MKSUK 1

Wehhh, jangan kaget. Aku galau soal judul. Akhirnya fixed ambil judul yang ini. Aku coba publish part 1. Semoga kalian semua suka, ya. Mohon sertakan pendapat kalian di kolom komentar.

Kalau rame, aku lanjut. Kalau ga rame ya kaga hihi.

Enjoy!

Aluna tak tahu apa yang harus dilakukannya. Selembar kertas di atas mejanya masih kosong. Materi pembelajaran hari ini adalah membuat karangan singkat dengan tema yang diambil secara acak. Katakanlah keadaan memang sedang tak bersahabat dengannya. Tema yang didapatnya membuatnya berpikir cukup keras. Ia sempat berusaha bertukar tema dengan teman-temannya. Sayangnya, tak ada yang mau. Sepertinya, masing-masing dari mereka sudah merasa cocok dengan tema yang didapat.

Sebatang pensil yang sudah diraut dengan sangat baik di malam sebelumnya masih menari di tangan kecil Aluna tanpa tahu apa tugas yang harus dikerjakannya. Gadis kecil itu menghela napas. Selama ini, ia tak pernah bertemu secara langsung sosok yang diminta di secarik kertas kecil tergulung itu. Ayah.

"Luna kenapa, Sayang?" Bu Meysa menghampiri Aluna yang dari tadi masih terlihat melamun dan belum memulai untuk mengerjakan tugasnya. "Kok belum dikerjakan? Ada kesulitan? Mungkin Bu Meysa bisa bantu."

"Bu Meysa, aku boleh tukar temanya?" Gadis kecil itu bertanya dengan polos. Sungguh ia sangat ingin mengerjakan tugas itu dengan lancar tanpa mengubah tema. Namun, ia sama sekali tak tahu apa yang harus ditulisnya. "Tadi Bu Meysa bilang yang dapat tema anggota keluarga disuruh untuk tulis soal kenangan apa yang pernah dibuat bersama. Aku dapat tema Ayah."

Bunyi dering bel pulang sekolah menginterupsi perbincangan antara guru dan murid itu. Sudah waktunya pulang, tapi kertasnya masih bersih. Beruntung Bu Meysa menjadikan tugas itu sebagai PR. Mungkin Aluna bisa meminta pertolongan Bunda di rumah.

Di sepanjang perjalanan pulang, Aluna sibuk mengingat apa-apa saja yang pernah diceritakan sang Bunda soal sosok ayahnya. Ayahnya tampan, Aluna tahu itu. Begitu banyak foto yang disimpan Bunda membuatnya mengenal sosok sang Ayah, meskipun belum bernah bertemu secara langsung. Ayahnya sangat menyukai panganan bolu kukus, terlebih yang warnanya hijau karena selalu senang dengan aroma pasta pandan yang wangi. Ayahnya terbiasa meminum secangkir kopi hitam sambil menikmati bolu kukus yang dibeli di warung sayur dekat rumah setiap paginya.

Yang jadi masalah adalah ... ia sama sekali tak mempunyai kenangan bersama dengan sang Ayah. Gadis itu genap berumur delapan tahun, selama itu pula ia hanya hidup bertiga dengan Bunda dan Eyang Putri. Tak ada sosok seorang Ayah yang mendampingi.

Senyuman terkembang di bibir mungilnya saat mendapati sosok Bunda menyambut di pintu rumah. Kedua tangan Bunda yang merentang menjadi hal yang selalu dirindukan dan membuatnya tak sabar untuk segera sampai di rumah. Ditambah rupa cantik berhiaskan senyuman teduh Bunda semakin menyempurnakan hari.

"Anak Bunda sudah pulang." Seperti hari-hari biasanya. Bunda—Naina memberikan pelukan eratnya pada sang putri semata wayang. Wanita itu juga tak pernah lupa menyematkan satu kecupan di kening Aluna yang sedikit basah karena keringat. Jarak rumah ke sekolah lumayan jauh, sekitar 10 menit berjalan kaki. Naina mengusap titik-titik keringat yang mengembun di kening Aluna. "Ada cerita apa di sekolah? Mau cerita?"

"Mau banget, Bunda."

***

Duduk di sofa saling menatap satu sama lain berlatarkan jendela ruang tengah sudah lama menjadi sebuah kebiasaan bagi ibu dan anak ini. Keduanya begitu menikmati saat-saat seperti ini. Mereka bisa menceritakan apapun.

Mungkin siapapun yang melihat kebersamaan keduanya akan merasa iri. Naina begitu dekat dengan putrinya. Mau apa lagi? Memang cuma Aluna yang dimilikinya, selain ibunya. Namun, hati orang tak pernah ada yang tahu. Naina pun kerap merasa iri dengan orang tua yang bisa menghadirkan sebuah keluarga yang lengkap untuk anak-anak mereka.

"Anak Bunda mau cerita apa?" ucap Naina. Setelah saling memeluk selama semenit, sudah saatnya memulai perbicangan. "Ada cerita baru apa hari ini? Di sekolah happy, kan?"

Biasanya, Aluna akan mengangguk dengan semangat. Gadis kecil itu akan dengan berapi-apinya menceritakan teman-teman sekelasnya. Delisa—teman sebangkunya yang gemar bertukar bekal makanan dengannya, Arvino—Si Ketua Kelas yang menurut penuturan bocah 8 tahun itu mempunyai rupa yang tampan dan masih banyak lagi. Namun, hari ini anggukkan itu terasa sedikit lesu, berbeda dari biasanya.

Naina mengangkat dagu putrinya yang sedikit tertunduk. "Ada apa, Sayang? Ada yang mau Luna ceritain ke Bunda? Bunda siap mendengarkan."

"Bunda, tadi di sekolah aku nggak bisa ngerjain tugas dari Bu Meysa. Aku nggak tau gimana cara ngerjainnya."

Kening Naina sedikit berkerut. Putrinya pintar. Bahkan, di semester ganjil kemarin mendapat peringkat tiga besar. Sejauh ini, semua tugas dan pekerjaan rumah dikerjakan dengan baik. Bu Meysa dan wali kelas sebelumnya pun mengatakan kalau Aluna anak yang pintar dan cerdas.

"Tugas apa, Sayang? Matematika?" Pertanyaan Naina mendapat gelengan dari sang putri. Wanita itu pun semakin dibuat penasaran. Sesulit apa sih tugas yang diberikan Bu Meysa untuk anak kelas 2 SD? "Jadi, tugas apa?"

"Buat karangan," sahut Aluna. Tangan kecilnya menggerayang mencoba meraih tas sekolah yang tergeletak di lantai. Selembar kertas putih bergaris yag dibagikan wali kelas ditambah gulungan kertas tema disodorkan pada sang Bunda. "Aku nggak bisa buat karangannya karena temanya susah, Bunda."

"Memang temanya apa, Luna? Yang Bunda tau Luna itu kan jago kalau disuruh buat karangan. Yang susah bagian yang mana?" Naina menerima kertas dengan gulungan kertas itu dari tangan Aluna. Tangannya mulai bergerak membongkar gulungan itu. Segores kata yang tertulis di sana cukup menjawab rasa penasarannya. Naina menghela napasnya. Ditatapnya wajah Aluna yang mendadak menjadi sendu. Jika membahas tentang hal ini, Aluna memang munda berubah sendu. "Luna punya Ayah. Bunda bantu kerjain, ya. Mau?"

Si Kecil itu mengangguk. Namun, foto-foto atau penggambaran betapa gagah dan tampan sosok ayahnya yang pernah disampaikan Naina tak cukup membantunya utnuk menyelesaikan tugas itu. Semua itu sama sekali tak membuatnya mempunyai kenangan bersama sang Ayah.

"Tapi, aku nggak pernah punya kenangan sama Ayah."

***

Selembar kertas yang sebelumnya kosong, kini sudah terisi. Tak begitu banyak, memang. Hanya tiga perempat bagian saja. Namun, membuatnya terisi sebanyak itu lumayan membuat air mata Aluna terkuras.

Tas bekal yang setiap hari dibawanya sudah siap. Tak lupa juga dengan botol minum berwarna merah muda bergambar kelinci kecil berpita merah di salah satu telinganya. Payung merah muda miliknya pun turut disiapkan. Langit sedikit mendung pagi ini. Naina takut putrinya kehujanan saat di perjalanan.

"Bekalnya dimakan ya, Luna. Bunda buat sandwich tuna untuk kamu. Bunda bawain dua, jadi Luna bisa berbagi sama Delisa."

"Bunda, doain aku."

"Itu pasti, Sayang. Bunda nggak akan pernah lupa untuk selalu mendoakan Luna setiap harinya. Semoga Luna selalu diberikan kemudahan."

"Amin." Luna mengamini hajat dan harapan sang Bunda. Gadis kecil itu memeluk, mengecup puncak tangan Naina dan meminta paket kecupan lengkap untuknya pagi ini. "Aku sayang Bunda. Terima kasih karena Bunda sudah jadi bundanya aku."

"Sama-sama, Cantik. Bunda juga sayang Luna. Selalu. Hati-hati di jalan, ya."

Hampir setengah kelas sudah maju dan membacakan karangan yang mereka buat satu per satu di depan kelas. Setiap karangan yang dinilai baik tak pernah gagal mendapatkan tepuk tangan sebagai bentuk apresiasinya. Kini, Aluna tengah dilanda rasa deg deg ser. Gilirannya mau belum tiba. Namun, sudah berhasil meningkatkan tempo degup jantungnya.

"Luna!" Panggilan temang sebangkunya membuat lamunan Aluna yang baru terbentuk dua menit lalu buyar. "Kamu dipanggil ke depan."

Sambil menggenggam erat lembaran karangannya, Aluna berjalan menuju ke bagian depan kelas. Ia berdiri di tengah—tepat di antara baris kedua dan ketiga. Semua mata tertuju padanya. Rasa gugup wajar dirasa. Gadis kecil itu berusaha untuk tenang dengan menghirup banyak oksigen.

"Sudah siap, Luna?" tanya Bu Meysa. Luna menjawabnya dengan anggukkan. "Silakan dimulai."

"Hai, ini ayahku." Aluna menunjukkan selembar foto di mana ayahnya yang begitu gagah berpose berbalutkan jas putih khas dokter. "Ayahku ganteng, kan?" Seisi kelas menyahut mengiyakan. Sosok di foto itu berkasil menghipnotis mereka. Memang setampan itu ayah Aluna. "Ayahku seorang dokter. Namanya Raka Bhumi Adhyaksa. Bunda bilang, Ayah suka makan bolu kukus yang ada rasa pandannya. Ayah suka minum kopi. Ayah suka warna biru. Katanya, biru itu bagus. Ayah, sebenarnya aku diminta untuk bercerita tentang kenangan-kenangan yang pernah dilalui. Tapi, aku nggak tau apa yang harus aku tulis. Aku nggak pernah ketemu Ayah. Kalau nanti kita bisa ketemu, ayo kita buat kenangan sebanyak mungkin. Jadi, nanti aku bisa ceritakan ke Bu Meysa dan teman-teman yang lain. Ayah, aku rindu."

Ruang kelas diselimuti keheningan yang begitu tebal. Aluna tak bisa melihat dengan jelas teman-teman yang duduk di hadapannya. Kedua matanya berembun. Air mata sudah tergenang di sana dan siap untuk meluncur. Sebuah pelukan didapatnya dari Bu Meysa. Tepukan di punggungnya diberikan sebagai obat penguat akan lara hati yang muncul karena kerinduan yang begitu mendalam. Tak hanya Bu Meysa, Delisa menyusul bergabung memeluknya. Aluna tak bisa lagi menahan haru. Laju air matanya benar-benar sulit dikontrol. Ia tak pernah paham kenapa selalu menangis tiap kali membahas soal Ayah.

"Kamu keren, Luna," bisik Delisa di telinga Aluna—gadis kecil yang begitu merindukan ayahnya.

-to be continued-

Depok, 19 September 2022

1388 kata.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top