(6.)

Grace awalnya tak ingin memperpanjang pembicaraan itu, namun entah kenapa harga dirinya merasa terluka saat Rudolf menyatakan secara terang-terangan bahwa dia tak menarik. Satu jam dia merenung, pada akhirnya Grace bangun dan langsung mengeluarkan suara keras.

"Asal kau tau, aku tak sekurus yang kau pikirkan!" Nada Grace membentak. Rudolf belum tidur, dia tersentak kaget ketika suara lengkingan itu memenuhi kamar.

Rudolf bangun, mengerutkan keningnya heran, wajah Grace merah padam menahan marah. Padahal Rudolf hampir melupakan ucapannya barusan.

"Ada apa, Nona? Anda terlihat emosi." Rudolf berkata santai. Melihat gelagat tak bersalah Rudolf, Grace semakin naik pitam. Dia menendang selimutnya, kemudian turun mendekati lantai yang ditiduri Rudolf.

"Apa kau aslinya bersifat seperti ini , hah?" Grace menarik selimut yang membungkus laki-laki itu sambil menunduk. Rudolf berusaha berkelit, tapi dia kalah gesit dibanding wanita itu.

"Nona, anda kenapa? Kenapa Anda sangat marah?" Rudolf berusaha menarik selimut itu tapi gagal.

"Kau pikir kau tampan? Kau pikir kau hebat sehingga pantas menilaiku? Kau tak lebih dari pria tua yang tak laku." Grace meledak hebat. Rudolf yang awalnya heran, tertawa kecil meremehkan, wanita yang biasa dipuja itu tak terima dinilai rendah.

"Ya, sudah! Anggap saja Anda benar. Kembalikan selimut saya, ini sangat dingin." Rudolf mencoba bernegosiasi, melayani Grace tak ada gunanya, dia tau betul bagaimana watak wanita itu.

"Tidak, sebelum kau meminta maaf padaku!"

Rudolf mengerutkan kening.

"Salah saya di mana, Nona? Anda menanyakan pendapat saya tentang anda, saat saya jujur kenapa Anda malah tidak terima?"

"Kau .... Benar-benar pria yang menyebalkan." Grace mengangkat tangannya, hendak memukul wajah Rudolf, tapi pria itu begitu tangkas menangkap tangan Grace yang halus. Belum sempat Grace protes, dia sudah dibanting cukup kuat ke atas lantai, bahkan Grace mendengar suara tulangnya sendiri yang beradu dengan lantai itu.

Tak sampai di situ, kaki panjang Rudolf menguncinya, tangannya dipegang erat. Rudolf berhasil membuatnya terdiam.

"Jangan main kekerasan, Nona! Karena bagaimana pun, saya adalah suami anda."

Grace menatap sengit, menantang mata jernih Rudolf tanpa merasa takut.

"Lepaskan! Sejak kapan kau bertindak kurang ajar!"

"Saya mengantuk, berikan selimut itu!" Rudolf tak menyadari hidungnya bergesekan di pipi Grace yang membuat wanita itu terkesiap. Grace memberontak.

"Ini selimutmu! Dasar." Wanita itu lalu melompat ke ranjangnya dan tidur membelakangi Rudolf yang mulai bergelung kembali.

Rudolf tertawa menang, sedangkan Grace mengutuk dirinya yang sempat berdebar saat puncak hidung dingin itu menyentuh pipinya. Belum lagi aroma parfum laki-laki itu yang melekat tak sengaja di bajunya.

"Dasar, pria menyebalkan." Grace menghabiskan sisa gerutuannya sebelum masuk ke dunia mimpi.

Grace tak mengetahui, bahwa pria yang dikatakan menyebalkan itu belum tidur. Ingatannya menyelam jauh pada kehidupan dua puluh tahun yang lalu. Dia dilahirkan di keluarga miskin di negara kecil bagian Eropa. Ayahnya adalah petani dan tukang kebun, Rudolf remaja adalah anak yang periang dan ceria, tapi semua berubah saat sang Ibu meninggal dalam usia yang masih muda, meninggalkan dia, Ayah dan adik perempuannya yang masih berusia sembilan tahun.

Sebagai petani yang ditugaskan menjaga kebun sebuah perusahaan, hidup di desa sangat sulit, apalagi dengan kondisi ayahnya yang juga sakit-sakitan. Rudolf remaja, memutuskan untuk mengikuti sekolah bagian militer yang memang dibentuk untuk penyedia jasa ke amanan atau bodyguard. Cukup lama bekerja di berbagai negara, sampai akhirnya mendapat tawaran dari model internasional, yaitu Grace. Bayaran yang menggiurkan, untuk menebus hutang sang ayah yang dulu membeli lahan sendiri untuk bercocok tanam, apa mau dikata, beberapa bulan setelah itu, sang ayah meninggal.

Adik perempuannya menikah dengan pria desa setempat, meneruskan lahan yang belum sempat menghasilkan uang.

Rudolf masih ingat, bahwa seraut wajah gadis yang berkulit putih pucat dengan bola mata biru safir, serta rambut coklat kemerahan yang sering berkunjung ke perkebunan yang digarap sang ayah.

Itulah cinta pertamanya, cinta yang tak pernah kesampaian karena mereka memiliki status sosial yang berbeda. Sang gadis cantik itu adalah anak pemilik kebun, atau anak dari pemilik perusahaan kebun anggur yang digarap ayahnya. Karena merasa tak sebanding, Rudolf akhirnya bertekad melupakan gadis itu. Hatinya yang kosong sempat diisi oleh gadis sederhana yang juga tak kalah cantik, dia sempat merasakan mekarnya cinta di hatinya, tapi kembali, Rudolf tak beruntung, di usia 19 tahun, gadis pujaannya dinikahkan dengan laki-laki lain yang lebih berada.

Sejak saat itulah hatinya tak lagi terbuka dan tak bisa disentuh dengan cinta. Banyak lawan jenis yang menyukainya, namun tak satu pun yang berhasil merebut perhatian Rudolf.

Pria berotot kuat itu mengubah posisi tidurnya menjadi telentang, menghitung rangkaian kayu yang disusun sedemikian apik menjadi plafon unik.

Dia ingin menjadi manusia pada umumnya, menikah dan memiliki anak. Usianya sudah hampir mencapai 37 tahun. Tapi hambatan pertama yang harus di selesaikan terlebih dahulu adalah Grace.

"Oh My God, apa pemanas ruangannya mati?" Tiba-tiba saja Grace bangun dengan gerutuannya. Rudolf tak menjawab, dia hanya mengamati gerak-gerik wanita itu.

Grace akhirnya menyadari Rudolf belum tidur.

"Hey, sajak kapan kau bangun?"

"Saya belum tidur dari tadi, Nona."

"Apa benda itu rusak?" Grace menunjuk benda persegi panjang yang terletak di pojok kamar. Mata Rudolf mengikuti, memang udara malam ini sangat dingin, tapi rasanya alat itu bekerja cukup baik.

"Mungkin Anda hanya perlu melapisi baju kaos anda dengan baju hangat." Rudolf memberi saran.

"Aku tak membawanya. Kau pikir aku mempersiapkan hari ini? Mimpi."

Rudolf hanya mengangkat bahunya samar.

"Ayo kita bertukar tempat!"

"Maksud Anda?"

"Aku tidur di lantai, kau tidur di kasur, mungkin pemanas itu tak mencapai sampai ranjangku."

"Maksud Anda, saya pindah ke tempat yang lebih dingin?"

"Tentu saja, kau ke sini juga digaji."

"Tapi, tadi Anda yang menyuruh saya tidur di lantai."

"Sekarang perintah sudah berubah." Grace menyeret selimutnya. "Minggir!"

"Maaf, Nona. Tempat saya sudah cukup hangat, saya tak mau pindah."

"Kau?" Grace membulatkan matanya.

"Kita bisa berbagi lantai, bukankah itu adil?"

Grace hanya mengatupkan giginya kesal.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top