di dalamnya. Dhitta dan Naina membantu Amalia untuk segera bersandar di tempat tidur.
"Sebentar lagi kita turun untuk makan malam bareng, ya," ucap Dhitta pada Naina dan Amalia. Dhitta menangkap gurat khawatir di wajah Naina. "Mas Bhumi nggak ikut makan malam. Dia bilang mau pulang sebentar dan balik lagi besok."
Naina mengucap syukur di dalam hati. Setidaknya semesta membantu untuk mengulur waktu. Namun, lagi-lagi hatinya kembali sakit saat melihat putrinya. Naina yakin kalau saat ini hal yang paling Aluna inginkan adalah ayahnya.
"Besok mau jalan-jalan?" tanya Dhitta pada Aluna.
"Mau!" pekik Aluna girang. "Jalan-jalan ke mana, Budhe?"
"Ke mana aja yang Luna mau. Mumpung kita di Jakarta, kita harus jalan-jalan. Luna mau ke mana?"
"Mau lihat ikan," sahut Aluna semangat. "Teman-teman bilang kalau di sini ada tempat yang banyak ikan di akuariumnya. Boleh, Budhe?"
"Boleh, Sayang." Dhitta mengusap puncak kepala Aluna penuh sayang. Batinnya meringis. Anak semanis Aluna harus menjadi korban keegoisan kedua orangtuanya. "Besok kita jalan-jalan ke sana."
***
Dhitta menemani Naina dan Aluna pergi. Ketiganya berangkat setelah sarapan di kamar. Amalia absen ikut dan lebih memilih untuk beristirahat di kamar.
Pesona ibukota tak pernah gagal menarik perhatian Aluna. Gadis kecil itu bahagia seolah mimpi-mimpi masa kecilnya menjadi kenyataan. Pikirnya menginjakkan kaki di Jakarta tak akan pernah terwujud.
"Bunda lapar." Aluna mengeluh dengan tangan yang mengusapi perutnya.
Petualangan ketiganya terbilang panjang. Selesai menyaksikan begitu banyak ikan, Dhitta lanjut mengajak mereka menikmati taman bermain kebanggaan kota Jakarta.
"Luna mau tunggu di sini sama Budhe, sementara Bunda cari makanan atau mau ikut?" tanya Naina pada sang putri.
"Kayaknya kita bareng aja, deh, Nai," sahut Dhitta. "Di sana ada foodcourt."
Aluna yang semula kelaparan tersenyum bahagia karena ada begitu banyak makanan yang bisa dipilih. Naina merasa tenang karena melihat putrinya lahap menikmati makanan.
"Bunda mau ke toilet sebentar," ucap Naina.
Naina aman meninggalkan Aluna bersama Dhitta. Rasa tak nyaman karena tamu bulanan datang membuatnya harus memastikan semua baik-baik saja. Amunisi di dalam tasnya pun tak terlupakan.
"Hati-hati, dong, Mas," keluh Naina saat seseorang menabraknya. Isi tasnya berhamburan. "Tas saya jatuh, nih."
"Biar saya bantu," ucap laki-laki yang kini berjongkok di hadapannya. Namun, Naina menolak. "Maaf karena saya nggak sengaja nabrak Mbak."
"Nggak apa-apa," sahut Naina. Selesai memunguti isi tas, ia pun langsung berdiri. "Permisi."
"Sekali lagi saya minta maaf, Mbak."
Naina kembali menemui Dhitta dan Aluna setelah urusannya di toilet selesai. Bagai kembali mendapat suntikan tenaga, Aluna sudah kembali bersemangat. Ia meminta bundanya untuk menemani melanjutkan petualangan hari ini.
"Luna belum capek?" tanya Dhitta. Gadis kecil itu mengangguk. "Ya sudah. Hari ini kita harus puas-puasin mainnya, ya."
Hari sudah semakin sore. Ketiganya memutuskan untuk pulang ke hotel. Aluna terlihat bahagia, meskipun Naina terpaksa membujuknya untuk pulang, padahal bocah itu menantikan indahnya taman bermain di malam hari.
"Papa ... Papa ...." Seorang gadis kecil terlihat kebingungan. "Papa ...."
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Naina lembut pada bocah itu. Ia berlutut di hadapan bocah itu dan mengusapi pipi gembilnya yang basah karena air mata. "Jangan nangis."
"Papa," sahut anak itu terisak. "Papa hilang."
"Kayaknya dia kepisah dari orangtuanya, Nai," celetuk Dhitta. "Orangtuanya gimana sih kok anaknya bisa hilang begini. Kita bawa ke informasi aja, gimana?"
Bocah kecil itu terlihat kelelahan. Naina yang tak tega pun menggendongnya. Pusat informasi yang menjadi tujuan mereka.
"Caca!" Seorang laki-laki dengan sebuah permen kapas besar berbentuk kepala boneka segera berlari dan merebut bocah itu dari gendongan Naina. Dengan panik, ia pun segera memeriksa keadaan putrinya. "Papa cari Caca daritadi. Papa minta maaf, Sayang. Caca nggak apa-apa, kan? Papa sudah belikan permen yang Caca mau."
Naina masih berdiri mematung menyaksikan momen pertemuan kembali anak dan ayah di hadapannya. Laki-laki itu terlihat tak asing.
"Terima kasih sudah tolong anak saya," ucap laki-laki itu pada Naina. "Saya nggak tau gimana kalau nggak ada Mbak. Caca harta saya yang paling berharga."
"Nggak apa-apa," sahut Naina. "Tante pulang dulu, ya."
"Kalau boleh tau, Mbak pulangnya ke mana?" tanya laki-laki itu pada Naina.
"Hotel Cakrawala." Bukan Naina yang menjawab, tapi Dhitta. "Kami pulang ke Hotel Cakrawala, Mas."
"Saya antar, ya."
***
"Terima kasih sudah antar kami pulang sampai sini," ucap Naina sungkan. Ia melirik ke arah Caca yang sudah tertidur lelap di kursi depan. "Salam untuk Caca."
"Rico." Ayah Caca menjulurkan tangan di hadapan Naina. "Kita belum sempat kenalan. Di sepanjang perjalanan tadi juga nggak terlalu banyak ngobrol karena mungkin sama-sama kecapekan. "Nama saya Rico."
"Naina." Naina menyambut salam perkenalan Rico.
"Saya Dhitta," ucap Dhitta yang segera menyela. Ia melirik jam tangannya. "Kayaknya kita harus buru-buru masuk, Nai. Mas Rico, kami duluan, ya. Terima kasih sudah diantar pulang. Yuk, Nai!"
Amalia menyambut kepulangan Naina dan Aluna di kamar. Wanita itu masih mengenakan mukena. Mushaf Al-Qur'an terlihat terbuka di atas tempat tidur.
"Capek, ya?" tanya Amalia pada sang cucu. Aluna menjawabnya dengan anggukan. "Luna mandi dulu. Nanti makan malam sama Bunda di bawah, ya."
"Uti sudah makan?" tanya Aluna.
"Sudah. Tadi Uti minta tolong untuk dibawakan makan malam ke sini. Uti capek kalau harus ke bawah," jawab Amalia yang disertai senyuman. Wanita itu beralih menatap Naina. "Mandi dulu, Nai."
"Iya, Ma," sahut Naina. "Luna mandi bareng Bunda, ya."
Dhitta tengah mengobrol bersama Amalia saat Naina dan Luna kelaur dari kamar mandi. Wanita itu terlihat sudah rapi.
"Mas Katon sudah nunggu di bawah," ucap Dhitta. "Ada Mas Bhumi juga."
Mendengar nama Bhumi disebut, syaraf Naina kembali menegang. Seharian ini ia berhasil melupakan persoalan menyangkut laki-laki itu.
"Mbak, aku nggak siap untuk semua ini," sahut Naina. "Kita batalin aja, Mbak."
"Nai." Dhitta menggeleng. "Lakukan ini untuk anak kamu."
Langkah kaki Naina terasa semakin berat. Ingin rasanya ia kembali ke kamar, mengemas seluruh barang dan pulang ke Malang. Naina terdiam saat melihat punggung itu. Punggung yang bertahn-tahun lalu selalu menjadi sandarannya. Punggung yang selalu memberikan rasa aman dan nyaman.
Bhumi dan Katon terlihat serius berbincang sampai-sampai tak menyadari kehadiran mereka di sana.
"Mas Bhumi, ada yang mau ketemu," ucap Dhitta pada Bhumi.
"Siapa?" sahut Bhumi. "Kayaknya aku nggak ada janji sama siapa-siapa."
"Sini, Sayang!" Dhitta melambaikan tangan ke arah Aluna.
"Ayah!"
Bhumi terdiam merasakan ramgkulan di lehernya. Ia begitu membatu.
"Ayah, aku kangen banget."
Haiiii
Apa kabarrrrrrr?
Sekalian deh aku mau ngomong.
Kalian ngikuti kisah Lily -Eros, kan?
Udah tau kalau mereka mau cetak?
Yukkk yang mau PO masih ada waktu.
PO yuuuuuk.
Aku udah desain bookmark khusus yang nanti bisa kalian dapetin setiap pembeliannya, lhoooo.
Bookmark yg di flyer ini bukan bookmark yg nanti bakal kalian dapet yaaa. Yang mau pesan, bisa langsung ke pihak Karos. Nangis bombayyyy dehhhhhhh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top